"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2025/02/20

#KaburAjaDulu: Antara Keputusasaan, Harapan, dan Jalan Keluar


Akhir-akhir ini, tagar #KaburAjaDulu menggema di media sosial Indonesia, mencerminkan gelombang kegelisahan anak muda terhadap masa depan mereka. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini bentuk keputusasaan? Apakah ini pertanda bahwa mereka tak lagi melihat harapan di dalam negeri? Apakah ini sinyal melunturnya nasionalisme atau justru sebuah strategi bertahan hidup yang lebih realistis?

Mari kita bedah dengan kepala dingin dan hati yang jernih.


Mencari Penghidupan atau Melarikan Diri?

Bukan rahasia bahwa di Indonesia, mendapatkan pekerjaan layak sering kali terasa seperti menapaki labirin tanpa akhir. Lulusan perguruan tinggi tumbuh setiap tahun, sementara lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian mereka masih terbatas. Bahkan bagi mereka yang sudah bekerja, banyak yang merasa upah tidak sepadan dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Di sisi lain, melihat peluang di luar negeri bukan berarti menolak negeri sendiri. Justru, dalam banyak kasus, anak-anak muda ini berangkat dengan harapan bisa menimba ilmu dan pengalaman, agar suatu hari bisa kembali membawa perubahan bagi tanah airnya. Mereka ingin berkembang, mendapatkan apresiasi yang layak, dan hidup dengan lebih baik. Ini bukan sekadar "kabur", tetapi sebuah langkah strategis untuk bertahan dan maju.

Apakah Ini Tanda Keputusasaan?

Tidak sepenuhnya. Justru, tagar ini menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kesadaran akan kondisi yang dihadapi. Mereka tidak mau pasrah menerima keadaan. Mereka mencari jalan keluar, bukan sekadar mengeluh. Keputusan untuk mencari peluang di luar negeri adalah bukti bahwa mereka masih memiliki harapan. Jika benar-benar putus asa, mereka mungkin sudah menyerah begitu saja.

Namun, yang perlu dicatat adalah: jika terlalu banyak talenta terbaik pergi tanpa ada upaya menarik mereka kembali, maka kita menghadapi risiko brain drain yang serius. Negara ini bisa kehilangan energi terbaiknya. Indonesia bisa kehilangan insinyur terbaik, dokter terbaik, ilmuwan terbaik, dan inovator terbaiknya. Lalu siapa yang akan membangun negeri ini?

Ketika Pejabat Ikut Berkomentar

Di tengah panasnya perdebatan, seorang wakil menteri dengan enteng mengatakan bahwa anak muda yang merasa tidak puas lebih baik "kabur saja, kalau perlu jangan kembali". Pernyataan ini memantik reaksi keras karena seakan-akan pemerintah menyerah dalam menyediakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

Di sisi lain, ada juga seorang menteri yang mempertanyakan nasionalisme mereka yang memilih bekerja di luar negeri. Seolah-olah, nasionalisme hanya bisa diukur dari keberadaan fisik seseorang di dalam negeri, bukan dari kontribusi nyata bagi bangsa, di mana pun mereka berada.

Padahal, dalam sejarah, banyak negara yang justru maju berkat diaspora mereka yang membawa perubahan dari luar. Nasionalisme tidak diukur dari posisi geografis, melainkan dari niat dan aksi nyata seseorang dalam berkontribusi bagi bangsanya.

Nasionalisme: Di Mana Kita Berada atau Apa yang Kita Lakukan?

Ada anggapan bahwa bekerja di luar negeri berarti kehilangan rasa nasionalisme. Padahal, nasionalisme bukan soal di mana kita berada, melainkan apa yang kita lakukan. Seorang anak muda yang bekerja di luar negeri, sukses membangun karier, dan suatu hari kembali membawa teknologi, investasi, atau ide-ide baru, bisa lebih nasionalis daripada mereka yang hanya tinggal di dalam negeri tetapi tidak berkontribusi bagi bangsanya.

Jepang, Korea Selatan, dan China pernah mengalami gelombang diaspora besar-besaran. Tetapi pemerintah mereka cerdas: mereka menciptakan ekosistem yang menarik bagi para talenta untuk kembali. Mereka memanfaatkan jaringan diaspora untuk investasi, teknologi, dan inovasi. Apakah Indonesia siap melakukan hal yang sama?

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Pemangku Kepentingan?

Jika pemerintah dan pemangku kepentingan serius ingin mencegah eksodus talenta terbaik, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas yang memberikan kompensasi dan apresiasi yang setara dengan keterampilan yang dimiliki.
  2. Meningkatkan ekosistem inovasi dan wirausaha sehingga anak muda tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal, tetapi juga mampu menciptakan peluangnya sendiri.
  3. Membangun program untuk menarik kembali diaspora Indonesia, baik melalui kebijakan insentif pajak, kemudahan investasi, atau dukungan bagi mereka yang ingin kembali dan berkontribusi.
  4. Reformasi pendidikan dan pelatihan keterampilan agar lebih sesuai dengan kebutuhan industri saat ini, bukan hanya sekadar menghasilkan lulusan yang bingung mencari kerja.

Bagaimana Sikap Generasi Muda?

Bagi generasi muda yang sedang galau dengan pilihan “bertahan atau pergi,” ingatlah: keputusan ada di tangan kita. Pergi bukan berarti menyerah, dan tinggal bukan berarti pasrah. Yang terpenting adalah terus berkembang, terus berusaha menjadi lebih baik, dan tetap berkontribusi bagi negeri, di mana pun kita berada.

Jangan hanya berpikir "kabur", tetapi pikirkan "ke mana dan untuk apa?" Jika memutuskan pergi, pastikan itu adalah langkah strategis. Jika memilih bertahan, pastikan kita berjuang untuk menciptakan perubahan.

Indonesia tidak akan maju hanya dengan menyalahkan keadaan, tetapi dengan tindakan nyata dari kita semua.

Jadi, apa langkahmu selanjutnya?

2024/12/30

Meniti Hikmah di Ujung Tahun: Refleksi 2024, Resolusi 2025

Menjelang pergantian tahun, banyak dari kita secara alami terdorong untuk berhenti sejenak dan merenung. Tahun 2024, dengan segala pencapaian, perjuangan, kebahagiaan, dan tantangannya, kini hampir berlalu. Dalam Islam, meskipun tidak ada ajaran untuk merayakan pergantian tahun, momentum ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Sebagaimana pesan bijak dari Umar bin Khattab, "Hasibu anfusakum qobla antuhasabu," hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Refleksi bukan sekadar melihat ke belakang, tetapi sebuah upaya mengevaluasi diri agar langkah ke depan menjadi lebih bermakna.

Tahun 2024 mungkin menghadirkan banyak pelajaran, baik yang manis maupun pahit. Dari kegagalan, kita belajar untuk bangkit. Dari kesuksesan, kita diingatkan untuk bersyukur dan tetap rendah hati. Setiap momen adalah cermin dari perjalanan kita menuju kehidupan yang lebih baik, baik secara spiritual maupun duniawi. Dalam refleksi ini, kita bisa bertanya kepada diri sendiri: Apa yang telah kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah? Apa amal baik yang telah menjadi kebiasaan? Dan, adakah langkah-langkah yang mungkin telah menjauhkan kita dari ridha-Nya?

Menyambut tahun 2025, alih-alih hanya sekadar membuat resolusi seperti yang umum dilakukan banyak orang, kita bisa menjadikannya momen untuk memperbarui niat. Resolusi kita tidak hanya soal target duniawi, seperti karier yang lebih baik atau hidup yang lebih sejahtera, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa lebih taat, lebih bermanfaat bagi orang lain, dan lebih menjaga amanah yang diberikan Allah kepada kita. Menjadikan hidup lebih bermakna tidak hanya dengan mencapai ambisi pribadi, tetapi dengan memaknai setiap langkah sebagai bagian dari perjalanan menuju akhirat.

Waktu adalah anugerah yang sangat berharga. Setiap detik adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Tahun baru masehi hanyalah simbol perubahan waktu, tetapi maknanya tergantung pada bagaimana kita mengisinya. Jika di tahun ini masih ada janji yang belum terpenuhi, masih ada amalan yang tertunda, atau ada dosa yang belum kita istighfarkan, inilah saatnya untuk memulai. Tidak ada yang terlambat bagi mereka yang ingin berubah dan memperbaiki diri.

Mari menjadikan 2025 bukan sekadar angka baru, tetapi sebuah awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jadikan refleksi tahun ini sebagai pijakan, dan resolusi tahun depan sebagai doa dan ikhtiar. Sebab hidup adalah perjalanan menuju Allah, dan setiap langkah yang kita ambil hendaknya menjadi bagian dari ibadah kepada-Nya. Semoga Allah memberkahi waktu-waktu kita ke depan dengan keberkahan, kebaikan, dan ampunan-Nya.