"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"

2025/10/09

Matinya Kepakaran di Era AI?

 

Matinya Kepakaran di Era AI: Ketika Semua Orang Bisa Jadi “Ahli”

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah poster acara dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dalam acara Sebelas Maret Islamic Festival 2025, panitia menghadirkan Guru Gembul sebagai pembicara utama.
Ya, bukan profesor sejarah Islam, bukan dosen filsafat, tapi seorang kreator konten edukatif yang populer di YouTube dan TikTok.

Bagi sebagian orang, ini hal biasa — bahkan keren, karena menunjukkan bahwa dunia pendidikan mulai “melek zaman.”
Namun bagi sebagian lain, ini adalah tanda tanya besar:
Apakah ini pertanda matinya kepakaran?
Apakah generasi sekarang kehilangan respek terhadap para ahli yang puluhan tahun menekuni bidangnya?


Dari Kampus ke Konten: Pergeseran Otoritas Ilmu

Kita hidup di masa ketika otoritas ilmu berpindah tangan.
Dulu, ruang kuliah dan jurnal ilmiah adalah sumber utama pengetahuan.
Sekarang, TikTok dan YouTube menjadi ruang belajar baru bagi jutaan orang.

Para akademisi sering berbicara dengan bahasa jurnal, penuh istilah asing, dan minim konteks sosial.
Sementara kreator seperti Guru Gembul justru mengubah sejarah, filsafat, dan agama menjadi cerita yang hidup.

Ia tidak menulis di jurnal, tapi di hati audiensnya.
Dan di dunia yang dikendalikan algoritma, engagement sering lebih kuat daripada gelar akademik.

Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi pergeseran budaya:
dari otoritas ke aksesibilitas, dari siapa yang tahu ke siapa yang bisa menjelaskan.

AI dan Kematian Proses Belajar

Kemudian datanglah era baru: Artificial Intelligence (AI).
Dengan ChatGPT, Claude, Gemini, dan lainnya, semua orang bisa menjadi “pakar instan.”
Cukup ketik satu prompt, dan dalam hitungan detik kamu bisa punya esai sekelas mahasiswa S2.

AI membuat pengetahuan terasa mudah, tapi justru karena itulah, proses belajar kehilangan makna.

AI bukan guru sejati. Ia hanya mesin prediksi kata.
Ia tahu banyak, tapi tidak memahami.
Ia bisa menjawab semua hal, tapi tak bisa mempertanggungjawabkan satu pun.

Jika manusia terlalu bergantung padanya, maka yang mati bukan kepakaran,
tapi etos intelektual , yang merupakan semangat untuk belajar, meneliti, dan berpikir kritis.

Kreator vs Akademisi: Pertarungan atau Kolaborasi?

Fenomena seperti Guru Gembul tidak seharusnya dianggap ancaman bagi dunia akademik.
Ia adalah cermin bahwa kampus perlu belajar berbicara dalam bahasa masyarakat.

Kreator punya kemampuan menjangkau; akademisi punya kedalaman berpikir.
Kalau keduanya bersatu, kita akan memiliki ilmu yang mencerahkan sekaligus memasyarakat.

Sayangnya, banyak kampus masih sibuk dengan seminar formal dan jurnal yang hanya dibaca segelintir orang.
Sementara masyarakat sudah bergerak ke arah pengetahuan cepat, visual, dan emosional.
Di sinilah “kematian kepakaran” terjadi. Sebenarnya itu terjadi bukan karena AI, tapi karena pakarnya berhenti berbicara kepada umat. Tepatnya, berhenti berbicara dengan bahasa yang lebih diminati umat.

Apa Sikap Terbaik Kita di Era AI?

  1. Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti berpikir.
    Ia bisa menulis untukmu, tapi tidak bisa menggantikan pemahamanmu.

  2. Bangun jembatan antara akademisi dan publik.
    Akademisi perlu belajar berkomunikasi seperti kreator; kreator perlu berakar pada riset akademik.

  3. Rawat rasa ingin tahu.
    Jangan puas dengan jawaban cepat. Belajar sejati adalah proses, bukan hasil instan.

Penutup: Yang Mati Bukan Pakar, Tapi Etos Belajar

“Matinya kepakaran” bukan karena munculnya AI atau populernya Guru Gembul.
Kepakaran mati karena manusia berhenti menghargai proses belajar yang panjang —
karena kita lebih tertarik pada yang viral daripada yang valid.

AI hanyalah cermin zaman.
Ia memperlihatkan siapa yang sungguh ingin belajar,
dan siapa yang hanya ingin tampak pintar.


Penting!
Di masa depan, kepakaran mungkin tidak lagi ditentukan oleh gelar atau algoritma,
melainkan oleh kejujuran intelektual: siapa yang tetap mau belajar, meski tidak sedang viral.


2025/10/03

Asal-usul Istilah Artificial Intelligence

*photo is generated by Gemini AI

Ketika hari ini kita bicara tentang Artificial Intelligence (AI), seringkali pikiran kita langsung melayang ke mesin pencari pintar, robot, atau bahkan ChatGPT. Namun, tahukah Anda kapan istilah ini pertama kali lahir?

Jawabannya: tahun 1956, di sebuah konferensi musim panas yang sederhana namun bersejarah di Dartmouth College, Amerika Serikat.

Siapa yang Mencetuskan?

Nama John McCarthy tercatat sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan frasa Artificial Intelligence. Ia seorang profesor matematika dan ilmu komputer, yang kala itu percaya bahwa kecerdasan manusia bisa ditiru oleh mesin jika dipahami secara sistematis.

Konteksnya

McCarthy bersama tiga rekannya – Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester – menyusun proposal untuk sebuah pertemuan riset. Proposal itu diberi judul:

“Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence.”

Di sanalah istilah Artificial Intelligence muncul untuk pertama kalinya. Dalam dokumen itu, McCarthy menulis sebuah visi:

"Setiap aspek pembelajaran atau kecerdasan dapat dijelaskan dengan begitu tepat, sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk menirunya."

Sebuah kalimat sederhana, tapi isinya revolusioner.

Dampak Sejarahnya

Meski konferensi Dartmouth tidak langsung menghasilkan terobosan besar, istilah Artificial Intelligence menjadi pondasi baru dalam dunia sains komputer. Dari sinilah, berbagai penelitian lahir: mulai dari sistem pakar di era 1970-an, gelombang machine learning di 1980–1990-an, hingga ledakan deep learning di abad ke-21.

Refleksi

Menariknya, istilah Artificial Intelligence bukan lahir dari percakapan publik atau media, melainkan dari imajinasi akademis sekelompok ilmuwan yang berani bermimpi. Mereka tidak hanya bertanya “bisakah mesin berpikir?”, tapi lebih jauh lagi: “bagaimana kita membuatnya berpikir?”

Dan kini, hampir tujuh dekade kemudian, mimpi itu sedang kita saksikan wujudnya di depan mata.

--
*from any source

2025/09/19

Empati, Sinergi, Adaptasi: Kunci Sukses 20 Tahun di Dunia Customer Experience

foto: Istimewa

Selama lebih dari 20 tahun berkarier di bidang Customer Operation, saya berkesempatan belajar banyak hal. Bukan hanya dari principal, tetapi juga dari tim internal dan mitra BPO (Business Process Outsourcing) yang menjadi bagian penting dalam perjalanan ini.

Dari proses panjang tersebut, ada tiga pelajaran utama yang paling membekas dan terus relevan hingga hari ini:

1. Empati Adalah Kunci

Dalam dunia customer experience, kemampuan mendengar sebelum berbicara adalah keterampilan paling berharga. Dengan empati, kita memahami permasalahan pelanggan secara lebih utuh, sehingga solusi yang diberikan bukan sekadar jawaban, melainkan benar-benar kebutuhan mereka.

2. Sinergi Itu Energi

Customer Operation tidak bisa berjalan sendiri. Principal, internal team, dan mitra BPO bukanlah stakeholder yang berdiri terpisah. Mereka adalah satu ekosistem yang saling menguatkan.
Ketika sinergi terbangun, energi positif mengalir dan hasil kerja pun lebih maksimal.

3. Adaptasi Menjadi Skill Utama

Teknologi terus berubah, ekspektasi pelanggan semakin tinggi, dan tren industri bergerak cepat. Namun, ada satu kemampuan yang selalu jadi penentu: adaptasi.
Mereka yang mampu beradaptasi akan tetap relevan, bertahan, dan bahkan tumbuh di tengah perubahan.

Karier Bukan Soal Posisi, Tapi Kontribusi

Pada akhirnya, perjalanan ini mengajarkan bahwa karier tidak diukur dari seberapa tinggi posisi yang kita capai, melainkan dari kontribusi apa yang kita tinggalkan. Nilai itulah yang membentuk legacy kita di dunia kerja.

Inilah pesan yang sering saya bagikan kepada tim, terutama mereka yang baru memulai perjalanan karier di bidang Customer Operation:

“Bukan tentang seberapa cepat naik jabatan, tapi tentang seberapa besar dampak yang bisa kita berikan.”

Refleksi untuk Anda

Kalau dari perjalanan karier Anda sendiri, apa pelajaran paling membekas hingga hari ini?
Mari berbagi pengalaman agar semakin banyak profesional yang terinspirasi untuk tumbuh dan berkontribusi di bidang Customer Experience dan Operations.