Hari ini saya berekesempatan mengikuti seminar sehari di
hotel bersejarah di kota Bandung, Savoy Homann, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Perkembangan Telekomunikasi di
Indonesia. Cukup banyak wawasan baru yang saya dapat. Namun di tulisan ini
saya tidak bermaksud mengulas tentan hotel yg bersejarah tersebut, tidak juga
tentang pengelolaan keuangan daerah-nya. Yang menarik perhatian saya adalah
tentang perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Bagian yang terakhir.
Tampil beberapa pembicara, dan terakhir ditutup oleh
pemaparan pak Kamilov Sagala, mantan committee BRTI (Badan Regulator
Telekomunikasi Indonesia), yang kini menjadi Komisioner di Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia. Beliau mulai dengan slide
pengantar tentang statistik dari jumlah pengguna alat komunikasi bergerak
di Indonesia. Pengantar yang cukup
singkat. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang sangat menarik, dan tidak lagi
singkat. Memancing keinginan peserta untuk banyak bertanya dan juga bernyata. Selain karena pengalaman
pembicara terhadap apa yang disampaikannya sangat kaya, juga karena antusiasme
peserta seminar membahas tentang hal yang lagi ramai dibicarakan oleh
masyarakat konsumen seluar Indonesia saat ini, yaitu ‘kisruh pencurian pulsa’
oleh CP (content provider) nakal.
Sebenarnya sangat menarik jika saya mengulas tentang pencurian
pulsa tersebut pada tulisan singkat ini. Namun, bukan itu maksud saya menulis
kali ini.
Saya terkesan pada satu cerita yang disampaikan oleh pak
Kamilov Sagala, tentang bagaimana berubahnya taraf hidup nelayan menuju ke
tingkat kesejahteraan yang lebih baik karena pemanfaatan teknologi
telekomunikasi. Menjadi lebih menarik perhatian, karena saya juga kebetulan
lahir di sebuah desa nelayan. Jadi secara emosi kena.:)
Alkisah, di sebuah kampung nelayan di Sulawesi Selatan (pak
Kamilov tidak menyebutkan lokasi detailnya). Kira-kira lokasinya berjam-jam (bisa
sampai satu hari) menggunakan kapal boat ke Makasar. Hasil tangkapan ikan oleh
nelayan di kampung tersebut cukup baik. Namun selama puluhan tahun nasib mereka
tidak lebih baik dari sebelumnya karena punya kendala dalam pemasaran ikannya. Walaupun hasil tangkapan bagus, kalau tidak
laku terjual ya susah juga. Untuk menjual ikan-ikan tersebut mereka harus
membawanya ke tauke-tauke di Makasar.
Menempuh perjalanan yang tidak sebentar.
Karena perjalanan yang cukup jauh, dan calon pembeli juga
belum pasti. Maka hasil yang mereka dapatkan sangat tidak maksimal. Karena
kondisinya, seperti penjual lebih butuh, maka para juragan ikan di kota itu bisa menekan harga semaunya. Hasilnya ya paling
cukup untuk makan dan biaya operasional melaut
lagi. Seperti itulah keadaan para nelayan di sana selama bertahun-tahun.
Sampai akhirnya, Telkomsel mendirikan BTS di sana. saya
perlu menyebut nama perusahaan ini karena bentuk appresiasi kita juga untuk
Telkomsel yang sangat committed untuk
terus memperluas network coverage-nya sampai ke pelosok
nusantara. Demikianlah, Telkomsel
memperluas jaringannya sampai ke desa tersebut. Seiring dengan waktu, maka
mulailah penduduk desa nelayan itu akrab menggunakan ponsel. Benda yang mungkin
sebelumnya hanya mereka lihat di layar-layar televise lewat antenna parabola.
Dengan lancarnya telekomunikasi, maka para nelayan ‘pasang
strategi’ dalam pemasaran ikannya. Mereka sengaja tidak mengirim sendiri hasil
tangkapannya ke Makasar. Melainkan, mereka menelpon tauke-tauke di Makasar, dan menyebutkan bahwa mereka punya kendala
jika harus membawanya sendiri. Jika berminat membeli, mereka mempersilakan para
tauke itu menjemput langsung ke desa
mereka. Itu mereka lakukan bersama. Mungkin semacam komitmen sesama nelayan
disana. Cerdik juga.
Karena supply
berkurang di Makasar, tentu saja para tauke tidak bisa melayani demand calon pembeli. Mau tidak mau,
para tauke harus menjemput sendiri
dengan kapalnya ke kampung nelayan tersebut. Di sana para nelayan bisa lebih
leluasa menentukan harga yang lebih pantas. Dari sisi tauke pun sebenarnya tidak masalah juga. Toh mereka juga bisa
membuat harga yang pantas juga untuk dijual ke pembeli di kota.
Dengan kondisi demikian, nelayan bisa lebih untung. Tauke
juga tetap bisa untung. Telkomsel pun untung. Investasi di awal, selanjutnya
bisa profit juga seiring dengan semakin tingginya penggunaan pulsa di sana.
Semoga saja fenomena di kampung nelayan di Sulawesi itu
hanyalah salah satu contoh saja dari banyaknya kejadian serupa di tempat lain. Dan
kita bisa berharap, kegiatan ekonomi masyarakat di tempat-tempat terpencil bisa
bangkit dan semakin dekatnya kita ke kesejahteraan. Amiin.
*Bandung 26 Oktober 2011. 19:54:00
No comments:
Post a Comment