"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2025/05/21

Present Living: Seni Mensyukuri dan Menikmati Hari Ini

Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, dipenuhi dengan jadwal padat, notifikasi tak henti, dan tuntutan untuk selalu lebih dan lebih cepat, muncullah sebuah filosofi hidup yang menyejukkan: slow living.

Slow living bukan berarti hidup lambat dalam arti negatif, tetapi lebih ke sebuah pilihan sadar untuk menikmati hidup dengan ritme yang lebih tenang dan bermakna. Ini adalah ajakan untuk memperlambat langkah, menyederhanakan pikiran, dan lebih hadir dalam setiap momen kehidupan.

Kalau pun harus diberi lawan kata, maka bisa saja disebut fast living. Sebuah gaya hidup yang berfokus pada pencapaian cepat, multitasking ekstrem, dan dorongan konstan untuk selalu produktif. Meski tidak semuanya buruk, gaya hidup seperti itu sering kali membuat kita kehilangan momen berharga yang sedang berlangsung di depan mata.

Namun, lebih penting dari segala istilah dan label itu adalah bagaimana kita memilih untuk hidup hari ini. Saat ini. Detik ini.

Present living adalah tentang kehadiran penuh dan kesadaran penuh terhadap hidup yang sedang berlangsung saat ini. Bukan yang sudah berlalu, bukan pula yang belum terjadi. Ini adalah saat di mana kita benar-benar merasakan hangatnya secangkir kopi pagi, tawa anak di ruang tamu, atau hembusan angin yang datang menyapa di sore hari.

Lebih dari sekadar melambat, present living menuntun kita pada rasa syukur. Bahwa meskipun belum semuanya sempurna, kita selalu punya alasan untuk berterima kasih atas hari ini.

Hidup bukan soal mengejar semua yang belum kita punya, tapi juga tentang menghargai apa yang sudah kita miliki.

Kesehatan, sekecil apa pun itu, adalah anugerah.

Waktu bersama orang-orang tercinta hari ini, adalah karunia.

Kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bahkan dari kesalahan, adalah kekuatan.

Kita terlalu sering menunda rasa syukur untuk nanti. Nanti kalau sudah sukses. Nanti kalau sudah beli rumah. Nanti kalau hidup sudah tenang. Padahal, sumber kebahagiaan yang sejati justru tersembunyi dalam hal-hal sederhana yang kita jalani sekarang. Dalam momen-momen kecil yang hadir tanpa kita sadari. Dalam detik-detik biasa yang sebenarnya luar biasa.

Kita bisa mulai mempraktikkan hidup yang lebih hadir dengan hal-hal sederhana.

Luangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk diam dan bernapas dengan sadar. Hadir sepenuhnya di tubuhmu sendiri.

Tulis tiga hal yang kamu syukuri hari ini, sekecil apa pun itu.

Berikan perhatian penuh saat berbicara dengan orang lain. Tatap mata mereka. Dengarkan dengan sungguh-sungguh, tanpa tergesa dan tanpa gangguan.

Kurangi distraksi digital, agar kamu tidak melewatkan realita yang sebenarnya lebih penting daripada apa pun yang terjadi di layar.

Kita tak bisa kembali ke masa lalu. Masa depan pun belum tentu datang sesuai rencana. Tapi kita selalu punya hari ini. Dan itu sudah cukup.

Seperti yang dikatakan oleh Thich Nhat Hanh, “The present moment is filled with joy and happiness. If you are attentive, you will see it.”

Jadi mari rayakan kehidupan ini, bukan karena semuanya sempurna, tapi karena kita di sini, hari ini, masih diberi kesempatan untuk hadir dan bersyukur atas apa yang sudah ada.

Inilah esensi dari present living. Menikmati setiap episode kehidupan, satu hari pada satu waktu, dengan hati yang penuh syukur.

2025/05/12

KSA: Fondasi Utama untuk Meraih Masa Depan di Dunia Kerja

Dalam dunia kerja yang terus berubah, sering kita dengar tentang pentingnya knowledge (pengetahuan) dan skill (keterampilan). Tapi sesungguhnya, ada satu unsur lagi yang justru menjadi kunci pembeda: attitude (sikap). Ketiganya membentuk apa yang dikenal sebagai KSA, yaitu Knowledge, Skill, dan Attitude.

Mereka seperti segitiga sama sisi yang saling menopang. Tanpa keseimbangan, segitiga itu akan goyah, bahkan runtuh.

Mari kita bayangkan sejenak.

Jika seseorang punya skill yang tinggi dan attitude yang baik, tapi minim knowledge, maka kemampuannya akan terbatas. Ia bisa mengerjakan tugas dengan baik, tapi tidak mampu mengembangkan diri lebih jauh atau memberi solusi baru saat situasi berubah. Ia bisa menjadi pekerja keras, tapi sulit menjadi inovator.

Di sisi lain, orang yang punya knowledge luas dan attitude yang positif, namun kekurangan skill praktis, akan kesulitan menerjemahkan teori ke dalam aksi nyata. Ia tahu banyak, ia berniat baik, tapi kontribusinya di lapangan minim. Di dunia kerja, hasil nyata yang terlihat akan selalu lebih dihargai dibanding sekadar ide yang belum diwujudkan.

Dan lebih berbahaya lagi, jika seseorang memiliki knowledge yang tinggi dan skill yang mumpuni, tapi kehilangan attitude yang benar. Ia bisa jadi sosok yang pintar dan handal, tapi sulit dipercaya, tidak bisa bekerja dalam tim, atau bahkan menciptakan konflik di lingkungan kerja. Kombinasi ini membuatnya kehilangan kehormatan di mata rekan kerja, dan pada akhirnya, kariernya pun akan tersendat.

Itulah sebabnya, di dunia kerja hari ini, baik di perusahaan multinasional, startup, maupun BPO, para pemimpin tak hanya mencari orang yang pintar atau terampil, tapi yang juga punya attitude yang bisa dipercaya, yang membawa energi positif, dan mampu membangun hubungan baik dengan tim.

Knowledge membuat kita relevan di tengah perubahan.
Skill membuat kita produktif dan bisa diandalkan.
Tapi attitude lah yang menjaga kita tetap dipercaya, dihormati, dan diberi ruang untuk terus tumbuh.

Banyak karier yang naik bukan semata karena ilmunya yang tinggi, tapi karena sikapnya yang rendah hati, mau belajar, dan mampu membangun kepercayaan di setiap relasi. Dan sebaliknya, tak sedikit yang jatuh bukan karena kurang pintar, tapi karena sikap yang merusak dirinya sendiri.

Jadi, jika hari ini kita ingin meraih masa depan yang lebih baik, jangan hanya sibuk menambah knowledge dan melatih skill. Periksalah juga attitude kita: bagaimana cara kita bersikap pada atasan, rekan kerja, bawahan, bahkan pada diri sendiri. Karena ketiganya, K, S, dan A, adalah fondasi yang tak bisa dipisahkan.

Segitiga yang kuat adalah segitiga yang sisi-sisinya sama panjang.
Begitu pula masa depan kita di dunia kerja: ia tegak berdiri ketika knowledge, skill, dan attitude berjalan seimbang.

Dan menariknya, attitude sering kali menjadi pintu pertama sebelum orang lain peduli seberapa besar knowledge dan skill yang kita punya. Orang akan lebih mudah memberi kesempatan pada mereka yang membawa aura positif, yang ramah, yang mau belajar, sebelum akhirnya menilai kemampuan yang lebih dalam. Sikap baik membuka ruang, lalu pengetahuan dan keterampilanlah yang mengokohkan posisi kita.

Di dunia yang serba cepat dan kompetitif ini, kemampuan belajar hal baru sangat penting, tapi kemampuan menjaga sikap tetap rendah hati, disiplin, dan bisa diajak kerja sama itulah yang membuat kita terus dilibatkan dalam lingkaran kesempatan yang lebih besar. Karena dalam jangka panjang, perusahaan dan rekan kerja selalu ingin bersama orang yang bisa dipercaya, bukan hanya yang sekadar pintar.

2025/05/08

Kembali ke Selera Asal

Di rantau, lidah kita belajar menyesuaikan diri. Seperti Ayah Yusman, saudara dari suami bibi di foto ini, yang sudah lebih dari 40 tahun berakar di Semarang. Lidahnya pun luluh dalam manisnya cita rasa Jawa Tengah. Namun, tiap kali ada pertemuan besar, makan bersama sanak saudara, arah selera itu selalu kembali. Pilihannya tak pernah jauh-jauh dari rumah makan atau resto Padang yang menyajikan rasa otentik, seolah memanggil kembali memori masa kecil yang tertanam kuat.

Begitulah indra rasa kita dibentuk. Bukan semata oleh bahan dan bumbu, tapi oleh tangan ibu yang memasak dengan cinta. Oleh suara sendok yang beradu di dapur, oleh harum gulai yang mengepul dan menguar ke seluruh rumah. Masakan bundo kanduong, memang tak ada tandingnya. Di dalam tiap suapnya, ada kasih sayang yang diam-diam meresap, membentuk siapa diri kita, mengikat kita pada akar yang tak terlihat tapi selalu kuat menarik saat kita mulai melayang jauh.

Suatu hari nanti, anak-anak kita pun akan mengembara. Mereka akan menjejakkan kaki di kota lain, belajar menyukai rasa baru, menyesuaikan lidah dengan tempat mereka berpijak. Tapi percayalah, ada selera asal yang akan selalu mereka cari saat rindu datang mengetuk. Itu sebabnya, dapur rumah bukan sekadar tempat memasak. Ia adalah altar cinta, tempat di mana ibu menenun rindu yang kelak akan jadi penaut sepanjang hayat.

Karena sejauh apa pun langkah pergi, kita semua pada akhirnya akan selalu kembali. Pada selera asal, pada pelukan ibu yang abadi dalam tiap rasa.