Di awal-awal masa reformasi 1998 yang lalu, kita melihat beberapa tokoh muda nasional yang 'menjanjikan' untuk ikut kelak membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebut saja diantara tokoh muda itu adalah Anas Urbaningrum, Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Andi Alfian Mallarangeng, Eep Saefullah Fatah, Indra Jaya Piliang, Anies Baswedan, dan lain-lain.
Mereka umumnya berasal dari organisasi-organisasi kemahasiswaan / kepemudaan. Saat itu, beberapa diantaranya, ada yang masih 'menahan' diri untuk tetap tinggal di kampus menjadi akademisi, namun ada juga yang mulai-mulai bersinggungan dengan politik praktis.
Seiring berjalannya waktu, muncul pula beberapa tokoh muda lainnya. Ada Aria Bima, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi, dan lain-lain. Untuk nama-nama terakhir ini bukan berarti saya menyebut mereka lebih junior dari tokoh-tokoh muda yang disebutkan pada awal masa reformasi tadi. Namun gema secara nasionalnya memang terdengar agak belakangan. (At least in my observation:))
Memperhatikan sepak terjang mereka di organisasi / komunitasnya memang sangat memesona. Ada semangat perubahan yang terlihat nyata di setiap mereka tampil. Spirit seorang pemuda! Gesit, spontan, dan agresif. Mereka pandai berorasi, argumentatif dalam diskusi, juga cakap dalam menulis.
Waktu pun berlalu.
15 tahun masa reformasi telah bergulir. Coba kita perhatikan lagi tokoh-tokoh muda itu kini.
Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng belum sempat memberikan kontribusi perubahan lebih lama dan lebih banyak di DPR / Pejabat Menteri, malah menjadi tersangka oleh KPK. Kita tetap menerapkan azas praduga tak bersalah hingga status hukumnya final.
Budiman Sudjatmiko di DPR RI mewakili PDI-P masih terus berjuang membawa perubahan ke alam yang lebih demokratis. Alih-alih memperjuangkan nafas demokrasi ke seluruh elemen bangsa, bung Budiman masih perlu berjuang terlebih dahulu melawan arus 'demokrasi terpimpin' ala Megawati Soekarno Putri di internal partainya.
Fadli Zon, kini makin menguatkan posisinya di partai politik. Ia menjadi salah satu tokoh penting di DPP Partai Gerindra, sekaligus menjadi orang kepercayaan Prabowo Subianto. Mantan mahasiswa teladan UI ini memang tidak duduk di kursi DPR RI (saat ini). Namun, kehidupannya di dunia politik praktis bukanlah satu atau dua tahun belakangan saja. Tokoh muda berdarah Minangkabau ini sebelum bergabung dengan Partai Gerindra, pada tahun 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur). Selain Fadli Zon, tercatat pula mantan aktivis 1998, Pius Lustrilanang, yang merapat ke barisan Prabowo Subianto tersebut.
Indra Jaya Piliang, yang bertahun-tahun menjadi analis politik yang cukup produktif di Indonesia bersama CSIS (Center for Strategic and International Studies) akhirnya berlabuh di Golkar (menjadi ketua Balitbang). Sempat menjadi Calon Walikota dari jalur independen di kota kelahirannya, Pariaman beberapa bulan yang lalu. Namun, keberuntungan belum berpihak padanya.
Aria Bima bergabung dengan Hatta Rajasa di PAN. Ikut pula meramaikan bursa pemilihan Cawalkot Bogor tahun ini (2013). Dan Menang!
Anies Baswedan tak kuat pula menolak ajakan Partai Demokrat untuk ikut konvensi Calon Presiden. Tampaknya akan 'serius' berpolitik praktis juga?
Ya, dunia politik memang menggoda. Menggiurkan. Terutama bagi aktivis yang sudah terbiasa akan terms 'kekuasaan' di organisasi tempatnya tumbuh dan berkembang. Tak ada yang salah dengan godaan itu. Jika pilihan para tokoh muda itu adalah berpolitik praktis, ya berpolitiklah dengan elegant, jujur, dan berdedikasi hanya untuk bangsa. Hanya untuk kesejahteraan warga. Bukan untuk kepentingan pribadi, aliran dan kelompoknya saja.
Kalau pilihannya pun tetap bertahan di kampus seperti Eep S Fatah, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi dan lain-lain, berkontribusilah sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Membangun Indonesia dengan pendidikan. Mewujudkan Indonesia cerdas.
Berpolitik praktis atau tidak itu adalah pilihan mereka masing-masing. Tidak ada concern kita untuk itu. Yang akan menjadi concern adalah apakah mereka berkontribusi positif (membawa manfaat) atau tidak dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita UUD 1945?
Kita harap jawabannya: 'YA!'
Mereka umumnya berasal dari organisasi-organisasi kemahasiswaan / kepemudaan. Saat itu, beberapa diantaranya, ada yang masih 'menahan' diri untuk tetap tinggal di kampus menjadi akademisi, namun ada juga yang mulai-mulai bersinggungan dengan politik praktis.
Seiring berjalannya waktu, muncul pula beberapa tokoh muda lainnya. Ada Aria Bima, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi, dan lain-lain. Untuk nama-nama terakhir ini bukan berarti saya menyebut mereka lebih junior dari tokoh-tokoh muda yang disebutkan pada awal masa reformasi tadi. Namun gema secara nasionalnya memang terdengar agak belakangan. (At least in my observation:))
Memperhatikan sepak terjang mereka di organisasi / komunitasnya memang sangat memesona. Ada semangat perubahan yang terlihat nyata di setiap mereka tampil. Spirit seorang pemuda! Gesit, spontan, dan agresif. Mereka pandai berorasi, argumentatif dalam diskusi, juga cakap dalam menulis.
Waktu pun berlalu.
15 tahun masa reformasi telah bergulir. Coba kita perhatikan lagi tokoh-tokoh muda itu kini.
Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng belum sempat memberikan kontribusi perubahan lebih lama dan lebih banyak di DPR / Pejabat Menteri, malah menjadi tersangka oleh KPK. Kita tetap menerapkan azas praduga tak bersalah hingga status hukumnya final.
Budiman Sudjatmiko di DPR RI mewakili PDI-P masih terus berjuang membawa perubahan ke alam yang lebih demokratis. Alih-alih memperjuangkan nafas demokrasi ke seluruh elemen bangsa, bung Budiman masih perlu berjuang terlebih dahulu melawan arus 'demokrasi terpimpin' ala Megawati Soekarno Putri di internal partainya.
Fadli Zon, kini makin menguatkan posisinya di partai politik. Ia menjadi salah satu tokoh penting di DPP Partai Gerindra, sekaligus menjadi orang kepercayaan Prabowo Subianto. Mantan mahasiswa teladan UI ini memang tidak duduk di kursi DPR RI (saat ini). Namun, kehidupannya di dunia politik praktis bukanlah satu atau dua tahun belakangan saja. Tokoh muda berdarah Minangkabau ini sebelum bergabung dengan Partai Gerindra, pada tahun 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur). Selain Fadli Zon, tercatat pula mantan aktivis 1998, Pius Lustrilanang, yang merapat ke barisan Prabowo Subianto tersebut.
Indra Jaya Piliang, yang bertahun-tahun menjadi analis politik yang cukup produktif di Indonesia bersama CSIS (Center for Strategic and International Studies) akhirnya berlabuh di Golkar (menjadi ketua Balitbang). Sempat menjadi Calon Walikota dari jalur independen di kota kelahirannya, Pariaman beberapa bulan yang lalu. Namun, keberuntungan belum berpihak padanya.
Aria Bima bergabung dengan Hatta Rajasa di PAN. Ikut pula meramaikan bursa pemilihan Cawalkot Bogor tahun ini (2013). Dan Menang!
Anies Baswedan tak kuat pula menolak ajakan Partai Demokrat untuk ikut konvensi Calon Presiden. Tampaknya akan 'serius' berpolitik praktis juga?
Ya, dunia politik memang menggoda. Menggiurkan. Terutama bagi aktivis yang sudah terbiasa akan terms 'kekuasaan' di organisasi tempatnya tumbuh dan berkembang. Tak ada yang salah dengan godaan itu. Jika pilihan para tokoh muda itu adalah berpolitik praktis, ya berpolitiklah dengan elegant, jujur, dan berdedikasi hanya untuk bangsa. Hanya untuk kesejahteraan warga. Bukan untuk kepentingan pribadi, aliran dan kelompoknya saja.
Kalau pilihannya pun tetap bertahan di kampus seperti Eep S Fatah, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi dan lain-lain, berkontribusilah sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Membangun Indonesia dengan pendidikan. Mewujudkan Indonesia cerdas.
Berpolitik praktis atau tidak itu adalah pilihan mereka masing-masing. Tidak ada concern kita untuk itu. Yang akan menjadi concern adalah apakah mereka berkontribusi positif (membawa manfaat) atau tidak dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita UUD 1945?
Kita harap jawabannya: 'YA!'