"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2014/08/04

Djambak, Perjalanan Dari Gasan ke Batahan.

Berdasarkan analisa sejarah dan cerita lisan turun-temurun yang saya kumpulkan, disebutkan bahwa ada beberapa rombongan keluarga di antaranya bersuku Djambak yang berpindah dari Gasan, daerah Tiku bagian Selatan, ke hulu Batahan sebagai dampak dari berkobarnya perang Paderi di ranah Minang. Daerah Tiku, Air Bangis (asumsinya termasuk juga Natal dan Batahan), dan Mandailing ketika itu sudah di bawah kendali dan pengaruh kaum Paderi. Sehingga mereka (penduduk setempat yang ingin dekat dengan budaya Islam) yang berada di wilayah ini merasa lebih tenang dan aman karena jauh dari sentral konflik perang antara kaum Paderi versus kaum Adat di Pagaruyung dsk.

Perang Paderi sendiri (1803-1833), dalam literature sejarah yang kita temukan termasuk perang dengan masa yang sangat lama. Awalnya, perang ini merupakan perang saudara yang melibatkan masyarakat Minangkabau dan Mandailing. Ini terjadi akibat pertentangan antara kaum ulama (sebutan Paderi) pimpinan Harimau nan Salapan dengan kaum adat pimpinan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah.
Selanjutnya pihak penjajah Belanda ikut campur membantu menyerang kaum Paderi karena permintaan pihak kerajaan Pagaruyung sendiri sejak tahun 1821. Namun akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan dan akibat campur tangan Belanda ternyata persoalan menjadi semakin rumit, maka kaum adat memutuskan berbalik melawan penjajah Belanda pada tahun 1833. Di akhir peperangan, sejarah mencatat bahwa Belanda yang keluar menjadi pemenangnya. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/perang-padri-1803-1838-dan-keterlibatan-belanda-10016.htm

Selain dari fakta perang Paderi tersebut, rombongan keluarga dari Gasan ini tertarik ke Batahan karena mengetahui bahwa negeri tersebut dipimpin oleh seorang raja Perempuan, Puti Bulan Tersingit. Ini tentu menyenangkan hati kaum minang yang memang sangat menghormati kedudukan seorang perempuan. Selain juga karena suami dari Puti Bulan Tersingit ini adalah Sutan Iskandar yang merupakan putera Minang, kelahiran Rao, di Padang Nonang.

Belum dapat dipastikan tahun persisnya kapan kedatangan rombongan dari Gasan ini ke Batahan. Namun rentangnya adalah pada masa Tuanku Rao masih memimpin kaum Paderi di wilayah Air Bangis dan Mandailing (1816-1833). Tuanku Rao sendiri gugur sebagai syuhada pembela Islam dan tanah air di tahun 1833 dalam sebuah pertempuran sengit melawan penjajah Belanda di Air Bangis. (Hamka, Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974).

Rombongan dari Gasan tersebut diyakini menggunakan transportasi laut (perahu) menuju Batahan. Keterangan ini lebih meyakinkan dibandingkan dengan keterangan yang menyebutnya melalui jalur darat, yang mungkin memakan waktu berbulan-bulan lamanya karena jalan yang masih banyak terhalang hutan. Dengan menggunakan perahu, rombongan ini bisa menyusuri bibir pantai Barat pulau Sumatera ke arah Utara untuk menuju hulu Batahan.

Dalam keterangan turun-temurun, seorang ibu dengan suku Djambak yang masih dapat diingat nama atau panggilannya adalah Rukayah. Beliau adalah saudara dari Datuak Bonsu alias Abdul Yasin yang merupakan kepala suku Djambak yang juga ikut rombongan tersebut. Anak dari ibu Rukayah bernama Supiak (belum diketahui nama aslinya). Kemudian Supiak ini memiliki tiga orang anak. Ketiganya masing-masing dikenal dengan panggilan Upiak Cambuang, Upiak Capah, dan Fulanah.

Dari Upiak Cambuang lahirlah dua orang anak perempuan yang masing-masing bernama Kasiyah dan Ajarmiah. Kasiyah kemudian memiliki dua orang anak perempuan juga yang bernama Djasmaniah dan Djasmariah. Sementara Ajarmiah hanya memiliki seorang anak perempuan, yang bernama Nur Arfah.
Dari ibu bernama Djasmaniah ini kemudian lahirlah empat orang anak. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Fahmi Husin (papa kami), M. Husni Thamrin, Ratna Wilis dan Jaya Murni. Dengan demikian, papa kami masih berhak menggunakan suku Djambak di belakang namanya karena beliau wariskan dari garis keturunan ibu. Sementara kami sendiri tidak mendapatkan suku Djambak.

Dari ibu Djasmariah, lahirlah empat orang anak juga. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Kasminar, Masmuddin, Masdinar (ibunda bang Iwan Wirabuana), dan Darliana (Ibunda Fazwar, bang Arifin Farouk, dll). Ini adalah penjelasan dari pertanyaan bang Iwan dan Fazwar di thread fb sebelumnya. Bahwa mereka memang syah bersuku Djambak.

Sementara Ajarmiah yang memiliki seorang anak perempuan tadi, yang bernama Nur Arfah, memiliki keturunan selanjutnya yang bernama Ardanis (ibunda Rahmadi Anwar), Asniar, Edi Suwardi, Sukmawati, Masdariah, Syafrial, dan Yurdan (kini menjadi guru SMA N Batahan).

Selanjutnya dari pihak Upiak Capah, yang merupakan saudari dari Upiak Cambuang tadi, memiliki tiga orang anak. Masing-masing bernama Siti Maserah, Maksum dan Nursyam.

Dari Siti Maserah melahirkan tiga orang anak, masing-masing adalah Siti Adna (uci sdr Gunawan), Fadlan (ongku Tandeo, ongku dari Surya Dermawan), dan Afzal.

Lainnya, insyaAllah disambung lagi di waktu yang akan datang.
-
Semoga bermanfaat

Raja Perempuan, Batahan and Me

Inilah alasan kenapa saya (dan juga sebagian besar warga Batahan) tidak dapat menggunakan marga ataupun suku di belakang namanya.

Catatan ini saya dapatkan dari catatan lama papa, Fahmi Husin, yang memang sejak muda dulu mulai mengumpulkan data-data ini.

Berikut ini penjelasannya:
Tersebutlah ada seorang raja yang bernama Baginda Soaloon (Raja Pidoli Lombang) (lahir sekitar 1679-1700). Beliau memiliki tiga anak: Sutan Kumala, Namora Anda dan ST. Mandailing.
Sutan Kumala (yang merupakan anak pertama dari Baginda Soaloon) memiliki dua anak, yakni Mangaraja Tinanting Bulan dan Puti Bulan Tersingit (beliau ini yang kemudian menjadi raja perempuan di Hulu negeri Batahan).

Dari keturunan Mangaraja Tinanting Bulan lahirlah Sutan Kumala Porang yang memiliki dua anak (Mangaraja Umum dan Mangaraja Tinanting). Mangaraja Tinanting memiliki enam orang anak, salah satu diantaranya adalah Ali Sati gelar Sutan Iskandar, yang lebih dikenal dengan nama Willem Iskandar yang lahir di Pidoli Lombang, Maret 1840. Willem Iskandar ini kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan modern di Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia. (http://akhirmh.blogspot.com/2011/04/willem-iskander-dan-lahirnya-tokoh.html)

Melihat garis keturunan di atas artinya Willem Iskandar itu adalah ‘level’ cicit dari Puti Bulan Tersingit (Raja Perempuan Negeri Batahan). Jika dengan asumsi satu generasi dipisahkan oleh rentang usia 30 tahun, maka Raja Perempuan itu berusia 90 tahun lebih tua dari Willem Iskandar. Jadi kira-kira tahun 1750 adalah masa kelahiran Raja Perempuan tersebut.

Puti Bulan Tersingit menikah dengan ST. Iskandar. Mereka memiliki tiga orang anak. Dua laki-laki dan satu wanita. Masing-masing bernama Sutan Cagar Alam, Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam, dan Siti Bulan (meninggal sebelum dewasa).

Dari anak pertama Puti Bulan Tersingit, yaitu Sutan Cagar Alam, lahirlah sembilan orang anak (laki-laki dan perempuan). Berturut-turut namanya adalah, Sutan Seri Alam, Mhd. Natal, Marah Hayat, Marah Akhmad, Harun Arrasyid, Sautan, Siti Nurhana, Siti Nurhani (yang diceritakan murtad dari agama Islam), dan Siti Nurlan.

Dari anak kedua Puti Bulan Tersingit, yaitu Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam, lahirlah 2 orang anak laki-laki yang bernama Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi dan Sutan Muhammad Basyir gelar Sutan Mulia Raja.

Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi menikah dengan Sari Beganti (yang dikenal dengan panggilan nenek kusuik). Mereka memiliki dua orang anak yang bernama Fatimah Nuri dan Abdul Mutholib.
Fatimah Nuri memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Hasan Rancak gelar Sutan Marah Alam Dunia. Puterinya bernama Fatimah Yamas. Dari Fatimah Yamas lahirlah tujuh orang anak. Berturut-turut namanya adalah Sutan Nadirsyah, Sutan Wirsyah, Cicik, Siti Bulan, Nur Siti, Sutan Sayful Alamsyah dan Sutan Asmudin.

Dari keturunan Abdul Mutholib, yaitu saudara laki-laki Fatimah Nuri tersebutlah ada tiga orang anak. Nama-namanya adalah Siti Saleha, Binu Asyiah dan Siti Nurbaya.

Siti Saleha memiliki seorang anak, Afdansyah. Afdansyah memiliki seorang puteri bernama Siti Rohati.
Binu Asyiah memiliki dua orang anak, masing-masing bernama Zainal Abidin (kakek kami) dan Nurpani (ibu dari ayahketek Safni).

Siti Nurbaya memiliki empat orang anak perempuan. Masing-masing bernama Siti Nurmilan, Siti Nurlian, Siti Nurlan dan Nazarni.

Dari Zainal Abidin lahirlah lima orang putera-puteri yang masing-masing bernama Dahri, Zairuddin, Ainuddin, Ali Asnur dan Ikhwan.

Saya sendiri, Feri Susanto, adalah anak ke empat dari ‘umak’ Dahri binti Zainal Abidin bin Binu Asyiah binti Abdul Mutholib bin Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi bin Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam bin Puti Bulan Tersingit (Raja Perempuan) binti Sutan Kumala bin Baginda Soaloon (Raja Pidoli Lembang).

Dalam hitungan generasi, saya dan saudara seangkatan adalah keturunan kedelapan dari Raja Perempuan negeri Hulu Batahan (Puti Bulan Tersingit) dan keturunan kesepuluh dari Raja Pidoli Lembang (Baginda Soaloon).

Namun karena papa kami, Fahmi Husin, adalah memiliki seorang ayah dan ibu dari ranah minang (Bagindo Husin, Lubuk Alung, Pariaman dan Djasmaniah dari Gasan, Tiku bagian Selatan) maka jika ditarik kesukuannya maka jelas kami tanpa suku. Tidak berhak menggunakan suku minang karena budaya Minang menganut matrilineal. Sementara dilihat dari garis keturunan ibu memang kami adalah dari Pidoli Lombang, tapi karena ayah kami adalah minang (dari bapaknya) maka kamipun tidak dapat menggunakan marga dari Pidoli Lombang.

*Lain kesempatan saya akan sampaikan garis keturunan dari pihak papa.
Semoga bermanfaat...