Awal tahun 1980-an di Case
Western Reserve University, saya menjadi bagian dari sebuah kelompok kecil
yang terdiri atas para sarjana, termasuk David Cooperrider, Suresh Srivastva,
dan Ron Fry, yang melakukan eksperimen mengenai pendekatan apresiatif terhadap
kehidupan organisasi. Dipimpin oleh David Cooperrider, kami cukup merasa kecewa
karena begitu luasnya penerimaan dan penggunaan problem solving dalam
penelitian tindakan (action research) dan pengembangan organisasi. Awal
mula karya kami terpusat pada apa yang baik dalam organisasi dan pada apa dan
siapa yang dapat bekerja bersama-sama dengan baik dan efektif. Seiring
dengan semakin luasnya filosofi ini dikenal, banyak orang yang tertarik
kepadanya karena fokusnya yang positif, bahkan terkadang menggembirakan
pikiran. Para peneliti lain, konsultan-konsultan pengembangan organisasi,
pekerja di lembaga pemerintahan, dan manajer-manajer proyek mulai
mengaplikasikan Appreciative Inquiry dalam pekerjaan mereka. Ketiga
penulis buku ini mengenal Appreciative Inquiry dengan cara seperti di
atas, yakni melalui pekerjaan mereka sendiri dalam organisasi.
Mereka, sama halnya dengan
kami, menemukan bahwa meletakkan fokus pada apa yang diberikan hidup saat ini
sehingga dengan hal itu kita dapat melakukan sesuatu yang lebih besar di masa
depan, telah mengubah cara orang-orang berpikir mengenati perubahan
organisasi. Apa yang membuat buku ini unik adalah cara inovatif yang digunakan
oleh para penulis untuk menerapkan dasar-dasar dan tahap-tahap Appreciative
Inquiry ke dalam bidang coaching, mengubah cara orang-orang berpikir
mengenai perubahan individu dan coaching relationship yang memungkinkan
perubahan tersebut terjadi. Mereka telah membangun suatu model Appreciative
Coaching yang didasari oleh penelitian-peneliti an coaching yang valid (it uses sound,
but considering the meaning of sound as “free from error; showing
good judgment”, I think valid is acceptable.. .), dan telah meletakkan pendekatan mereka ke dalam dasar teori
yang kuat (have grounded their approach in a solid
theoretical foundation), yang meliputi tidak hanya Appreciative
Inquiry, tetapi juga Psikologi Positif, Positive Organizational
Scholarship, dan teori-teori psikologi positif mengenai perubahan
dan waktu (atau: teori-teori psikologi positif mengenai perubahan, dari
waktu-waktu yang berbeda).
Ini adalah penerapan baru
yang menarik dari Appreciative Inquiry dan merupakan sesuatu yang saya
rasa akan memberikan pengaruh di ranah pengembangan organisasi dan coaching.
Minat terhadap Appreciative Inquiry dan cara-cara inquiry lain
yang telah disetujui telah menyebar luas ke luar Case Western Reserve
University, tempat penelitian ini dimulai. Berbagai pusat learning and
practice serupa mulai bermunculan, seperti Taos Institute dan
Positive Organizational Scholarship di University of Michigan
Business School. Pendekatan apresiatif untuk coaching berkembang
pada makna dan signifikansi dari lima prinsip dasar yang mendasari Appreciative
Inquiry (Constructionist Principle, Positive Principle, Simultaneity
Principle, Poetic Principle, dan Anticipatory Principle) dan
menciptakan suatu pondasi baru untuk memungkinkan terjadinya perubahan yang
positif dan transformative pada individu-individu.
Para penulis menggali kelima
prinsip tersebut satu persatu dan menampilkan saran-saran serta kisah-kisah
mengenai klien untuk memastikan bahwa para pembacanya memahami tidak hanya
pondasi teoritis dari perubahan positif individu, tetapi juga bagaimana mereka
dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut ke dalam bentuk yang konkrit.
Saya merasa senang menyaksikan bahwa prinsip-prinsip Appreciative Coaching,
seperti halnya dalam Appreciative Inquiry, mencerminkan begitu banyaknya
pandangan (reflect a worldview), bukan mengenai
alam semesta yang tetap dan tertentu, tetapi mengenai alam semesta yang
terbuka, dinamis, saling berhubungan dan penuh dengan kemungkinan.
Apa yang ditawarkan oleh Appreciative
Inquiry kepada organisasi dan individu selama dua puluh tahun terakhir
adalah sebuah alternatif dari fokus yang awalnya hanya terletak pada problem
dan problem solving. Dependensi yang berlebihan pada “perspektif
masalah” (problem perspective) dapat berujung pada kasus-kasus seperti
memecahkan masalah yang tidak tepat, atau memecahkan satu masalah hanya untuk
menemukan bahwa masalah yang baru telah muncul akibat solusi dari masalah
awalnya. Contohnya, dalam executive coaching, dimana terdapat lebih
banyak fokus yang positif pada kekuatan, penekanan kontinyu pada kelemahan
individu dalam perkembangan bakat perusahaan masih dapat muncul. Seperti yang
telah kami temukan setelah bekerja bersama ribuan organisasi yang berbeda,
energi positif yang tercipta dalam proses apresiatif sangatlah berbeda dengan
energi yang tercipta dalam proses memecahkan masalah, sepenting apapun solusi
masalah tersebut. Sebuah proses apresiatif memungkinkan terbukanya inovasi dan
kreativitas berdasarkan pondasi yang positif. Sungguh memberi energi bagi
orang-orang ketika memikirkan, mengimpikan, dan membicarakan tentang hal-hal
yang mereka sukai dan dapat mereka lakukan dengan baik! Memulai dari hal-hal
tersebut sangat lebih mudah daripada berusaha meningkatkan perkembangan dalam
sesuatu yang mereka atau orang lain anggap sebagai kelemahan.
Konsultan, coach dan manajer semuanya mencari alat untuk menangani kompleksitas yang meningkat dari
kehidupan personal dan organisasi. Setelah menyaksikan dan ikut serta dalam
energi nyata yang tercipta oleh gagasan Appreciative Inquiry dalam
kelompok, para penulis buku ini telah membuat model coaching yang luar
biasa, yang menggunakan keutamaan perspektif ini pada klien individual untuk
menciptakan dan menopang energi yang dibutuhkan untuk bertindak pada masa depan
yang diimpikan dengan lebih positif.
Berdasarkan pengalaman
mereka dengan Appreciative Inquiry, para penulis telah mengadaptasi
empat tahap utama dari Appreciative Inquiry ke dalam pendekatan Appreciative
Coaching mereka: Discovery, Dream, Design, dan Destiny.
Kemudian mereka mengembangkan tahap-tahap tersebut untuk memunculkan proses
otoritatif namun penuh insight untuk memulai Appreciative Coaching.
Mereka dengan terampil menjalin konsep-konsep, kisah-kisah klien, saran-saran
dan alat-alat untuk membentuk sebuah pendekatan apresiatif ke dalam praktek coaching
yang baru maupun yang telah ada.
Tahap Discovery
adalah mengenai memberi apresiasi sebenar-benarnya terhadap apa yang membuat
klien merasa hidup dan membantu mereka menyatakan pandangan apresiatif mereka
terhadap diri mereka sendiri. Coach secara spesifik membantu klien untuk
memusatkan pikiran pada kekuatan-kekuatan yang memberi-hidup dan menelusuri
sebab-sebab dari kesuksesan-kesukses an mereka saat ini maupun di masa lampau,
menggunakan empat pertanyaan apresiatif inti. Di dalam tahap Dream, coach
memandu klien untuk menggali keinginan mereka dan keinginan konkrit akan
masa depan yang bahkan lebih sukses. Tahap ini memungkinkan klien untuk
mengalami perasaan koherensi yang unik terhadap kehidupan mereka, karena impian
mereka berasal dan berkembang dari masa lalu dan masa kini mereka sendiri.
Selama tahap Design, coach membantu klien untuk mengarahkan
perhatian mereka pada melakukan tindakan sehingga mereka menjadi perancang bagi
masa depan yang paling mereka impikan. Pada akhirnya, dalam tahap Destiny,
klien akan belajar untuk mengenali dan merayakan impian mereka dan menjalani
hidup mereka dengan baik dan utuh.
Karen Armstrong, salah satu
pemikir kuat mengenai perpecahan yang disebabkan agama-agama di dunia, menulis
dalam The Spiral Staircase,“The one and only test of a valid
religious idea, spiritual experience, or devotional practice is that it must
lead directly to practical compassion. (Satu-satunya ujian terhadap ide
religius, pengalaman spiritual, atau praktek kebaktian yang valid adalah semua
itu harus mengarah langsung kepada rasa iba yang berguna/dapat dilaksanakan?
?)” Apa yang dilakukan oleh Appreciative Coaching adalah meletakkan practical
compassion pada garis terdepan tiap-tiap tahap coaching relationship,
memastikan bahwa bersama-sama, coach dan klien menemukan setiap
pencapaian dan ingatan yang membanggakan, mengimpikan setiap masa depan dengan
kepedulian dan perhatian, merancang eksperimen yang menyenangkan, dan mengantar
klien kepada destiny mereka setelah mempelajari tentang diri mereka
sendiri dan dunianya, dan menciptakan perubahan yang kekal!
Coach-coach yang
berpengalaman akan ingin untuk menambahkan proses apresiatif ke dalam praktek
ahli mereka sendiri. Coach-coach yang lebih baru mungkin ingin
mengadopsi Appreciative Coaching sebagai filosofi inti mereka. Semua coach,
manajer yang menjadi coach, dan orang yang tertarik pada self-coaching
akan belajar bagaimana untuk merayakan kebijaksanaan mereka sendiri dan untuk
menaikkan kebijaksanaan itu untuk mencapai hasil yang lebih besar dan memuaskan
dalam hidup mereka dan klien serta pegawai mereka. Para penulis buku ini secara
provokatif memberi kesan bahwa proses coaching berdasarkan Appreciative
Inquiry melibatkan orang dengan lebih sempurna karena fokusnya adalah lebih
pada masa kini yang positif serta masa depan yang memungkinkan daripada pada
masalah di masa lalu dan masa kini. Siapa yang tidak mau ikut serta dalam
rangkaian percakapan coaching seperti ini?