"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


Showing posts with label Novel. Show all posts
Showing posts with label Novel. Show all posts

2024/09/30

Cerbung bagian VIII: Rahasia Freeman dan Keluarga Stark

Indahnya sore itu mulai terasa sejak kami tiba di rumah Freeman. Undangan yang sempat membuatku ragu, kini menjelma menjadi pertemuan yang tak terduga. Rumah besar bergaya kolonial di pinggir kota tampak hidup, seakan menyimpan cerita-cerita lama di balik setiap sudutnya. Aku dan keluargaku disambut hangat oleh Freeman dan isterinya yang tersenyum ramah. Senyuman Freeman seolah mengisyaratkan bahwa hari ini bukan sekadar jamuan makan, tapi juga pertemuan yang akan membawa aku ke masa lalu yang tak pernah aku duga.

Sebelum melangkah masuk lebih dalam, aku menoleh ke arah meja makan di luar. Di sana, seorang chef muslim asal Makassar tengah sibuk mengolah ikan bakar khas bumbu Makassar yang aromanya menggoda. Aku belum pernah menyangka akan merasakan kelezatan nusantara di tanah Amerika, apalagi diundang oleh seorang mantan militer Amerika seperti Freeman untuk menikmatinya. Chef itu sudah 15 tahun di Amerika, membangun reputasi dari dapur-dapur kecil hingga terkenal sebagai penyaji hidangan eksotis dari Timur. Menariknya, istri Freeman adalah orang Vietnam, jadi mereka sudah terbiasa dengan berbagai hidangan Asia Tenggara, termasuk masakan bercita rasa Indonesia.

Langkah kami menuju ruang tamu membawa kehangatan tersendiri. Foto-foto yang terpajang di dinding seakan menjadi penjaga masa lalu Freeman. Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah foto tua. Freeman, tampak lebih muda dan berpenampilan militer, berdiri di samping seorang pria kulit putih dengan pakaian yang sama. Yang mengejutkan adalah tulisan samar di latar belakang foto itu: RM Rindu Alam. Aku mengenali tempat itu, sebuah restoran legendaris di Puncak, Bogor. Di foto tersebut, Freeman tampak menggendong seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahun, dengan senyuman tipis yang penuh teka-teki.

Aku terdiam sesaat, merenungkan latar belakang foto itu. Freeman, yang dulunya adalah prajurit militer, tampak begitu dekat dengan sosok prajurit Amerika yang berdiri di sampingnya. Seolah foto itu mengandung rahasia yang belum terkuak. Saat aku tengah larut dalam pikiran, tiba-tiba sebuah tepukan di pundakku mengejutkanku. Freeman berdiri di belakangku, tersenyum dengan sorot mata yang tenang. "Tertarik dengan foto itu?" tanyanya, seolah sudah membaca rasa penasaranku.

Malam itu, sambil menikmati hidangan ikan bakar yang kaya bumbu, Freeman mulai bercerita tentang masa lalunya yang tak pernah terbayang dalam benakku. Pria dalam foto itu, katanya, adalah Abraham Stark, seorang Kolonel di Atase Militer Amerika di Jakarta. "Dan anak kecil yang kugendong itu," Freeman melanjutkan, "adalah Jaloe. Kami biasa memanggilnya si Jalu." Aku tertegun. Bagaimana bisa Jaloe yang kutemui dalam peristiwa mencekam beberapa waktu lalu ternyata memiliki keterkaitan yang begitu dekat dengan Freeman? Dan lebih mengejutkan lagi, Jalu lahir di Indonesia.

Inilah sisi lain dari Freeman yang tak pernah aku ketahui. Hubungan antara dia dan keluarga Stark dimulai di Vietnam, saat perang berkecamuk. Abraham Stark adalah komandannya ketika mereka terlibat dalam operasi militer yang keras dan penuh darah. Setelah perang usai, mereka tetap menjalin hubungan dekat, bahkan setelah keluarga Stark pindah ke Indonesia. "Kami sering berlibur ke Puncak," lanjut Freeman, "dan di sanalah Jalu dilahirkan. Anak itu tumbuh di bawah bayang-bayang ayahnya yang keras."

Saat Abraham Stark memutuskan untuk menetap kembali di Amerika setelah 8 tahun di Indonesia, Freeman ikut serta dalam kepindahan itu. Keluarga Stark memulai bisnis kecil-kecilan, dan Freeman dipercaya untuk membantu mereka menjalankan usaha. Namun, hubungan Freeman dengan anak-anak Stark, Joel dan Jaloe, mulai memburuk seiring berjalannya waktu. “Joel selalu merasa bahwa aku terlalu dekat dengan ayahnya,” Freeman menghela napas, “dan itu yang membuatnya penuh kebencian. Jaloe, di sisi lain, lebih lembut, tapi terperangkap dalam bayang-bayang kakaknya.”

Obrolan kami berlanjut hingga malam, menyusuri jejak-jejak masa lalu yang penuh teka-teki. Freeman mengungkapkan bahwa Joel dan Jaloe tak pernah benar-benar memaafkannya atas kedekatannya dengan ayah mereka. "Aku mencoba menjauh, tapi takdir selalu membawaku kembali," katanya dengan nada berat. Aku bisa merasakan ada kepedihan yang tersimpan di balik senyuman tenangnya.

Untuk sesaat, kami terdiam. Isteriku dan anak-anak tengah bercengkerama dengan istri Freeman, sementara aku masih mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Rasa ingin tahuku tentang hubungan Freeman dan keluarga Stark semakin dalam, tapi aku juga tak ingin terlalu jauh masuk ke dalam konflik batin mereka. Ada batas yang harus aku jaga.

Ruang tamu mulai terasa hangat oleh obrolan ringan dan gelak tawa anak-anak. Freeman menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih, namun ia menahan diri. Mungkin karena hari sudah terlalu malam, atau mungkin ia merasa tak semua cerita harus diungkap sekaligus. Namun, satu hal yang aku tahu, pertemuan ini bukanlah akhir dari cerita panjang yang melibatkan Freeman dan keluarga Stark.

Waktu berjalan begitu cepat. Sebelum aku sadar, malam sudah semakin larut. Kami berpamitan, membawa pulang lebih banyak dari sekadar makanan lezat. Kami membawa cerita-cerita lama yang tak hanya menghiasi pikiran, tapi juga hati. Kisah Freeman dan Stark, serta hubungan yang begitu kompleks, kini menjadi bagian dari pemahamanku tentang hidup dan perjalanan manusia.

Aku merasa perjalanan hidup Freeman, yang penuh liku, memberikan pelajaran tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan cinta yang tak selalu bisa dipahami dengan sederhana. Dan malam itu, di tengah kebersamaan, aku merasa sedikit lebih dekat dengan rahasia-rahasia yang disimpan oleh dunia ini.

Yang mengejutkan adalah, saat kami hendak melangkah keluar, Freeman berbisik padaku, "Mungkin suatu hari nanti kau akan tahu, mengapa semua ini terjadi." Dan dengan itu, kami melangkah pulang, dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, menunggu jawaban yang entah kapan akan terungkap. Pertanyaan lain yang masih menggelayut di pikiranku adalah, kenapa tidak ada foto si Joel di dinding rumah mereka.

2024/09/28

Cerbung Bagian VII: Jejak di Dua Dunia- Kembali ke Akar

Siang itu, kantor co-working space terasa lebih semarak dari biasanya. Banner besar dengan tulisan “Welcome Founder” terpampang di ruang depan, seolah menjadi penanda pentingnya hari ini. Semua staf terlihat sibuk memastikan semuanya berjalan lancar. Ini adalah momen yang sudah ditunggu selama berminggu-minggu; kedatangan sang founder untuk townhall meeting dan makan siang bersama tim.

Selama empat bulan terakhir, komunikasi kami hanya dilakukan melalui layar. Tapi kali ini, founder hadir secara fisik, membuat pertemuan ini terasa lebih nyata. Ketika beliau tiba, kami bersalaman. Rasanya seperti reuni kecil di tengah kesibukan proyek besar ini. Kehadirannya mengingatkan kami betapa pentingnya momen kebersamaan untuk membangkitkan semangat tim.

Townhall dimulai tepat waktu. Founder berdiri di depan ruangan, dengan karisma yang tidak berkurang sedikit pun meski waktu dan jarak sempat memisahkan. “Terima kasih atas kerja keras kalian semua,” katanya, memulai pembicaraan dengan nada penuh apresiasi. Namun, seketika wajahnya menjadi lebih serius. “Ada kabar penting—launching kita harus ditunda satu bulan.”

Oh, kabar yang tidak kami harapkan. Meskipun demikian, kami paham bahwa keputusan itu diambil demi kebaikan. Founder menjelaskan bahwa masih ada beberapa kontrak penting dengan partners lokal yang belum rampung, terutama dalam hal warehouse dan delivery. Selain itu, strategi Go To Market harus benar-benar matang agar peluncuran di Amerika ini berdampak signifikan. “Lebih baik terlambat, tapi sukses,” katanya dengan tegas.

Waktu bergulir cepat, dan setelah townhall selesai, aku dipanggil untuk meeting satu lawan satu dengan founder. Kami duduk di ruang kecil di sudut kantor. Dengan suara pelan tapi penuh makna, founder memberitahuku bahwa sudah waktunya aku merekrut seorang Head of Operations lokal. Rekrutmen ini akan melanjutkan apa yang sudah aku bangun di sini. “Kamu masih diperlukan di Singapore,” katanya, “jadi setelah launching, kamu akan kembali ke Asia Tenggara.”

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap detailnya. Pekerjaan ini memang menantang, tapi aku tahu inilah tanggung jawab yang harus kuemban. “Baik, saya akan segera memulai proses rekrutmen,” jawabku. Ada sedikit kelegaan, karena meskipun tugas di sini masih banyak, setidaknya aku tahu perjalanan karirku selanjutnya sudah lebih jelas.

Nasib anak-anakku menjadi bagian penting dari pertimbanganku. Selama ini, kami tidak mendaftarkan mereka ke sekolah formal di Amerika, hanya mengambil kursus. Keputusan itu kini terasa benar, karena dengan rencana kepulanganku ke Asia Tenggara, mereka bisa melanjutkan homeschooling yang sudah kami mulai dari Jakarta. Lebih fleksibel dan bisa diadaptasi sesuai jadwal pergerakan keluarga.

Istri dan anak-anakku tentu harus kuajak bicara tentang kabar ini. Sore harinya, setelah pekerjaan di kantor selesai, aku pulang dengan membawa banyak hal yang perlu dibicarakan. Setiba di rumah, aku menceritakan keputusan penting itu kepada isteri dan anak-anak. Poin-poin utama disampaikan dengan hati-hati, agar mereka mengerti mengapa perubahan ini harus terjadi.

Sebaliknya dari yang kuperkirakan, respons mereka sungguh positif. Isteriku tersenyum, dan anak-anak langsung bersorak kegirangan. "Horeeee! Kita balik ke Asia Tenggara!" seru mereka sambil melompat-lompat. Ternyata, mereka merindukan kehidupan di sana lebih dari yang kuduga.

Momen itu menghangatkan hatiku. Keputusan yang tadinya terasa berat kini menjadi lebih mudah dijalani, karena dukungan keluarga yang tak tergoyahkan. Isteriku, seperti biasa, selalu menjadi sandaran terkuat dalam setiap keputusan besar. Meski perpindahan ini akan membawa tantangan baru, aku tahu kami akan melaluinya bersama.

Aku duduk di ruang tamu, memandangi wajah-wajah ceria anak-anakku yang mulai berfantasi tentang kembalinya mereka ke Jakarta, ke rumah lama, ke taman bermain yang mereka rindukan. Rasa syukur mengalir dalam diriku, bahwa meski hidup ini penuh dengan perubahan, keluarga selalu menjadi jangkar yang membuat setiap keputusan terasa lebih ringan.

Nanti, di hari-hari mendatang, kami akan mempersiapkan kepulangan ini dengan hati yang lapang. Meski perjalanan ini belum selesai, aku tahu kami sedang menapak jalan yang benar. Di balik setiap tantangan, selalu ada kebersamaan yang membuat segalanya terasa lebih indah.

2024/09/27

Cerbung bagian VI: Jejak Keakraban di Tanah Perantauan

Udara pagi masih terasa segar ketika aku menaiki bus menuju kantor, meski mataku sedikit berat karena kurang tidur. Angin lembut meniup wajahku, menyingkap sedikit masker yang kugunakan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang kutempuh belakangan ini. Aku duduk di dekat jendela, menatap langit yang perlahan berubah warna, bersiap menyambut bos besar dari Singapura yang akan datang siang ini. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, tapi pikiranku sesekali melayang pada undangan Freeman untuk barbeque akhir pekan nanti.

Seiring bus melaju, pikiranku semakin dipenuhi rencana-rencana kantor. Pesawat yang ditumpangi bos dijadwalkan mendarat menjelang sore, dan tim sudah mengatur semuanya—dari jemputan bandara ke hotel, hingga memastikan bos bisa istirahat malam ini, menghilangkan jejak lelah akibat penerbangan panjang. Aku sedikit lega, malam ini tak ada agenda yang perlu disiapkan, hanya waktu untuk bersiap menghadapi pertemuan esok hari.

Tengah hari nanti, seperti biasa, aku berencana makan di stand makanan halal. Stand yang selalu menjadi tempat peristirahatan singkat di tengah hari-hariku yang sibuk. Aku teringat wajah ramah Halime, penjaga stand yang kukenal baik. Setiap kali, percakapan ringan kami selalu menyenangkan, terutama saat kami berbicara tentang Turki dan serial Dirilis Ertugrul. “Apa kabar bang Ertugrul?” gurauku, mengingat karakter legendaris itu. Halime tertawa dan menggelengkan kepala, “Pak Feri ternyata juga nonton ya?”

Aku tersenyum, mengangguk. Serial Turki yang penuh kisah heroik dan sejarah itu telah mengikat banyak hati, termasuk hatiku. Entah mengapa, selalu ada kesan mendalam ketika berbicara tentang para pahlawan masa lalu, yang seolah membawa kita menyusuri lorong waktu menuju kejayaan Islam di masa lampau. Halime tampak terkejut mengetahui aku mengikuti serial itu, mungkin karena kami jarang berbicara tentang hal-hal pribadi.

Di stand makanan halal, tak hanya muslim yang menjadi pelanggan. Yahudi yang menghindari babi dan alkohol, serta teman-teman vegetarian dari India, semuanya berkumpul di sini. Makanan halal menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai keyakinan, di tengah hiruk-pikuk kota ini. Harmoni yang terjalin begitu indah dalam sebuah tempat kecil, di mana perbedaan menjadi kekayaan, bukan batas.

Zuhur selesai, aku menuju stand itu lagi. Makanan yang kusediakan menjadi lebih dari sekadar pengisi perut; itu adalah bagian dari rutinitasku, sebuah pengingat akan identitas yang kugenggam erat, meskipun jauh dari rumah. Sore ini, aku harus pulang lebih cepat. Ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah: keluarga Ustadz Rahman, yang sudah mengundang keakraban meski baru beberapa pekan kami saling mengenal.

Rasanya luar biasa bisa menemukan seseorang seperti Ustadz Rahman di tanah yang jauh ini. Bukan hanya sebagai seorang pembimbing spiritual, tapi juga sebagai sahabat dalam makna yang lebih dalam. Hubungan yang dibangun atas dasar kalimat tauhid membuat kehadiran mereka terasa seperti keluarga, meski sebenarnya kami baru saling mengenal. Sore nanti, rumahku akan disinari oleh obrolan hangat dan cerita penuh hikmah dari beliau.

Aku bergegas pulang, meninggalkan kesibukan kantor dengan perasaan ringan. Sore ini, ketika Ustadz Rahman dan keluarganya datang, aku tahu kami akan berbagi cerita yang tak hanya sekadar obrolan biasa. Seperti pertemuan sebelumnya, pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik kata-kata beliau yang penuh makna, yang selalu membawa kedamaian dalam hati.

Hujan mulai turun perlahan saat aku hampir sampai di rumah. Setiap tetesnya terasa seperti doa yang jatuh dari langit, menyejukkan hati dan pikiran. Aku menanti pertemuan ini dengan penuh harap, berharap mendapatkan cahaya baru dari perbincangan kami nanti. Dalam keheningan, ada ketenangan yang muncul ketika aku membayangkan kehangatan yang akan dibawa Ustadz Rahman ke dalam rumahku.

Malam mulai turun ketika keluarga Ustadz Rahman tiba di rumahku. Wajah beliau menyambut dengan senyum penuh kearifan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang telah ditempuhnya sebagai seorang pengembara di jalan Allah. Kami duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan di negeri yang jauh ini, tentang tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai seorang muslim di tanah yang penuh dengan kebebasan.

Aku merasa bersyukur, bisa dikelilingi oleh orang-orang yang tidak hanya memahami agamaku, tapi juga menguatkan imanku. Kehadiran mereka memberiku rasa tenang, seolah dunia ini tidak terlalu asing, meskipun kami berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Dalam kebersamaan ini, aku merasa tidak sendirian, seolah Allah selalu mengirimkan orang-orang baik untuk menemani perjalananku.

Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Di meja makan, isteriku menyajikan rendang, menu andalannya setiap kali kami menjamu tamu. Bumbu Minang yang pekat dan kaya rempah itu, setiap suapannya selalu mengundang rasa syukur, membuat siapa pun yang menikmatinya merasakan kenikmatan citarasa nusantara yang khas. Ada sejumput kerinduan pada kampung halaman dalam setiap rasa, seolah setiap gigitan mengajak kami pulang ke akar budaya, ke tanah kelahiran yang selalu dirindukan.

 

Cerbung Bagian V: Pertemuan Takdir: Freeman dan Aku

Fajar baru saja menyentuh langit ketika aku bergegas menaiki bus menuju kantor. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat jendela, memandang jalanan kota yang perlahan mulai sibuk. Di dalam benakku, rencana esok hari berputar-putar. Bos besar dari Singapura akan datang untuk kunjungan, dan kabarnya ada pengumuman penting yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Suasana kantor pasti akan lebih tegang dari biasanya, pikirku sambil merapikan masker yang masih melekat di wajahku.

Rasa penasaran menyelinap saat bus melewati kafe kecil di sudut jalan. Dari balik jendela, aku menangkap sosok yang sudah tak asing lagi: Freeman. Duduk di tempat yang biasa, dengan secangkir kopi di tangannya. Pandanganku melekat pada wajahnya, yang tampak tenang dan sedikit melamun. Tiba-tiba, sebuah pikiran konyol muncul di benakku. "Apa dia aktor yang sudah gak laku?" Aku menahan tawa kecil. Freeman, dengan segala karismanya, tetap menjadi misteri bagiku.

Empat puluh menit perjalanan terasa cepat. Bus berhenti di halte terakhir, tak jauh dari kantor kami. Kantor ini bukan milik perusahaan, hanya ruang sewa di coworking space yang sederhana. Jumlah karyawan kami tak lebih dari tiga puluh orang, maklum, perusahaan ini masih dalam tahap rintisan di Amerika. Meski kecil, semangat yang mengalir di dalamnya terasa besar. Setiap orang di sini punya impian yang besar untuk membuat perusahaan ini sukses.

Entah kenapa, suasana pagi ini terasa lebih ringan. Saat aku melangkah masuk ke dalam kantor, seorang office boy menyapaku dengan senyum ramah. "Good morning, sir!" katanya dengan aksen Filipina yang khas. Namanya John Santiago, tapi kami semua memanggilnya Santi. "Kalo di Indonesia, Santi identik dengan nama cewek ya," kataku suatu hari, dan sejak itu setiap kali aku memanggilnya, aku teringat akan lelucon kecil itu. Santi selalu bekerja dengan cekatan, memastikan kantor tetap rapi dan nyaman.

Memang, sebagian besar karyawan di kantor ini berasal dari Asia Tenggara. Headquarters kami di Singapura, jadi banyak dari kami yang ditugaskan sementara di sini, termasuk aku. Namun, perlahan perusahaan mulai merekrut karyawan lokal Amerika. Mereka akan menjadi tulang punggung tim di masa depan, setelah kami berhasil menginjakkan kaki dengan kuat di pasar ini.

Aku melirik jam tangan, dan waktu makan siang sudah hampir tiba. Seperti biasa, aku dan beberapa rekan kerja akan pergi ke foodcourt di belakang gedung samping kantor. Hanya butuh sekitar tujuh hingga delapan menit berjalan kaki. Tempat itu penuh dengan pilihan makanan, hampir tiga puluh tenant yang berjejer, tetapi hanya satu yang menjual makanan halal. Dan itu adalah stand langgananku.

Namanya Halime. Dia penjaga stand makanan halal itu, seorang part-timer asal Turki yang juga sedang berkuliah. Penampilannya selalu anggun, mengenakan hijab meskipun belum versi syar’i seperti gaya Timur Tengah yang lebih tertutup. Namun, ada sesuatu yang luar biasa dari caranya menjalani hidup, memadukan kecerdasan, keindahan, dan keyakinan. Setiap kali aku ke standnya, obrolan kami singkat tapi penuh kehangatan. Aku sudah cukup akrab dengannya, meski masih tetap menjaga formalitas.

Itu menjadi rutinitasku di sini. Menemukan tempat yang nyaman, wajah-wajah yang ramah, dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat hari-hariku di negeri asing ini terasa lebih ringan. Sore itu, setelah makan siang dan kembali bekerja, pikiranku mulai beralih ke akhir pekan. Rasa lelah mulai terasa, tapi aku tahu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum hari berakhir.

Saat aku sedang menyelesaikan beberapa laporan, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponselku. Dari Freeman. Mataku sejenak terbelalak, sedikit terkejut karena aku tak mengira dia akan menghubungiku lagi dalam waktu dekat. Isinya undangan untuk akhir pekan ini, mengajak keluargaku barbeque bersama di rumahnya. Aku tersenyum kecil, meskipun sempat ragu. Hubunganku dengan Freeman memang belum terlalu dekat, tapi kurasa, menghabiskan waktu dengan keluarganya bisa jadi pengalaman yang menarik.

Namun, meski begitu, ada sesuatu tentang Freeman yang selalu membuatku bertanya-tanya. Dia seperti teka-teki yang tak mudah dipecahkan. Aku merasa ada lapisan-lapisan di balik sosoknya yang karismatik, sesuatu yang belum ia tunjukkan sepenuhnya. Mungkin, pertemuan akhir pekan nanti bisa memberikan lebih banyak jawaban. Atau mungkin, aku akan terus bertanya tanpa pernah benar-benar tahu.

Opsi untuk menolak undangan itu sempat melintas di pikiranku. Tapi, akhirnya aku memutuskan untuk menerima. Lagipula, apa salahnya menjalin pertemanan dengan orang baru di sini? Ditambah, istriku pasti akan senang diajak berkumpul di acara santai seperti itu. Barbeque keluarga bersama Freeman bisa menjadi pelarian kecil dari rutinitas pekerjaan yang monoton.

Tepat sebelum aku pulang, aku mengirimkan balasan singkat kepada Freeman. “Sure, we’d love to join. Looking forward to it!” Rasanya, akhir pekan ini akan menjadi sesuatu yang menarik.

Rasanya aneh saat aku duduk di dalam bus, memikirkan bagaimana Freeman bisa muncul lagi dalam hidupku. Mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam yang belum aku pahami. Bagaimanapun, pertemuan kami akhir pekan nanti bisa membuka pintu untuk lebih mengenalnya.

Entah bagaimana, aku merasa Freeman memiliki cerita panjang yang ingin dia bagikan, tapi belum waktunya. Setiap kali aku bertemu dengannya, ada misteri yang terselubung di balik senyumnya, seakan dia sedang menyimpan rahasia besar yang belum siap diungkapkan. Mungkin pertemuan di acara barbeque nanti akan memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam.

Akhirnya, bus sampai di halte terakhir. Aku melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Satu bagian dari diriku penasaran dengan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, sementara bagian lain sibuk memikirkan pekerjaan dan persiapan kunjungan bos besar. Hari esok pasti akan penuh tantangan, tapi akhir pekan itu, di rumah Freeman, bisa jadi sebuah pelarian yang menenangkan.

Lampu jalanan mulai menyala ketika aku melangkah menuju area apartemen. Malam perlahan tiba, dan aku masih perlu menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan di apartemen nanti, setelah bercengkarama dengan anak dan isteri. Untuk pertemuan akhir pecan, di dalam hati, aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk Freeman, terutama tentang Joel dan Jaloe. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

2024/09/26

Cerbung Bagian IV: Cahaya Di Balik Jeruji

Menjelang siang yang berangin dingin, langkahku terasa berat memasuki lembaga pemasyarakatan itu. Aku mengenakan masker, menutupi sebagian wajahku. Itu bagian dari prosedur lapas, demi ‘keamanan’ pengunjung luar seperti diriku. Suara pintu besi yang berderit, suasana suram di lorong panjang dengan penjagaan ketat, semua terasa asing bagiku. Namun, ada satu hal yang membuatku tetap tenang: pertemuanku dengan Ustadz Rahman di Islamic Center beberapa waktu lalu. Hari ini, ia menunggu di dalam, mengajakku untuk melihat sendiri bagaimana bimbingan rohani diberikan kepada para tahanan, termasuk Joel dan Jaloe, yang beberapa hari lalu nyaris mengubah hidupku.

Ustadz Rahman menyambutku dengan senyuman penuh ketulusan. Di sini, di balik tembok penjara ini, ia memikul tugas mulia: menjadi cahaya kecil yang menuntun para tahanan menuju jalan kebenaran. “Lapas ini adalah dunia yang keras, tapi hati manusia selalu punya ruang untuk cahaya,” katanya sambil berjalan di sampingku. Kami melewati beberapa sel yang dijaga ketat, di mana suara langkah kaki terdengar jelas menggema.

Hari ini, Ustadz Rahman akan memberikan bimbingan rohani seperti biasa. Bersama para agamawan dari berbagai keyakinan, mereka rutin bertemu dengan para tahanan, terutama mereka yang terlibat kasus berat seperti pembunuhan dan narkoba. Di ruangan kecil penuh cahaya matahari yang menyelinap dari jendela jeruji, para tahanan mulai berkumpul. Di sini, waktu terasa lambat, tapi kehidupan terus berjalan.

Aku memperhatikan dari kejauhan saat Ustadz Rahman berbicara dengan seorang tahanan yang sedang duduk di sudut ruangan. Mereka terlihat tenggelam dalam percakapan mendalam. "Ini Abdoel," bisik Ustadz Rahman ketika memperkenalkannya kepadaku nanti. Abdoel adalah salah satu tahanan yang rajin menjalankan shalat di tengah ruangan selnya. Bagiku, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meski di baliknya tersimpan beban masa lalu yang kelam.

Melalui percakapan dengan Abdoel, Ustadz Rahman mengetahui lebih banyak tentang Joel dan Jaloe, dua sosok yang saat ini sedang menunggu vonis mereka dibacakan setelah beberapa pekan persidangan ke depan. Abdoel bercerita dengan tenang, seperti seorang sahabat yang mengenal karakter keduanya. "Mereka bersaudara," ucap Abdoel pelan, "tapi beda sekali. Joel itu keras kepala, merasa dirinya tak bisa dikalahkan oleh apapun. Sedangkan Jaloe, lebih tenang, seperti orang yang sedang mencari jawaban."

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan kehidupan di balik tembok ini. Joel yang sudah hampir 38 tahun, tampak mendominasi adiknya dengan kepribadian kuat dan tak kenal kompromi. Sementara Jaloe yang masih 28 tahun, menyimpan kebisuan yang penuh tanda tanya. Kata Abdoel, beberapa kali Jaloe terlihat memerhatikan ketika ia shalat. Tatapan itu bukan tatapan kosong, melainkan tatapan seseorang yang sedang berusaha memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Di ruang tahanan ini, waktu menjadi guru yang paling tegas. Namun, bagi Joel, waktu seolah tak berarti. Ia tak pernah mendengar khutbah atau ceramah agama yang disampaikan agamawan. "Dia merasa semua ini sia-sia," ujar Abdoel. “Dia hanya ingin keluar dari sini dan melanjutkan hidup seperti dulu.” Namun, hidup seperti dulu bukanlah jalan yang tersedia baginya. Kegelapan yang ia pilih mungkin akan menghantui langkahnya selamanya.

Sementara itu, Jaloe adalah cerita yang berbeda. Di balik ketenangannya, ada percikan harapan yang tumbuh. Abdoel bisa merasakannya. “Jaloe pernah bertanya kepadaku tentang doa. Dia ingin tahu, apakah doa bisa mengubah nasib seseorang?” Abdoel bercerita sambil menundukkan kepala, seolah kata-kata Jaloe itu membekas dalam benaknya. Jaloe adalah seseorang yang sedang berjuang mencari makna hidup, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.

Ada rasa iba yang menyelinap dalam dadaku, memikirkan dua saudara ini. Meski bersaudara, mereka begitu berbeda. Joel yang keras dan tak mau kalah, mungkin belum menyadari bahwa kemenangan sejati bukanlah soal siapa yang bertahan paling kuat, tapi siapa yang menemukan kedamaian dalam dirinya. Jaloe, di sisi lain, tampak seperti seseorang yang sedang berada di ambang perubahan besar, meskipun masih dilingkupi kebisuan.

Waktu terus berjalan di dalam lembaga pemasyarakatan ini, tapi Joel dan Jaloe tetap menunggu vonis yang akan segera dibacakan. Hukuman 20 tahun penjara sudah menanti mereka. Namun, lebih dari itu, mungkin yang sedang menunggu adalah takdir yang lebih besar. Joel mungkin akan terus bergulat dengan kemarahannya, sementara Jaloe perlahan meraba-raba jalan menuju penemuan spiritual yang ia dambakan.

Seperti yang dikatakan Ustadz Rahman, penjara ini adalah tempat di mana banyak orang terjebak dalam kegelapan, tetapi juga tempat di mana cahaya bisa menemukan jalan masuk, meski melalui celah-celah kecil. Aku pun teringat pada sebuah kutipan lama yang pernah kudengar, “Kadang-kadang, kita harus tersesat dulu sebelum bisa menemukan jalan pulang.” Joel dan Jaloe, bagaimanapun, sedang menjalani perjalanan mereka masing-masing, dan hanya waktu yang akan menjawab ke mana perjalanan itu akan membawa mereka.

Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruang bimbingan rohani dengan hati yang penuh renungan. Di luar sana, kebebasan tampak begitu jelas, tapi di balik tembok ini, ada kehidupan yang terus berjuang mencari arti. Ustadz Rahman memandangku dan tersenyum tipis, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. “Setiap jiwa punya jalannya sendiri untuk pulang,” ucapnya lembut. Aku pun mengangguk, merasakan makna mendalam dari kata-katanya.


Cerbung Bagian III: Cahaya Di Negeri Asing

Indah memang suasana senja menjelang Maghrib di kota ini. Tapi sayang isteri dan tiga anakku yang lain belum bisa menemani kami sore ini karena isteriku masih harus menemani anak ketiga di tempat kursusnya. Sementara anak pertama dan kedua sudah mulai bisa mandiri. Tak perlu antar jemput. Waktu Maghrib hampir tiba saat aku dan Adika berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Kami tidak akan sempat pulang tepat waktu, jadi aku memutuskan untuk mencari masjid terdekat. Beruntungnya, hanya beberapa ratus meter dari sini, terdapat sebuah Islamic Center yang besar, tempat umat Islam setempat sering berkumpul. “Kita maghrib di sini aja, ya, Nak,” kataku sambil mengarahkan langkah ke pintu masjid.

Nampaknya masjid ini cukup aktif, terlihat dari banyaknya orang yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah. Ketika kami masuk, suasana tenang langsung menyelimuti, rasa damai menyebar di seluruh ruangan. Kami segera mengambil wudhu dan bersiap di saf terdepan. Di sela-sela waktu menunggu adzan, aku memperhatikan jamaah lain—beberapa wajahnya asing, dengan berbagai latar belakang, tapi semuanya bersatu dalam niat yang sama.

Di akhir shalat Maghrib, seorang pria yang duduk di sebelahku menyapa dengan senyum hangat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pengurus masjid, sekaligus pimpinan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) cabang Amerika Serikat. "Nama saya Pak Rahman," katanya, memperkenalkan diri. Aku terkejut, tak menyangka bertemu dengan seseorang yang ternyata memimpin organisasi Islam di Amerika. Kami pun berbincang sebentar setelah shalat, saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing di negeri orang.

Orang-orang yang datang ke masjid ini ternyata bukan hanya dari latar belakang warga lokal. Aku bertemu dengan beberapa brothers dari negara-negara Timur Tengah, bahkan ada juga dari Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tengah hingga Afrika. Mereka tampak sangat bersahabat dan ramah. Tidak ketinggalan, ada beberapa bule yang baru saja menjadi mualaf, wajah mereka tampak penuh dengan semangat baru dalam mempelajari Islam. Aku merasa sangat terharu melihat perkembangan Islam di sini.

Nyata bahwa di Amerika, Islam tumbuh dengan wajah yang lebih damai, lebih dikenali sebagai agama yang membawa kebaikan dan bukan ancaman seperti yang sering dipropagandakan oleh segelintir orang di media. Tentu, ini adalah perubahan yang sangat menggembirakan. Pak Rahman bercerita, dalam tiga dekade terakhir, ia telah menyaksikan transformasi besar dalam bagaimana masyarakat Barat memandang Islam. Mereka mulai memahami Islam yang sebenarnya, jauh dari stereotip negatif.

Enak rasanya mendengar cerita tentang Islam di Amerika. Ini membuatku semakin bersyukur atas kesempatan bertemu dengan komunitas Muslim yang kuat dan berkembang. Pak Rahman juga bercerita bagaimana selama 30 tahun ia tinggal di Amerika, setelah menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar, Mesir. "Dulu, saya sekolah di Mualimin Muhammadiyah di Jogja sebelum melanjutkan studi ke Mesir," katanya mengenang masa mudanya. Kisahnya penuh inspirasi dan membuatku kagum akan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Selain menjadi pimpinan PCIM, Pak Rahman juga aktif memberikan ceramah dan pendampingan kepada para mualaf di berbagai kota besar di Amerika. “Islam di sini memang masih minoritas, tapi banyak orang yang tertarik karena melihat kedamaian dan keadilan yang diajarkan Islam,” tambahnya. Ia juga mengatakan bahwa mualaf-mualaf bule itu sering kali datang dengan pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan agama, dan Islam memberikan jawaban yang mereka cari.

Ingatanku melayang pada perjalanan kami sendiri selama tinggal di Amerika. Aku pun menceritakan kepada Pak Rahman bahwa aku sudah empat bulan tinggal di sini, bukan untuk menetap, tetapi untuk menjalankan tugas dari perusahaan. "Saya dipercaya untuk membantu mengembangkan bagian Operations, mulai dari fulfilment, warehousing, sampai last mile delivery," jelasku. "Tapi, kami belum meluncurkan produk secara komersial. Insya Allah dua bulan lagi produk kami akan siap diluncurkan," lanjutku.

Aku merasa senang bisa berbagi cerita dengan komunitas Muslim di sini. Meskipun kami berada jauh dari tanah air, kebersamaan dengan sesama Muslim membuat jarak terasa lebih dekat. Di sela-sela perbincangan, Adika yang awalnya terlihat lelah mulai menunjukkan rasa ingin tahunya dengan bertanya kepada beberapa anak kecil yang juga sedang berada di masjid. Mereka pun mulai bermain di sekitar halaman masjid, berlari-lari kecil sambil tertawa.

Interaksi dengan komunitas Muslim di Amerika ini memberikan pengalaman berharga bagiku. Aku belajar banyak dari cerita Pak Rahman dan jamaah lainnya tentang betapa pentingnya menjaga identitas Muslim di negeri orang. Selain itu, aku juga merasa lebih termotivasi untuk menjalankan tugas pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, sembari tetap menjaga prinsip-prinsip Islam dalam setiap langkah yang kuambil.

Setelah obrolan yang cukup panjang, kami pun berpisah. Pak Rahman menyarankan agar aku ikut aktif dalam kegiatan masjid ini, terutama dalam mendukung perkembangan dakwah Islam di Amerika. "Kita butuh lebih banyak orang yang siap memimpin dan berbagi ilmu di sini," katanya. Aku mengangguk setuju, meskipun aku tahu waktuku di sini terbatas karena tanggung jawab pekerjaan. Tapi, aku berjanji akan mencoba terlibat lebih banyak selama aku masih di Amerika.

Malam semakin larut saat kami berjalan pulang ke apartemen. Di jalan, aku masih memikirkan perbincangan tadi. Ternyata, Islam di Amerika berkembang jauh lebih baik daripada yang kubayangkan sebelumnya. Banyak yang mulai memahami nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih positif dan damai. Rasanya, aku mendapatkan kekuatan baru untuk terus menjalani hari-hari di sini dengan optimisme yang tinggi.

Yang menjadi sorotan bagiku adalah betapa masyarakat Muslim di Amerika tetap menjaga keimanan mereka dengan penuh semangat, meski mereka jauh dari pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini mengajarkan aku untuk tidak pernah melupakan nilai-nilai agama di manapun berada, apalagi ketika berada di lingkungan yang mungkin tidak selalu mendukung.

Cahaya lampu dari apartemen terlihat dari kejauhan, dan Adika mulai tampak lelah setelah berlarian di halaman masjid. Aku tersenyum melihatnya, bersyukur karena meskipun kami jauh dari rumah, ada tempat-tempat seperti Islamic Center ini yang memberikan rasa kedamaian dan kenyamanan bagi kami.

Orang-orang di sini tampaknya cukup terbuka terhadap Islam, bahkan beberapa yang bukan Muslim pun sering datang ke Islamic Center untuk bertanya-tanya. Ini salah satu bukti bahwa Islam bisa diterima di mana saja jika disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Aku merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari komunitas ini, meskipun hanya sementara.

Untuk beberapa saat, aku membiarkan pikiran mengalir, mengenang masa-masa awal aku tiba di Amerika. Semua tampak asing saat itu, tapi kini perlahan semuanya mulai terasa lebih akrab. Aku semakin yakin bahwa di mana pun aku berada, Islam selalu bisa menjadi pegangan yang menuntun langkahku ke arah yang benar.

Nikmatnya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan komunitas Muslim yang kuat di Amerika ini membuatku merasa lebih bersyukur. Meskipun tantangan selalu ada, aku melihat betapa pentingnya peran setiap individu Muslim dalam menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat yang mungkin belum sepenuhnya mengenal Islam.

Tantangan yang kuhadapi di Amerika mungkin tidak hanya terkait pekerjaan, tetapi juga bagaimana aku bisa mempertahankan identitasku sebagai seorang Muslim. Ini bukan hal yang mudah, tapi dengan dukungan dari komunitas di sini, aku merasa lebih kuat dan percaya diri untuk terus melangkah.

Rasanya, aku mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman maghrib kali ini di masjid. Bukan hanya tentang spiritualitas, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan komunitas baru dan menjaga prinsip-prinsip Islam di lingkungan yang berbeda. Aku pun berharap, perjalanan ini akan membawa berkah bagi masa depan keluargaku.

Yang pasti, pertemuan dengan Pak Rahman dan komunitas Muslim lainnya telah mengajarkanku untuk selalu berpegang teguh pada keimanan, apapun yang terjadi. Aku pulang dengan hati yang lebih tenang, siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat baru.

Cerbung Bagian II: Jejak Gelap Di Ujung Senja

Fajar baru dua hari setelah insiden di bengkel itu membawa ketenangan, namun aku masih sering memikirkan kejadian tersebut. Saat ini, aku baru saja menjemput Adika dari tempat les bahasa Inggris. Sore itu terasa sedikit berbeda, mungkin karena sisa-sisa ketegangan masih tersisa dalam pikiranku. Aku menatap Adika, ia berjalan dengan ceria, tidak ada tanda-tanda trauma atau ketakutan dari kejadian itu. Untung saja, dia masih terlalu muda untuk benar-benar memahami situasi yang kami alami.

Entah kenapa, pikiranku terbang ke sosok Morgan Freeman. Seperti bayangan yang terus menghantuiku sejak insiden itu. Tak pernah terbayangkan bahwa seorang aktor besar akan menjadi bagian dari hidup kami, meski hanya dalam waktu yang singkat. Dari tempat les, kami berjalan menuju bus stop, melewati pertigaan yang dihiasi dengan lampu-lampu kecil dari kafe di sudut jalan.

Rupanya, Tuhan punya rencana lain sore itu. Di meja pinggir trotoar kafe, duduklah sosok tinggi besar itu, Freeman, yang sedang memandang ke arah jalan dengan tatapan tenang. Mata kami bertemu, dan ia tersenyum ramah, melambaikan tangan seolah mengajak kami bergabung. Aku sedikit terkejut, tapi mengingat kebaikannya waktu itu, aku tak bisa menolak.

Ia mengundang kami duduk bersamanya di kafe kecil itu. Kami memesan hot chocolate untuk menghangatkan sore, sementara Adika mencoba Graham Cracker untuk pertama kalinya. "Enak ya?" tanyaku pada Adika yang mengangguk penuh semangat. Freeman tersenyum melihat keakraban kami, namun ada sesuatu dalam matanya yang tampak memikirkan hal lain.

Suasana kafe itu tenang, hanya suara percakapan kecil dan alunan musik pelan yang menemani. Dalam obrolan ringan, Freeman mulai membuka sedikit cerita tentang Joel dan Jaloe. "Mereka dulu bekerja di bengkelku," katanya pelan. "Kami pernah dekat, seperti keluarga. Tapi semuanya berubah setelah kematian orang tua mereka." Freeman berhenti sejenak, matanya melihat jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa yang sulit.

Untuk sesaat, aku merasa ada rahasia besar di balik hubungan mereka. Tapi aku tak ingin memaksanya untuk bercerita lebih banyak. Terlihat jelas bahwa ini bukan topik yang mudah baginya. "Ada masalah yang belum selesai di antara kami," ia melanjutkan. "Tapi mungkin suatu saat nanti, aku bisa memperbaikinya." Aku mengangguk, mencoba memahami perasaan Freeman tanpa terlalu banyak bertanya.

Sungguh, aku masih heran melihat bagaimana warga sekitar tampak tak peduli dengan kehadiran seorang aktor terkenal seperti Freeman. Mereka berjalan melewati kafe seolah tidak ada hal yang spesial di sana. Mungkin, mereka sudah terbiasa dengan hal-hal luar biasa di kota ini, atau mungkin mereka hanya menghargai privasi seseorang lebih dari yang kubayangkan.

Aku sendiri, harus kuakui, agak canggung duduk bersama orang terkenal seperti Freeman. Ada dorongan untuk mengambil foto selfie atau sekadar meminta tanda tangan, tapi gengsi membuatku menahan diri. Aku tak ingin terlihat norak di depannya, meskipun sebenarnya aku sangat ingin menyimpan kenangan ini.

Namun, keakraban kami sore itu membuatku merasa bahwa mungkin Freeman hanya ingin menjalani hidup seperti orang biasa. Ia tampak menikmati suasana tenang kafe, minuman hangat, dan percakapan sederhana. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu, meski jelas ada banyak cerita di balik matanya yang tenang.

Tiba-tiba, Adika bertanya padaku, “Ayah, kenapa Om Freeman tidak tinggal di bengkel lagi?” Aku tersenyum kecil, pertanyaan polos dari seorang anak yang belum mengerti kompleksitas kehidupan orang dewasa. Freeman hanya tertawa kecil mendengarnya, lalu menjawab, “Kadang, Adika, kita harus pergi dari tempat lama untuk mencari yang baru.”

Omongan itu membuatku berpikir. Mungkin Freeman juga sedang berusaha melarikan diri dari masa lalunya, seperti kami yang berusaha memulai hidup baru di tempat ini. Ada persamaan yang aneh antara kehidupan kami dan sosok besar ini, meskipun dari luar kami tampak sangat berbeda.

Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, aku merasa waktu kami di kafe itu akan segera berakhir. Freeman tampak lebih tenang sekarang, mungkin karena ia merasa ada tempat aman di mana ia bisa berbagi cerita, meski hanya sedikit. Adika, yang mulai mengantuk, bersandar di pundakku. "Terima kasih sudah menemani saya sore ini," ucap Freeman sambil tersenyum tulus.

Sebelum kami beranjak, Freeman berpesan padaku, “Hati-hati dengan Joel dan Jaloe. Meskipun mereka ditahan, dendam mereka belum selesai.” Peringatan itu membuatku merinding. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa cemas atau percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi satu hal yang pasti, hidup kami tak akan sama setelah ini.

Malam itu, saat kami pulang, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dunia yang kupikir sederhana ternyata jauh lebih rumit, terutama dengan kehadiran orang-orang seperti Freeman, Joel, dan Jaloe. Adika tertidur di pundakku, dan aku berharap dia bisa terus menikmati masa kecilnya tanpa harus terlibat lebih jauh dalam hal-hal yang belum waktunya dia pahami.

Mungkin, suatu saat nanti aku akan tahu lebih banyak tentang cerita di balik Freeman dan masa lalunya. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa berusaha menjaga keselamatan kami, sambil berharap bahwa pertemuan ini tidak membawa lebih banyak masalah di kemudian hari.

Cerbung Bagian I: Senja Di Ujung Jalan Buntu

imagine.art

Aku dan anakku sedang jalan kaki. Berolahraga sambil mengasuh putera bungsuku yg berusia 5 tahun. Kami jalan2 di daerah ketinggian di sebuah gunung yang mirip Bandung Utara. Tapi jalanannya jauh lebih sepi, hampir gak ada yg melintas. Waktu sudah menjelang senja. Mentari bentar lagi menuju tempat persembunyiannya dari pandangan bumi sebelah Timur. 

Kami terus berjalan, menyusuri jalan pulang ke arah kota. Di sebuah persimpangan, tiba-tiba ketemu sosok tinggi besar, berkulit gelap, berbaju putih. Berjalan gontai seperti baru saja selamat dari sebuah pertempuran.

Aku dan anakku terus berjalan dengan langkah cepat, melintasi sosok besar berbaju putih itu. Setelah sadar bahwa itu Morgan Freeman, aktor Hollywood, instingku untuk sok akrab muncul. Tapi dia terlihat sedang bicara, meski anehnya tidak memegang apa-apa. Mungkin pakai alat komunikasi canggih, pikirku. Saat kami mendekati persimpangan berikutnya, tiba-tiba terdengar suara dari speaker yang samar-samar terdengar. "I am waiting for… Joel, Jaloe and a Workshop!"

Aku langsung merasa ada yang tidak beres. Rasa cemas menyelinap. Morgan Freeman yang tadi tampak tenang, sekarang pucat pasi. Matanya penuh kewaspadaan. Aku menoleh ke anakku, menggenggam tangannya lebih erat. Kami harus tetap tenang, meskipun situasinya mulai terasa seperti film thriller.

Beberapa puluh meter di depan, kami melihat bengkel tua di tepi jalan, tepat seperti yang disebutkan di telepon tadi. Hawa dingin merayap naik ke tengkukku. Aku berusaha menepis pikiran buruk—mungkin itu hanya kebetulan, tapi situasi ini terlalu ganjil. Kami melewati bengkel itu dengan hati-hati, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Freeman juga melangkah perlahan, seolah siap menghadapi sesuatu.

Setelah melewati bengkel kedua dan situasi tampak aman, kami melihat cahaya terang di depan, seperti pusat perbelanjaan. Aku merasa sedikit lega. “Pasti ramai di sana,” pikirku, mempercepat langkah bersama anakku. Kami sudah bisa melihat cahaya lebih jelas ketika tiba-tiba jalan di depan kami terhalang oleh dinding tinggi. Jalan buntu. Semua rasa lega mendadak lenyap.

Kami tidak punya pilihan lain selain berbalik arah. Di ujung jalan buntu itu, hanya ada sebuah meja kecil dengan sebuah kartu nama di atasnya. Kulihat namanya dengan seksama, dan jantungku berdegup kencang saat membaca tulisan di kartu itu: "Joel, Jaloe Workshop."

Aku merinding. Joel dan Jaloe jelas bukan sekadar nama yang disebut dalam percakapan tadi. Mereka benar-benar ada, dan mungkin sedang menunggu di sekitar sini. Aku segera menarik napas panjang dan berkata pada Freeman, "Kita harus pergi dari sini sekarang." Tapi sebelum sempat beranjak, terdengar suara langkah kaki berat mendekat.

Freeman langsung memasang sikap siaga, dan dari bayangan muncul dua sosok, keduanya berwajah keras. Mereka memandang kami dengan tatapan dingin. Salah satu dari mereka, yang lebih tinggi dan berbahu lebar, menyeringai sambil berkata, “Lama sekali kalian datang.”

Freeman tidak menjawab, tapi aku tahu dia bersiap untuk sesuatu. Aku bisa merasakan adrenalin mulai naik, jantungku berdegup lebih cepat. Anak bungsuku tampak mulai ketakutan, jadi aku memeluknya erat-erat. “Stay calm,” bisik Freeman padaku. 

Tiba-tiba, pria tinggi tadi mengeluarkan pisau besar dari balik jaketnya. Freeman bergerak cepat, menyergap dan menjatuhkan pria itu sebelum dia sempat melakukan apa-apa. Aku hampir tak bisa percaya apa yang kulihat. Sementara itu, pria satunya mencoba menyerang Freeman dari belakang, tapi aku berhasil menemukan tongkat besi di dekat meja dan tanpa berpikir panjang, aku memukulnya hingga jatuh.

Perkelahian singkat itu akhirnya berakhir, dan kedua pria itu terkapar tak berdaya. Nafasku tersengal, sementara anakku memelukku lebih erat. Freeman, meski terlihat lelah, tersenyum kecil. “Kau hebat juga,” katanya, setengah bercanda.

Beberapa menit kemudian, suara sirine polisi terdengar di kejauhan. Seseorang mungkin sudah melaporkan situasi mencurigakan ini. Polisi segera datang dan menangkap Joel dan Jaloe, yang kini sudah tak berdaya. Freeman berbicara sebentar dengan mereka, tampaknya menjelaskan siapa dia sebenarnya dan apa yang baru saja terjadi. Malam itu, kami diantar pulang ke hotel oleh polisi, dan aku merasa lega karena semuanya sudah selesai.

Setidaknya, Joel dan Jaloe kini menghadapi hukuman penjara seumur hidup. Dan aku berharap, mereka akan menebus kesalahan mereka di dalam sana. Aku dan anakku akhirnya bisa beristirahat dengan tenang malam itu, dan untuk pertama kalinya sejak sore tadi, aku benar-benar merasa aman.