"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


Showing posts with label Management. Show all posts
Showing posts with label Management. Show all posts

2024/08/24

Lima Komponen Utama Customer Care yang Efektif

Pict source: https://www.brandknewmag.com/

Digital customer care, atau layanan pelanggan digital, telah menjadi elemen krusial dalam dunia bisnis modern. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan semakin tingginya ekspektasi konsumen, perusahaan perlu memastikan bahwa mereka dapat menjawab kebutuhan pelanggan dengan cepat dan efektif melalui berbagai platform digital. Tidak hanya sekadar memberikan jawaban, tetapi juga menciptakan pengalaman yang menyenangkan dan tak terlupakan bagi pelanggan.

Di era digital, pelanggan memiliki akses mudah ke informasi dan pilihan yang melimpah. Mereka bisa dengan cepat membandingkan produk dan layanan, membaca ulasan, dan berinteraksi langsung dengan merek favorit mereka melalui media sosial. Oleh karena itu, digital customer care bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan yang mendesak. Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan perubahan ini berisiko kehilangan pelanggan kepada pesaing yang lebih responsif dan inovatif.

Komponen Utama Digital Customer Care

Untuk membangun strategi digital customer care yang efektif, ada beberapa komponen utama yang harus diperhatikan:

1. Multichannel Support/ Bantuan Multisaluran: Pelanggan modern berinteraksi dengan merek melalui berbagai platform digital, mulai dari media sosial, email, hingga aplikasi mobile. Perusahaan harus mampu menyediakan dukungan di semua saluran ini untuk memastikan bahwa pelanggan dapat mengakses bantuan kapan saja dan di mana saja.

2. Real Time Assistance (RTA) / Bantuan Real-time: Di era serba cepat ini, pelanggan mengharapkan respon yang cepat dan tepat waktu. Perusahaan dapat memanfaatkan teknologi seperti chatbot dan live chat untuk memberikan bantuan real-time, yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan secara signifikan.

3. Personalization / Personalisasi Layanan: Setiap pelanggan memiliki kebutuhan dan preferensi yang unik. Dengan menggunakan data pelanggan, perusahaan dapat menyesuaikan tanggapan dan solusi yang diberikan, sehingga pelanggan merasa lebih dihargai dan diakui.

4. Self-service Option / Opsi Swadaya: Banyak pelanggan yang lebih memilih untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri. Dengan menyediakan FAQ online, basis pengetahuan, dan tutorial, perusahaan dapat memberikan solusi cepat tanpa perlu pelanggan menghubungi CS secara langsung.

5. Data Analytic / Analitik Data: Data dari interaksi digital pelanggan sangat berharga untuk memahami perilaku dan preferensi mereka. Dengan analitik data yang canggih, perusahaan dapat mengidentifikasi tren, memprediksi kebutuhan pelanggan di masa depan, dan mengoptimalkan strategi layanan mereka.

Masa Depan Digital Customer Care

Ke depan, digital customer care akan semakin terintegrasi dengan kecerdasan buatan (AI) dan analitik data yang lebih canggih. Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk tidak hanya merespons kebutuhan pelanggan dengan lebih cepat, tetapi juga memprediksi apa yang akan dibutuhkan pelanggan di masa depan. Misalnya, dengan memanfaatkan machine learning, perusahaan dapat mengenali pola perilaku pelanggan dan memberikan rekomendasi atau solusi yang tepat bahkan sebelum pelanggan menyadari mereka membutuhkannya.

Selain itu, dengan meningkatnya adopsi perangkat Internet of Things (IoT), digital customer care akan semakin berkembang ke dalam bentuk yang lebih personal dan terhubung. Perangkat pintar yang digunakan oleh pelanggan dapat langsung mengirimkan data ke pusat layanan, memungkinkan perbaikan atau dukungan yang lebih cepat dan tepat waktu.

Digital customer care bukan sekadar layanan tambahan, melainkan komponen esensial dari strategi bisnis yang sukses di era digital. Dengan memberikan layanan yang cepat, personal, dan proaktif, perusahaan dapat membangun hubungan yang kuat dan berkelanjutan dengan pelanggan. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, perusahaan yang mampu mengoptimalkan digital customer care akan memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan, menciptakan loyalitas pelanggan yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dari waktu ke waktu.

Expanding the Marketing Mix: The 5Ps for Modern Business Success

Pict src: https://rockcontent.com/

The concept of the 4Ps in marketing has evolved to include a fifth element, leading to the 5Ps of marketing. The 5Ps are:

  1. Product: The goods or services offered by a business to meet customer needs. It includes the design, features, quality, and branding of the product.
  2. Price: The amount of money customers are willing to pay for the product. Pricing strategies consider factors like production costs, competitor pricing, and customer perceived value.
  3. Place: The distribution channels and locations where the product is made available to customers. This involves decisions about online and offline presence, supply chain management, and logistics.
  4. Promotion: The activities used to communicate the product's benefits to the target market. This includes advertising, public relations, social media, and sales promotions.
  5. People: This refers to the individuals involved in the marketing process, including employees, customers, and other stakeholders. In a service-oriented business, the role of people is crucial, as they directly impact the customer experience and perception of the brand. It also emphasizes the importance of building relationships and customer satisfaction.

The addition of "People" highlights the growing importance of customer service, experience, and employee engagement in the overall success of marketing efforts.

The concept of the 5Ps of marketing builds on the traditional 4Ps framework originally introduced by E. Jerome McCarthy in the 1960s. The fifth "P," which stands for "People," was later introduced by various marketing theorists and practitioners as businesses began to recognize the increasing importance of human factors in marketing, particularly in service industries.

One of the key figures who emphasized the importance of "People" in the marketing mix was Philip Kotler, a prominent marketing expert and author. Kotler expanded on McCarthy's original 4Ps model to include "People" as an essential element in the marketing mix, particularly as the focus of marketing shifted from purely transactional to more relationship-based approaches.

The 5Ps framework has since become widely accepted and used in various industries, especially those where customer service and experience play a critical role in brand success.



2024/08/19

Paradox Marketing: Konsep Pemasaran Tak Biasa dari Arief Yahya


Judul Buku: Paradox Marketing

Penulis: Arief Yahya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2013 (Edisi Pertama)
Jumlah Halaman: 177 halaman (termasuk profil penulis)
Forewords: Philip Kotler dan Hermawan Kertajaya


Buku Paradox Marketing karya Arief Yahya adalah buku yang menggali konsep pemasaran modern dengan pendekatan yang berbeda dari teori-teori tradisional. Penulis, yang juga merupakan seorang praktisi berpengalaman di bidang telekomunikasi dan pemerintahan, menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana perusahaan dapat beradaptasi. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat pemasaran dari perspektif yang lebih dinamis dan fleksibel, memperhatikan perubahan perilaku konsumen dan perkembangan teknologi yang cepat.

Penulis, Arief Yahya, yang juga Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) saat itu, menciptakan dan menerapkan pendekatan bisnis baru yang praktis namun kontradiktif, yang dikenal sebagai "paradox marketing." Pendekatan ini dirancang untuk mengatasi kompleksitas pasar modern. Konsep ini dibangun berdasarkan enam pilar utama: value equation, providing more for less, polarity management, Blue Ocean strategy, buyer as seller, dan starting from the end. Arief juga mengembangkan kerangka kerja praktis yang dapat digunakan oleh para pemasar untuk mengidentifikasi dan menerapkan paradox marketing. Ini termasuk analisis internal, pemetaan strategi pemasaran yang ada, dan identifikasi leverage untuk mencapai hasil paradoksal.

Pendekatan ini menggunakan polarisasi dalam empat elemen pemasaran, yaitu produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion), atau yang dikenal sebagai 4P. Ketika Arief menjabat sebagai CEO Telkom pada Mei 2012, ia segera menerapkan konsep ini untuk mencapai hasil pemasaran yang memuaskan dan menciptakan pasar yang berkelanjutan. Pada saat itu, Telkom mengalami stagnasi pertumbuhan dan penurunan harga saham, meskipun industri telekomunikasi Indonesia sedang memasuki masa jenuh dengan persaingan ketat di antara 10 operator.

Dengan penetrasi seluler mencapai 105% dan 43% di antaranya dikuasai oleh Telkom, serta dominasi di sektor fixed wireline dan broadband, Arief menyadari perlunya tindakan segera. Ia menggambarkan situasi ini sebagai "jam sore" dan bertekad utk mengembalikan kondisi ke "jam 6 pagi" dengan strategi paradox marketing. Strategi ini melibatkan polarisasi produk enterprise-consumer, harga wholesale-retail, tempat private-public, dan promosi social-personal. Pendekatan yang tidak konvensional ini digunakan untuk mencapai hasil yang memuaskan dan menciptakan leverage unik yg sulit ditiru oleh kompetitor jika diterapkan secara keseluruhan.
---
Paradoks-paradoks yang ditampilkan menunjukkan bahwa dalam pemasaran modern, strategi yang tampaknya bertentangan atau tidak logis pada awalnya, dapat menjadi sangat efektif jika diterapkan dengan benar. Arief Yahya mengajak para profesional pemasaran untuk berpikir di luar kebiasaan dan memanfaatkan paradoks ini untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam era digital yang terus berkembang.

2024/08/16

Dunning-Kruger Effect vs Konsep Metakognisi dalam Islam


Dunning-Kruger effect adalah fenomena psikologis yang menjelaskan bagaimana orang yang kurang kompeten dalam suatu bidang sering kali melebih-lebihkan kemampuannya sendiri. Sementara itu, mereka yang lebih berkompeten justru cenderung meremehkan diri mereka sendiri. Fenomena ini dinamai berdasarkan nama dua psikolog yang pertama kali mengidentifikasinya, David Dunning dan Justin Kruger, dalam penelitian mereka pada tahun 1999. Dalam studi mereka, Dunning dan Kruger menemukan bahwa ketidakmampuan untuk mengenali kekurangan pengetahuan atau keterampilan sendiri dapat menyebabkan keyakinan yang berlebihan pada kemampuan diri.

Sejarah Dunning-Kruger effect bermula dari eksperimen yang dilakukan oleh Dunning dan Kruger di Universitas Cornell. Mereka melakukan berbagai tes untuk mengukur kemampuan kognitif peserta dalam hal keterampilan humor, logika, dan grammar. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta dengan skor terendah pada tes-tes ini cenderung menilai kemampuan mereka lebih tinggi daripada kenyataannya. Sebaliknya, mereka yang memiliki skor tinggi justru lebih akurat dalam menilai kemampuan mereka dan cenderung merendahkan diri.

Contoh nyata dari Dunning-Kruger effect bisa ditemukan dalam berbagai situasi sehari-hari. Misalnya, seorang karyawan yang baru pertama kali mengerjakan proyek besar mungkin merasa sangat yakin bahwa dia sudah memahami semua aspek proyek tersebut, padahal dia belum memiliki pengalaman yang cukup. Sebaliknya, seorang profesional yang sudah berpengalaman mungkin merasa tidak yakin tentang kontribusinya karena mereka lebih sadar akan kompleksitas masalah yang ada.

Singkatnya, Dunning-Kruger effect adalah fenomena di mana ketidakmampuan sering kali membuat seseorang terlalu yakin pada kemampuan mereka sendiri, sementara keahlian yang tinggi sering kali disertai kerendahan hati. Dengan meningkatkan metakognisi dan terus belajar, kita bisa lebih akurat dalam menilai kemampuan kita sendiri dan menghindari dampak negatif dari efek ini.

Untuk mengatasi Dunning-Kruger effect, ada beberapa pendekatan yang bisa diambil. Pertama, penting untuk terus belajar dan mengembangkan pengetahuan dalam bidang yang ditekuni. Dengan pengetahuan yang lebih mendalam, seseorang bisa lebih realistis dalam menilai kemampuannya. Kedua, mencari umpan balik yang jujur dari orang lain, terutama yang lebih berpengalaman, bisa memberikan perspektif yang lebih objektif. Mengakui dan terbuka terhadap kritik konstruktif juga sangat membantu dalam memperbaiki penilaian diri.

Metakognisi, yaitu kesadaran dan pengaturan proses berpikir sendiri, dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi Dunning-Kruger effect. Dengan metakognisi, seseorang dapat lebih baik dalam mengevaluasi kekuatan dan kelemahan mereka. Ini termasuk kemampuan untuk menyadari apa yang belum mereka ketahui dan bagaimana cara meningkatkan pengetahuan mereka. Jadi, metakognisi dapat membantu seseorang untuk menghindari overconfidence dan lebih akurat dalam menilai kemampuan diri mereka.

Metakognisi, yang berkaitan dengan kesadaran dan pengaturan proses berpikir, bisa dihubungkan dengan konsep dalam Islam tentang introspeksi, pengenalan diri, dan pencarian ilmu. Berikut beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits yang relevan dengan konsep ini:

Surah Al-Hasyr (59:18):

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Ayat ini mengajarkan pentingnya introspeksi, yaitu merenungkan dan mengevaluasi tindakan kita, yang sejalan dengan konsep metakognisi. 

Surah Az-Zumar (39:9):

"Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran."

Ayat ini menekankan pentingnya pengetahuan dan kesadaran, yang merupakan elemen penting dari metakognisi.

Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim:

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ï·º bersabda: "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab (di akhirat) dan timbanglah amalmu sebelum amal itu ditimbang untukmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini lebih spesifik mengajarkan tentang pentingnya evaluasi diri (muhasabah), yang merupakan bagian esensial dari metakognisi. Metakognisi dalam Islam bisa dilihat sebagai upaya untuk terus-menerus menilai dan memperbaiki diri, yang sangat sesuai dengan anjuran untuk "menghisab" diri kita sendiri sebelum hari kiamat.

Ayat-ayat dan hadits di atas memberikan panduan yang jelas tentang pentingnya introspeksi, evaluasi diri, dan pengendalian diri, yang semuanya adalah elemen inti dari metakognisi.

2024/08/12

Memahami Customer Experience (CX) dan Customer Service (CS): Perbedaan dan Keterkaitannya

pict source: tettra.com

Dalam dunia bisnis modern, istilah "Customer Experience" (CX) dan "Customer Service" (CS) sering digunakan, namun tidak jarang menyebabkan kebingungan, terutama bagi mereka yang belum terlalu familiar dengan dunia layanan pelanggan. Keduanya sering dianggap serupa, padahal sebenarnya memiliki perbedaan mendasar, meskipun saling terkait dan bersinggungan dalam banyak aspek.

Apa itu Customer Service (CS)?

Customer Service adalah bagian yang lebih spesifik dari layanan pelanggan. CS adalah layanan atau dukungan yang diberikan kepada pelanggan sebelum, selama, dan setelah pembelian produk atau jasa. Fokus utama dari CS adalah membantu pelanggan dalam menyelesaikan masalah, memberikan informasi yang dibutuhkan, dan memastikan bahwa kebutuhan pelanggan terpenuhi dengan baik. Ini bisa berupa interaksi langsung, seperti panggilan telepon, obrolan (chat), email, atau bahkan interaksi tatap muka di toko fisik.

Peran utama CS adalah memastikan bahwa pelanggan mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara yang paling mudah dan nyaman. Seorang customer service representative (CSR) bertindak sebagai perantara antara perusahaan dan pelanggan, memastikan komunikasi berjalan dengan lancar dan masalah-masalah diselesaikan secepat mungkin.

Apa itu Customer Experience (CX)?

Customer Experience (CX) mencakup seluruh perjalanan pelanggan dalam berinteraksi dengan suatu merek atau perusahaan. Ini mencakup semua touchpoints yang dilalui pelanggan, mulai dari kesadaran terhadap produk, proses pembelian, penggunaan produk, hingga pengalaman pasca-pembelian. CX mencakup semua aspek pengalaman pelanggan, baik yang disadari maupun tidak, dan mencerminkan bagaimana perasaan pelanggan terhadap merek tersebut.

Dalam CX, fokusnya adalah pada keseluruhan perjalanan pelanggan dan emosi yang terlibat di setiap tahap perjalanan tersebut. Ini berarti CX tidak hanya ditentukan oleh interaksi langsung dengan customer service, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti desain website, kemudahan navigasi, kualitas produk, komunikasi yang konsisten, dan bahkan budaya perusahaan.


Perbedaan Utama antara CX dan CS

1. Ruang Lingkup:

   - CS: Terbatas pada interaksi langsung antara pelanggan dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah atau memberikan bantuan.

   - CX: Mencakup keseluruhan pengalaman pelanggan dengan merek, mulai dari kesadaran hingga loyalitas pasca-pembelian.

2. Fokus:

   -CS: Berfokus pada penyelesaian masalah dan kepuasan pelanggan dalam interaksi spesifik.

 -CX: Berfokus pada menciptakan pengalaman yang positif dan konsisten di seluruh perjalanan pelanggan.

3. Pengaruh:

   -CS: Sebagai salah satu elemen dalam CX, CS dapat sangat memengaruhi pengalaman pelanggan, baik secara positif maupun negatif.

   -CX: Mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap merek secara keseluruhan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi loyalitas dan advocacy.


Keterkaitan antara CX dan CS

Meskipun berbeda, CS adalah bagian integral dari CX. Pengalaman pelanggan yang luar biasa sering kali dimulai dari customer service yang responsif dan solutif. Sebaliknya, pengalaman yang buruk dalam CS dapat merusak keseluruhan CX, bahkan jika aspek lain dari perjalanan pelanggan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, perusahaan perlu memastikan bahwa customer service tidak hanya efisien dalam menyelesaikan masalah, tetapi juga proaktif dalam membangun hubungan yang positif dengan pelanggan.

Namun, CX tidak hanya ditentukan oleh CS. Faktor-faktor lain seperti user experience (UX), pemasaran, komunikasi merek, dan kualitas produk atau layanan semuanya berkontribusi pada CX. Untuk menciptakan CX yang unggul, perusahaan harus bekerja secara holistik, memastikan bahwa semua aspek yang mempengaruhi perjalanan pelanggan berfungsi harmonis untuk menciptakan kesan yang positif dan konsisten.


Mengapa Memahami Keduanya Penting?

Di era di mana pelanggan memiliki banyak pilihan dan informasi di ujung jari mereka, pengalaman yang mereka rasakan saat berinteraksi dengan sebuah merek dapat menjadi pembeda utama. Memahami perbedaan antara CS dan CX, serta bagaimana keduanya saling terkait, memungkinkan perusahaan untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan tetapi juga melebihi harapan mereka.

Dengan strategi CX yang kuat, didukung oleh customer service yang unggul, perusahaan dapat menciptakan hubungan jangka panjang dengan pelanggan, meningkatkan loyalitas, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.


Kesimpulan

Customer Service dan Customer Experience adalah dua konsep yang berbeda namun saling berkaitan dalam dunia layanan pelanggan. Customer Service adalah elemen penting dari Customer Experience, namun CX jauh lebih luas dan mencakup seluruh perjalanan pelanggan dengan merek. Untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang luar biasa, perusahaan harus memperhatikan setiap detail dari interaksi langsung hingga keseluruhan persepsi yang dibentuk oleh pelanggan. Hanya dengan pendekatan holistik inilah perusahaan dapat benar-benar memenuhi dan melampaui harapan pelanggan mereka.
---


Artikel lainnya:
TTL; A Holistic Marketing Approach!

Navigating the Intersection of Human Empowerment and AI Technology

Strategi Kunci Customer Service / Contact Center

Tentang AHT (Average Handling Time)


2024/08/07

TTL; A Holistic Marketing Approach!

Pict source: jagoanhosting.com

In the realm of marketing, ATL (Above The Line) and BTL (Below The Line) strategies have long been recognized as complementary forces. ATL focuses on brand awareness, casting a wide net to reach a broad audience through mass media channels such as television, radio, and print. On the other hand, BTL zeroes in on direct engagement and sales, targeting specific groups through methods like direct mail, promotions, and events.

However, the advent of social media has significantly transformed the landscape. The once clear boundaries between ATL and BTL marketing have become increasingly blurred. Social media platforms have emerged as a powerful hybrid tool, capable of executing both ATL and BTL strategies simultaneously. With the ability to reach vast audiences and create brand awareness (an ATL function) while also facilitating direct interactions, personalized marketing, and driving conversions (BTL functions), social media uniquely straddles both realms.

Today, a single social media campaign can achieve widespread brand visibility, foster community engagement, and directly influence purchasing decisions. Marketers can utilize these platforms to deliver a cohesive strategy that maximizes the strengths of both ATL and BTL approaches. For example, a well-executed social media campaign can enhance brand image through creative content, viral trends, and influencer partnerships, fulfilling the ATL objective. Simultaneously, it can drive targeted promotions, personalized offers, and interactive engagements that lead to measurable sales results, aligning with BTL goals.

As the marketing landscape continues to evolve, the integration of ATL and BTL through social media represents a paradigm shift. It underscores the necessity for marketers to adopt a holistic approach that leverages the synergies of both strategies. By embracing the multifaceted capabilities of social media, businesses can create more dynamic, engaging, and effective marketing campaigns that resonate with today’s digital-savvy consumers.

The integration of both strategies (ATL and BTL) is now referred to as TTL (Through The Line). TTL embodies a holistic marketing approach that seamlessly blends the broad reach of ATL with the targeted engagement of BTL. By leveraging the strengths of both, businesses can create more comprehensive and impactful campaigns. In the digital age, where consumer behavior is constantly evolving, TTL allows for flexibility and adaptability, ensuring that marketing efforts are both wide-reaching and deeply personalized. Embracing TTL enables brands to navigate the complexities of modern marketing, ultimately driving greater brand loyalty and achieving more significant business results.

---

I also post this article in my Linkedin account: Click Here

2024/06/24

Inisiatif dan Adaptabilitas: Kunci Sukses di Era Perubahan

Di tengah dinamika dunia yang terus berubah dengan cepat, dua kualitas yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan pribadi maupun profesional adalah inisiatif dan adaptabilitas. Kedua hal ini bukan sekadar skill biasa, tetapi prinsip yang mendasari kemampuan seseorang untuk bergerak maju dan berkembang dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang tak terduga.

Inisiatif: Mendorong Perubahan dan Inovasi

Inisiatif adalah kemampuan seseorang untuk bertindak secara proaktif tanpa perlu didorong atau dipaksa oleh orang lain. Orang yang memiliki inisiatif cenderung melihat peluang di tengah tantangan, mengambil langkah awal untuk memulai solusi, dan tidak menunggu instruksi untuk bertindak. Di tempat kerja, inisiatif sangat dihargai karena mencerminkan kemampuan seseorang untuk mengambil alih dan mengarahkan situasi menuju hasil yang positif.

Individu yang memiliki inisiatif seringkali menjadi pionir dalam mengusulkan ide baru, menemukan cara-cara baru untuk meningkatkan efisiensi, atau bahkan mengatasi masalah yang rumit dengan kreativitas dan keberanian. Mereka tidak hanya menunggu perintah, tetapi aktif menciptakan nilai tambah bagi diri mereka sendiri dan bagi organisasi tempat mereka bekerja.

Adaptabilitas: Menghadapi Perubahan dengan Fleksibilitas

Adaptabilitas adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dengan cepat dan efektif. Di era di mana teknologi berkembang pesat dan dinamika pasar tidak stabil, adaptabilitas menjadi kunci untuk tetap relevan dan kompetitif. Kemampuan ini tidak hanya tentang fleksibilitas dalam mengubah strategi atau pendekatan kerja, tetapi juga tentang keinginan untuk terus belajar, mengembangkan keterampilan baru, dan menghadapi ketidakpastian dengan keyakinan.

Individu yang adaptif mampu mengubah arah ketika diperlukan, mengatasi hambatan dengan solusi yang kreatif, dan melihat perubahan sebagai peluang untuk tumbuh dan berkembang. Mereka tidak terpaku pada cara-cara lama yang mungkin sudah tidak relevan, melainkan siap untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang muncul.

Sinergi Inisiatif dan Adaptabilitas

Ketika inisiatif dan adaptabilitas digabungkan, mereka menciptakan sinergi yang kuat. Inisiatif memacu individu untuk memulai perubahan dan inovasi, sementara adaptabilitas memastikan mereka dapat bertahan dan berkembang melalui berbagai perubahan yang terjadi. Kombinasi kedua kualitas ini tidak hanya memungkinkan seseorang untuk sukses dalam karier, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang positif dalam organisasi dan masyarakat.

Mengembangkan Inisiatif dan Adaptabilitas

Untuk mengembangkan inisiatif dan adaptabilitas, penting untuk:

  • Meningkatkan kesadaran diri: Kenali kekuatan dan kelemahan pribadi untuk dapat mengambil langkah berdasarkan kebutuhan.
  • Menumbuhkan proaktivitas: Jangan hanya menunggu arahan, tetapi ambil inisiatif dalam menyelesaikan tugas dan menciptakan peluang baru.
  • Membangun ketahanan: Hadapi rintangan sebagai pelajaran dan kesempatan untuk tumbuh lebih kuat.
  • Mempertajam keterampilan belajar: Selalu terbuka untuk mempelajari hal baru dan menyesuaikan diri dengan perkembangan terbaru dalam bidang kerja.

Dengan mengasah kualitas inisiatif dan adaptabilitas ini, seseorang tidak hanya dapat berhasil dalam karier mereka, tetapi juga menjadi teladan dalam menghadapi tantangan global yang terus berubah. Inisiatif dan adaptabilitas bukan hanya sekadar kemampuan, tetapi sikap hidup yang membedakan mereka yang mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan yang tidak terelakkan.

InsyaAllah! 
#masyaAllahtabarakallahu

---
Artikel menarik lainnya.

TTL; A Holistic Marketing Approach!

Navigating the Intersection of Human Empowerment and AI Technology

Strategi Kunci Customer Service / Contact Center

Tentang AHT (Average Handling Time)

2023/02/23

Perbedaan RACI dan DACI dalam "Project Management'

 

RACI dan DACI adalah dua jenis matriks yang digunakan dalam manajemen proyek untuk membantu mengklarifikasi peran dan tanggung jawab dalam suatu proyek. Meskipun keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu membagi peran dan tanggung jawab antara anggota tim proyek, namun ada perbedaan antara keduanya.

R-A-C-I

RACI adalah singkatan dari Responsible, Accountable, Consulted, dan Informed, yaitu suatu metode manajemen proyek yang digunakan untuk membantu mengklarifikasi peran dan tanggung jawab dalam suatu proyek. Matriks RACI memperlihatkan siapa yang bertanggung jawab, siapa yang terlibat, siapa yang diberitahukan, dan siapa yang harus dikonsultasikan dalam suatu tugas atau kegiatan dalam proyek.

Berikut penjelasan lebih detail dari masing-masing peran dalam RACI:



  1. Responsible (bertanggung jawab): Orang yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan tertentu atau tugas dalam proyek. Orang yang bertanggung jawab harus memastikan bahwa pekerjaan tersebut selesai dengan benar, tepat waktu, dan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.

  2. Accountable (bertanggung jawab akhir): Orang yang bertanggung jawab atas keseluruhan hasil pekerjaan atau tugas dalam proyek. Orang yang bertanggung jawab akhir harus memastikan bahwa pekerjaan selesai sesuai dengan tujuan proyek dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.

  3. Consulted (dikonsultasikan): Orang yang harus dimintai masukan atau saran sebelum keputusan dibuat atau pekerjaan dilakukan. Orang yang dikonsultasikan mungkin memiliki pengetahuan atau keahlian yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa pekerjaan dilakukan dengan benar atau keputusan yang dibuat tepat.

  4. Informed (diberitahukan): Orang yang harus diberitahu tentang hasil pekerjaan atau tugas dalam proyek. Orang yang diberitahu mungkin perlu mengetahui status pekerjaan atau tugas tertentu untuk memastikan kelancaran proyek atau memberikan kontribusi.

  5. Dengan menggunakan matriks RACI, tim proyek dapat memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim sehingga setiap orang dalam tim memahami tugasnya dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap pekerjaan atau kegiatan dalam proyek. Hal ini membantu meminimalkan kesalahan, mengurangi kebingungan dan meningkatkan efisiensi tim secara keseluruhan.

    --- D-A-C-I

    DACI adalah singkatan dari Driver, Approver, Contributor, dan Informed, yaitu suatu metode manajemen proyek yang serupa dengan RACI tetapi dengan perbedaan pada peran Driver. Matriks DACI memperlihatkan siapa yang bertanggung jawab untuk mengemudikan tugas atau kegiatan, siapa yang memberikan persetujuan, siapa yang memberikan kontribusi, dan siapa yang harus diberitahu.

    Berikut adalah penjelasan lebih detail dari masing-masing peran dalam DACI:

    1. Driver (pengemudi): Orang yang memimpin tugas atau kegiatan dalam proyek dan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tugas tersebut selesai sesuai dengan waktu dan spesifikasi yang telah ditentukan.

    2. Approver (pemberi persetujuan): Orang yang bertanggung jawab untuk menyetujui atau menolak hasil kerja dan memastikan bahwa tugas atau kegiatan sesuai dengan tujuan proyek.

    3. Contributor (kontributor): Orang yang memberikan kontribusi pada tugas atau kegiatan tertentu dalam proyek. Orang yang memberikan kontribusi mungkin memiliki pengetahuan atau keahlian khusus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan tersebut dengan baik.

    4. Informed (diberitahukan): Orang yang harus diberitahu tentang hasil kerja atau tugas dalam proyek. Orang yang diberitahu mungkin perlu mengetahui status pekerjaan atau tugas tertentu untuk memastikan kelancaran proyek atau memberikan kontribusi.

    Dengan menggunakan matriks DACI, tim proyek dapat memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim dalam proyek, terutama dalam situasi yang melibatkan beberapa pihak atau organisasi. Metode ini membantu memastikan bahwa setiap orang dalam tim memahami peran dan tanggung jawabnya sehingga meminimalkan risiko kesalahan atau kebingungan yang dapat menghambat proyek.

    Dari penjelasan di atas dapat kita tarik simpulan sebagai berikut:

    Perbedaan utama antara RACI dan DACI adalah bahwa RACI lebih berfokus pada siapa yang bertanggung jawab atas pekerjaan atau tugas tertentu, sedangkan DACI lebih berfokus pada siapa yang harus memastikan bahwa tugas tertentu atau keputusan dibuat atau dilakukan. Selain itu, RACI lebih cocok untuk proyek dengan hierarki yang jelas, sedangkan DACI lebih cocok untuk proyek yang lebih kolaboratif dan tim yang terdistribusi.


2021/10/07

EFISIENSI BIAYA OPERASIONAL CS

Dalam Whatsapp group Indonesia Contact Center Association (ICCA), pak Andi Anugrah, selaku ICCA Chairman yang juga Admin di group melempar sebuah diskusi lewat tulisan regularnya setiap pagi yang diberi tajuk #celotehpagi. Judul tulisannya pagi ini adalah 'Berfikir Kritis'. Maksud dari judul tersebut tampaknya adalah terkait 'tantangannya' pada para CS Manager yang ikut berlomba di ajang tahunan yang dihelat oleh ICCA. Ajang itu adalah The Best Contact Center Indonesia 2021. 

Kembali pada tulisannya, pak Andi membuka tulisannya dengan pertanyaan berikut:

Salah satu pertanyaan yang kami ajukan pada saat lomba individual adalah mengenai efisiensi biaya operasional. Dalam pertanyaan moderator tersebut menyebutkan “Sebagai Manager Contact Center terbaik, Jika anda diminta melakukan efisiensi biaya operasional. Pilih tindakan yang akan anda lakukan, apakah Mengurangi jumlah Agent Atau Menyediakan Layanan Digital ? Jelaskan 3 alasan dari pilihan tersebut ?”

Jika anda dalam posisi tersebut, yang mana yang akan menjadi prioritas anda ? Apakah mengurangi jumlah agent atau menyediakan layanan digital ? Coba anda jelaskan tanpa menghubungkan keduanya atau coba anda jelaskan dengan menggunakan data-data yang mendukung.  Coba anda jelaskan dengan memperhatikan risiko dan proses pengembangan yang harus dilakukan.

---
Pada artikel singkat ini saya tidak sedang mencoba pertanyaan pak Andi. Ini hanya sekedar memberikan satu perspektif tentang apa yang ingin didiskusikan pada tulisan di atas.

Begini komentar saya dalam WAG tersebut:

Sungguh menarik pertanyaan moderatornya ya pak Andi. 😊

Terasa menantang terutama pada dua pilihan yang disediakan: (1) Mengurangi jumlah Agent Atau (2) Menyediakan Layanan Digital?

Terkait pilihan nomor 2, di era sekarang yg serba digital, kebutuhan akan digital touch point adalah sebuah keniscayaan, kalau tak disebut sebagai keharusan. Maka ia sesungguhnya tak hanya semata terkait pada efisiensi biaya operasional. Mau mahal pun, ketika dalam kancah kompetisi mengharuskan perusahaan memiliki layanan digital, mau gak mau harus dilakukan. Apalagi ketika layanan digital itu telah menjadi kebutuhan dasar atau hygiene factor dari customer need zaman now. Bisa jadi dengan disediakannya layanan digital yang komprehensif, perusahaan perlu menyediakan system/tool/platform digital yang cukup costly. Tapi di ujung, akan bisa diprediksi seperti apa cost per contact (CPC) atau dalam komparasi yang lebih luas lagi adalah cost per subsriber / cost per customer. Setelah customers teredukasi dengan layanan digital sangat mungkin kebutuhan mereka untuk menghubungi CS ~slowly but sure~ akan berkurang. Ini pertanda baik bagi efisiensi.

Adapun pada pilihan yang pertama, itu perlu dilakukan ketika perhitungannya menunjukkan bahwa memang terjadi overstaffing. Kelebihan orang. Kalau ternyata kondisi jumlah orangnya pas-pasan, atau mungkin cenderung kurang orang, maka tentu saja pengurangan jumlah karyawan bukanlah keputusan yang tepat. Alih-alih untuk efisiensi biaya operasional, dengan mengurangi jumlah agent nanti bisa menyebabkan factorof easiness to access-nya CS jadi NOL. Itu akan jadi bumerang dan bow waktu bagi perusahaan. Hanya menunggu waktu untuk melihat customers hengkang ke kompetitor.

Untuk tetap memenuhi keinginan top manajemen dalam hal efisiensi biaya operasional yang sangat penting dilakukan adalah 'mengurangi contact per subscribers'. Harus diupayakan bahwa customer tidak merasa perlu menghubungi CS karena mereka sudah teredukasi dengan baik dan jelas di laman FAQ, dan layanan self service yang tersedia. Untuk itu CS manager harus kolaborasi dengan beberapa stakeholders: 

(1) Dengan team produk; Pastikan di setiap titik dari Customer Journey adalah frictionless experience. Sehingga komplain berkurang. 

(2) Dengan team engineering; Resolve semua paint points yang ada dengan tindakan preventif untuk paint points serupa di masa y.a.d. Sehingga mass complaint dapat diantisipasi.

(3) Dengan team marketing/Content writing; Revamping FAQ. Buat laman FAQ yang benar-benar edukatif. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti. Akan lebih keren jika disertai dengan animasi 'how to'-nya. Sehingga pertanyaan umum yang berulang tidak perlu ditanya lagi oleh customers.

(4) Dengan team Helpdesk; Pastikan SOP eskalasi berjalan sesuai yang disepakati. Time to Resolve-nya harus terjaga. Dengan kejelasan SLA per tiket ini membuat pelanggan tidak menghubungi CS terus-terusan untuk cek progress komplainnya. Sehingga repeated tickets dapat dihilangkan.

Ketika empat inisiatif di atas dilakukan dengan ketat, percayalah jumlah tiket/kontak akan berkurang signifikan. Dengan sendirinya nanti akan terjadi overstaffing, disanalah seorang CS Manager dapat melakukan pengurangan karyawan dengan alasan yang sangat reasonable. Dalam hal melakukan pengurangan karyawan, perlu dilakukan dengan standar dan ukuran yang tepat, sehingga yang tersisa adalah benar-benar karyawan berprofuktifitas tinggi saja, sebagai hasilnya akan didapatkan efisiensi biaya operasional yang mencengangkan! :)

Just my2cent:)

2017/08/19

APA ITU PERILAKU ORGANISASI?

Perilaku Organisasi menurut Stephen P. Robbins adalah bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan tujuan mengaplikasikan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki efektivitas organisasi. Robbins menjelaskan bahwa perilaku organisasi adalah studi yang mengambil pandangan mikro – memberi tekanan pada individu-individu dan kelompok-kelompok kecil. 
picture is powered by google

Perilaku organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di dalam organisasi dan seperangkat prestasi dan variabel mengenai sikap yang sempit dari para pegawai, dan kepuasan kerja adalah yang banyak diperhatikan. Topik-topik mengenai perilaku individu, yang secara khas dipelajari dalam perilaku organisasi adalah persepsi, nilai-nilai, pengetahuan, motivasi, serta kepribadian. Termasuk di dalam topik mengenai kelompok adalah peran, status kepemimpinan, komunikasi, dan konflik. Perilaku organisasi memandang masalah organisasi adalah masalah manusia. Dengan demikian inti dan determinan studi perilaku organisasi adalah tentang manusia. 
Tujuan studi perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan perilaku manusia. 
1. Menjelaskan perilaku manusia
Artinya adalah kajian perilaku organisasi berusaha untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan fenomena dalam manajemen merupakan hal yang penting karena membantu para manajer (atasan) dalam membuat sebuah keputusan, proyek atau sasaran kelompok. 
Contoh di tempat kerja: Dalam pembuatan sebuah proyek lintas departemen, manajemen Zalora selalu mencarikan orang yang pas untuk setiap posisinya. Pencarian orang yang pas ini bisa menjadi lebih mudah ketika manajemen sudah mengetahui ‘mapping’ perilaku setiap individu yang terlibat dalam organisasi. Melalui penjelasan perilaku manusia, manajemen dapat mengetahui ‘siapa’ akan bertindak ‘apa’ sehingga pencarian ‘orang yang pas’ untuk suatu proyek yang dimaksud bisa menjadi lebih mudah dilakukan. 
2. Meramalkan perilaku manusia 
Berarti studi perilaku organisasi ini dapat membantu memprediksi kejadian atau fenomena organisasi di masa yang akan datang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. 
Contoh: Agak mirip dengan poin 1 di atas, namun ini biasanya berlaku untuk sebuah aturan atau kebijakan baru yang akan diluncurkan. Manajemen menjadi sangat terbantu dalam pembuatan keputusan atau kebijakan karena sudah dapat memprediksi respon yang akan diberikan oleh karyawan. Mekanismenya, biasanya top manajemen akan mengumpulkan seluruh ‘head of departments’ termasuk head of HR untuk dimintai pendapatnya tentang apa kira-kira respon dari karyawan ketika keputusan/kebijakan baru diluncurkan. Head of departments sudah menyimpan data-data perilaku setiap karyawan yang didapat berdasarkan observasi sebelumnya.
3. Mengendalikan perilaku manusia 
Artinya bahwa kajian perilaku organisasi ini dapat menyediakan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Di antara strategi yang dapat dilaksanakan diantaranya adalah strategi kepemimpinan, motivasi dan pengembangan tim kerja yang efektif. 

Contoh: Untuk memastikan bahwa perilaku manusia dalam organisasi tetap baik, disiplin dan.’comply’ pada aturan, diberlakukan sebuah reward and punishment system. Melalui pendekatan ini terbukti perilaku manusia lebih mudah untuk dikendalikan. Bagi yang berperilaku sesuai dengan aturan organisasi dan well performed akan mendapatkan reward, sebaliknya bagi yang berperilaku tidak baik akan dikenakan ‘punishment’ yang sebelumnya sudah disepakati oleh semua pihak, termasuk oleh karyawan sendiri. Agar system reward and punishment ini dapat berjalan dengan efektif, top manajemen selalu melakukan ‘reminding’ kepada semua karyawan di setiap ‘town-hall’ atau gathering semua karyawan setiap bulannya. Puncaknya, dalam siklus tahunan, akan diberikan feedback report kepada setiap karyawan dalam bentuk annual performance report.