Seorang pemuda
yang tampak sedang gundah gulana duduk termenung di sudut pasar kampung itu.
Seseorang yang memperhatikannya dari tadi mendekati dan bertanya, ‘Ada masalah
apa kiranya dek, hingga terlihat sangat muram begitu?’.
Karena tidak
merasa akan ada orang yang memperhatikan dan bertanya kepada dirinya, si pemuda
tampak sedikit terkejut. Dia melihat sosok yang bertanya tadi, ternyata seorang pria tua yang tampak dari
gayanya adalah seorang musafir yang kebetulan berhenti di pasar tersebut.
‘Ah bapak, kaget
saya pak’ kata si pemuda. ‘Iya pak, saya sedang menghadapi masalah yang cukup
pelik pak, berat sekali rasanya’ lanjutnya. ‘Emang kenapa?’ Tanya pak tua
tersebut. ‘Rumit dan berat pak masalah saya’. dan terimakasih banget kalo bapak bersedia mendengar curhat saya pak’, timpal si pemuda.
Belum sempat si pak tua mengiyakan atau menidakkan kesediaannya untuk mendengar
cerita si pemuda tersebut, langsung saja si pemuda mengadukan masalahnya.
‘Oops, tunggu
dulu dek’, kata si pak tua. ‘Mohon maaf sekali, bukannya bapak tidak mau
mendengar, tapi bapak ingin segera melanjutkan perjalanan pulang ke rumah
karena sebentar lagi senja menjelang. Sekedar titip pesan saja, jika masalah
adek masih belum selesai hingga esok pagi, bapak bisa sarankan adek untuk menemui seseorang di puncak bukit kedua ke
arah Barat kampung ini. Siapa tahu ada seseorang yang bisa membantu adek di
sana’, jelas si pak tua.
Keesokannya,
ternyata si pemuda masih risau dan galau
juga akan masalah yang dihadapinya. Ingat pesan si pak tua kemarinnya, maka ia putuskan
untuk berangkat ke puncak bukit yang diarahkan oleh si pak tua tersebut.
Berangkatlah si pemuda naik bukit, dengan harapan masalahnya bisa diselesaikan.
Bayang-bayang
pohon berada persis di bawahnya barulah sampai si pemuda tersebut di puncak
bukit. Sayup-sayup adzan Dzuhur terdengar dari mushola kampung bawah. Ditemuinya
ada sebuah pondok kecil nan asri bertengger tepat membelakangi pinggir telaga
tenang di puncak bukit tersebut.
Dihampirinya
pondok nan asri itu, tidak terlihat tanda-tanda ada penghuninya. Sempat
terpikirkan oleh si pemuda mungkin saja tidak ada penghuninya, tapi pondoknya
terlihat sangat bersih dan terawat. Sedang asyik mengamati pondok, si pemuda
terkaget bukan kepalang karena ada yang menyentuh pundaknya dari arah belakang.
Begitu menoleh ke belakang, ternyata sosok yang mengagetkannya itu tidak lain
tidak bukan adalah pak tua yang ditemuinya di pasar kemarinnya. Ya, pak tua
tersebut memang pemilik pondok asri di bukit nan hijau itu. Pak tua baru saja
mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Dzuhur.
‘Akhirnya kamu
datang juga’, kata si pak tua. ‘Iya pak, saya minta bantuan agar saya tetap
tenang menghadapi semua masalah pak’ kata si pemuda setengah merengek cengeng.
Karena pak tua
bertindak sebagai tuan rumah, ia mempersilakan si pemuda masuk pondoknya. Mereka
sholat berjamaah. Selesai sholat, pak tua menyiapkan 2 buah gelas kosong.
‘Pas banget, saya memang sangat haus’, si
pemuda berbisik sendiri melihat pak tua menyiapkan gelas tersebut. Sesaat
kemudian pak tua mengambil teko berisi air dan sebuah guci tanah liat tempat
menyimpan semacam butiran putih. ‘Mungkin
isinya gula pasir,’ pikir si pemuda.
Pak tua menuangkan
air ke satu gelas hingga penuh, dan langsung meminumnya. Dan mempersilakan si
pemuda juga untuk menuangkan air minum untuk dirinya sendiri. Setelah si pemuda
mendapatkan gelasnya penuh terisi air, dan segera siap melenyapkan rasa
dahaganya di siang yang cerah itu.
Namun, belum juga tangannya setinggi dada dengan mendekatkan gelas ke mulutnya.
si pak tua menyuruhnya berhenti.
‘Tahan dulu dek, ini ada bubuk bagus untukmu’,
lalu si pak tua merogoh isi guci tanah liat yang dibawanya tadi dan
mengeluarkan tangannya dengan genggaman penuh bubuk putih.’ Kemudian
dimasukkannya ke dalam gelas si pemuda, diaduknya sebentar dengan sendok batang
kelapa yang memang dari tadi ada di tatakan dekat mereka duduk lesehan di
pondok itu. ‘Silakan diminum dek,’
pintanya ke si pemuda.
Dan, byyuuuurrr,
si pemuda refleks menyemburkan minumannya, karena merasakan rasa aneh, asin
sangat dan campur pahit di minuman dengan bubuk putih itu. ‘Apa ini pak?’ sergap si pemuda ke pak
tua. Dengan tenangnya pak tua menjawab, ‘Segelas
air dengan segenggam garam!’.
‘Ya Tuhan, ini bapak tega sekali kasih saya
minum air segelas dengan segenggam garam begitu’, keluh si pemuda’. Tanya pak tua, ‘Gimana rasanya dek?’. ‘Ya
pake tanya-tanya lagi, bukannya minta maaf’, pemuda memberondong pak tua
dengan omelannya. ‘Jelas-jelas asin
campur pait banget’, omelannya dalam hati’.
Tidak selesai di
situ, pak tua tampaknya memberikan suatu pelajaran yang bernilai buat si
pemuda. Disuruhnya pemuda ke belakang pondok untuk mengambil beberapa karung
garam yang tersusun di kolong pondok, dan memintanya menuangkan garam-garam itu
ke dalam telaga yang memang berada di belakang pondok. Setelah itu disuruhnya
pemuda mengaduk-aduk telaga yang cukup luas itu dengan pengayuh perahu yang
tertancap di pinggir telaga jernih tersebut.
Setelah merasa
cukup teraduk, pak tua meminta si pemuda mengambil air telaga itu segelas
penuh, dan menyilakan pemuda untuk meminumnya. ‘Wooww segeeer sekali pak, rasanya dingin menenangkan, sangat alami,
tidak terasa asin sedikitpun’ kata si pemuda.
‘Nah demikianlah
pelajaran kehidupan untuk mu di siang ini dek’, kata pak tua. ‘Garam itu adalah
masalah kehidupan, dan wadah itu adalah luasnya hatimu, sementara airnya adalah
keadaan keseharianmu. Ketika masalah kehidupanmu hanya segenggam, tapi kau
simpan dalam hati yang hanya seluas gelas, maka rasanya sangat asin dan campur
pahit. Tapi kalaupun ‘garam’ atau masalah kehidupanmu berkarung-karung, tapi
kau bisa menyiapkan hatimu seluas telaga atau lebih untuk menampung masalah itu
maka air kehidupanmu tetap saja terasa jernih dan enak.’
‘Kini kembalilah ke kampung mu, ke kehidupan nyata mu, biarlah
berkarung-karung garam kehidupan itu datang, kau akan tetap bisa menikmati air
kehidupanmu dengan enak karena keluasan wadah hatimu. jadi bukan banyak
garamnya yang jadi masalah, tapi keluasan hati kitalah yang jauh lebih penting.
Sementara itu saja dulu bekal dariku’, tutup pak tua di penjelasannya yang sangat
filosofis itu.
Si pemuda pun turun bukit dan kembali ke kampungnya. Sejak itu si
pemuda berubah menjadi pemuda yang periang, selalu semangat dan penuh percaya
diri dalam mengarungi kehidupannya.
***
Semoga kisah penuh hikmah ini dapat menginspirasi kita untuk bisa
memiliki keluasan telaga hati tak berbatas. Semoga Allah menguatkan. Aamiin.
Jakarta, Sept
26, 2012.
Picture is powered by google