Berdasarkan analisa sejarah dan cerita lisan turun-temurun yang saya
kumpulkan, disebutkan bahwa ada beberapa rombongan keluarga di
antaranya bersuku Djambak yang berpindah dari Gasan, daerah Tiku bagian
Selatan, ke hulu Batahan sebagai dampak dari berkobarnya perang Paderi
di ranah Minang. Daerah Tiku, Air Bangis (asumsinya termasuk juga Natal
dan Batahan), dan Mandailing ketika itu sudah di bawah kendali dan
pengaruh kaum Paderi. Sehingga mereka (penduduk setempat yang ingin
dekat dengan budaya Islam) yang berada di wilayah ini merasa lebih
tenang dan aman karena jauh dari sentral konflik perang antara kaum
Paderi versus kaum Adat di Pagaruyung dsk.
Perang Paderi sendiri (1803-1833), dalam literature sejarah yang kita temukan termasuk perang dengan masa yang sangat lama. Awalnya, perang ini merupakan perang saudara yang melibatkan masyarakat Minangkabau dan Mandailing. Ini terjadi akibat pertentangan antara kaum ulama (sebutan Paderi) pimpinan Harimau nan Salapan dengan kaum adat pimpinan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah.
Selanjutnya pihak penjajah Belanda ikut campur membantu menyerang kaum Paderi karena permintaan pihak kerajaan Pagaruyung sendiri sejak tahun 1821. Namun akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan dan akibat campur tangan Belanda ternyata persoalan menjadi semakin rumit, maka kaum adat memutuskan berbalik melawan penjajah Belanda pada tahun 1833. Di akhir peperangan, sejarah mencatat bahwa Belanda yang keluar menjadi pemenangnya. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/perang-padri-1803-1838-dan-keterlibatan-belanda-10016.htm
Selain dari fakta perang Paderi tersebut, rombongan keluarga dari Gasan ini tertarik ke Batahan karena mengetahui bahwa negeri tersebut dipimpin oleh seorang raja Perempuan, Puti Bulan Tersingit. Ini tentu menyenangkan hati kaum minang yang memang sangat menghormati kedudukan seorang perempuan. Selain juga karena suami dari Puti Bulan Tersingit ini adalah Sutan Iskandar yang merupakan putera Minang, kelahiran Rao, di Padang Nonang.
Belum dapat dipastikan tahun persisnya kapan kedatangan rombongan dari Gasan ini ke Batahan. Namun rentangnya adalah pada masa Tuanku Rao masih memimpin kaum Paderi di wilayah Air Bangis dan Mandailing (1816-1833). Tuanku Rao sendiri gugur sebagai syuhada pembela Islam dan tanah air di tahun 1833 dalam sebuah pertempuran sengit melawan penjajah Belanda di Air Bangis. (Hamka, Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974).
Rombongan dari Gasan tersebut diyakini menggunakan transportasi laut (perahu) menuju Batahan. Keterangan ini lebih meyakinkan dibandingkan dengan keterangan yang menyebutnya melalui jalur darat, yang mungkin memakan waktu berbulan-bulan lamanya karena jalan yang masih banyak terhalang hutan. Dengan menggunakan perahu, rombongan ini bisa menyusuri bibir pantai Barat pulau Sumatera ke arah Utara untuk menuju hulu Batahan.
Dalam keterangan turun-temurun, seorang ibu dengan suku Djambak yang masih dapat diingat nama atau panggilannya adalah Rukayah. Beliau adalah saudara dari Datuak Bonsu alias Abdul Yasin yang merupakan kepala suku Djambak yang juga ikut rombongan tersebut. Anak dari ibu Rukayah bernama Supiak (belum diketahui nama aslinya). Kemudian Supiak ini memiliki tiga orang anak. Ketiganya masing-masing dikenal dengan panggilan Upiak Cambuang, Upiak Capah, dan Fulanah.
Dari Upiak Cambuang lahirlah dua orang anak perempuan yang masing-masing bernama Kasiyah dan Ajarmiah. Kasiyah kemudian memiliki dua orang anak perempuan juga yang bernama Djasmaniah dan Djasmariah. Sementara Ajarmiah hanya memiliki seorang anak perempuan, yang bernama Nur Arfah.
Dari ibu bernama Djasmaniah ini kemudian lahirlah empat orang anak. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Fahmi Husin (papa kami), M. Husni Thamrin, Ratna Wilis dan Jaya Murni. Dengan demikian, papa kami masih berhak menggunakan suku Djambak di belakang namanya karena beliau wariskan dari garis keturunan ibu. Sementara kami sendiri tidak mendapatkan suku Djambak.
Dari ibu Djasmariah, lahirlah empat orang anak juga. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Kasminar, Masmuddin, Masdinar (ibunda bang Iwan Wirabuana), dan Darliana (Ibunda Fazwar, bang Arifin Farouk, dll). Ini adalah penjelasan dari pertanyaan bang Iwan dan Fazwar di thread fb sebelumnya. Bahwa mereka memang syah bersuku Djambak.
Sementara Ajarmiah yang memiliki seorang anak perempuan tadi, yang bernama Nur Arfah, memiliki keturunan selanjutnya yang bernama Ardanis (ibunda Rahmadi Anwar), Asniar, Edi Suwardi, Sukmawati, Masdariah, Syafrial, dan Yurdan (kini menjadi guru SMA N Batahan).
Selanjutnya dari pihak Upiak Capah, yang merupakan saudari dari Upiak Cambuang tadi, memiliki tiga orang anak. Masing-masing bernama Siti Maserah, Maksum dan Nursyam.
Dari Siti Maserah melahirkan tiga orang anak, masing-masing adalah Siti Adna (uci sdr Gunawan), Fadlan (ongku Tandeo, ongku dari Surya Dermawan), dan Afzal.
Lainnya, insyaAllah disambung lagi di waktu yang akan datang.
-
Semoga bermanfaat
Perang Paderi sendiri (1803-1833), dalam literature sejarah yang kita temukan termasuk perang dengan masa yang sangat lama. Awalnya, perang ini merupakan perang saudara yang melibatkan masyarakat Minangkabau dan Mandailing. Ini terjadi akibat pertentangan antara kaum ulama (sebutan Paderi) pimpinan Harimau nan Salapan dengan kaum adat pimpinan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah.
Selanjutnya pihak penjajah Belanda ikut campur membantu menyerang kaum Paderi karena permintaan pihak kerajaan Pagaruyung sendiri sejak tahun 1821. Namun akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan dan akibat campur tangan Belanda ternyata persoalan menjadi semakin rumit, maka kaum adat memutuskan berbalik melawan penjajah Belanda pada tahun 1833. Di akhir peperangan, sejarah mencatat bahwa Belanda yang keluar menjadi pemenangnya. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak pada merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik. http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-islam/perang-padri-1803-1838-dan-keterlibatan-belanda-10016.htm
Selain dari fakta perang Paderi tersebut, rombongan keluarga dari Gasan ini tertarik ke Batahan karena mengetahui bahwa negeri tersebut dipimpin oleh seorang raja Perempuan, Puti Bulan Tersingit. Ini tentu menyenangkan hati kaum minang yang memang sangat menghormati kedudukan seorang perempuan. Selain juga karena suami dari Puti Bulan Tersingit ini adalah Sutan Iskandar yang merupakan putera Minang, kelahiran Rao, di Padang Nonang.
Belum dapat dipastikan tahun persisnya kapan kedatangan rombongan dari Gasan ini ke Batahan. Namun rentangnya adalah pada masa Tuanku Rao masih memimpin kaum Paderi di wilayah Air Bangis dan Mandailing (1816-1833). Tuanku Rao sendiri gugur sebagai syuhada pembela Islam dan tanah air di tahun 1833 dalam sebuah pertempuran sengit melawan penjajah Belanda di Air Bangis. (Hamka, Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974).
Rombongan dari Gasan tersebut diyakini menggunakan transportasi laut (perahu) menuju Batahan. Keterangan ini lebih meyakinkan dibandingkan dengan keterangan yang menyebutnya melalui jalur darat, yang mungkin memakan waktu berbulan-bulan lamanya karena jalan yang masih banyak terhalang hutan. Dengan menggunakan perahu, rombongan ini bisa menyusuri bibir pantai Barat pulau Sumatera ke arah Utara untuk menuju hulu Batahan.
Dalam keterangan turun-temurun, seorang ibu dengan suku Djambak yang masih dapat diingat nama atau panggilannya adalah Rukayah. Beliau adalah saudara dari Datuak Bonsu alias Abdul Yasin yang merupakan kepala suku Djambak yang juga ikut rombongan tersebut. Anak dari ibu Rukayah bernama Supiak (belum diketahui nama aslinya). Kemudian Supiak ini memiliki tiga orang anak. Ketiganya masing-masing dikenal dengan panggilan Upiak Cambuang, Upiak Capah, dan Fulanah.
Dari Upiak Cambuang lahirlah dua orang anak perempuan yang masing-masing bernama Kasiyah dan Ajarmiah. Kasiyah kemudian memiliki dua orang anak perempuan juga yang bernama Djasmaniah dan Djasmariah. Sementara Ajarmiah hanya memiliki seorang anak perempuan, yang bernama Nur Arfah.
Dari ibu bernama Djasmaniah ini kemudian lahirlah empat orang anak. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Fahmi Husin (papa kami), M. Husni Thamrin, Ratna Wilis dan Jaya Murni. Dengan demikian, papa kami masih berhak menggunakan suku Djambak di belakang namanya karena beliau wariskan dari garis keturunan ibu. Sementara kami sendiri tidak mendapatkan suku Djambak.
Dari ibu Djasmariah, lahirlah empat orang anak juga. Mereka berturut-turut dari yang tertua adalah Kasminar, Masmuddin, Masdinar (ibunda bang Iwan Wirabuana), dan Darliana (Ibunda Fazwar, bang Arifin Farouk, dll). Ini adalah penjelasan dari pertanyaan bang Iwan dan Fazwar di thread fb sebelumnya. Bahwa mereka memang syah bersuku Djambak.
Sementara Ajarmiah yang memiliki seorang anak perempuan tadi, yang bernama Nur Arfah, memiliki keturunan selanjutnya yang bernama Ardanis (ibunda Rahmadi Anwar), Asniar, Edi Suwardi, Sukmawati, Masdariah, Syafrial, dan Yurdan (kini menjadi guru SMA N Batahan).
Selanjutnya dari pihak Upiak Capah, yang merupakan saudari dari Upiak Cambuang tadi, memiliki tiga orang anak. Masing-masing bernama Siti Maserah, Maksum dan Nursyam.
Dari Siti Maserah melahirkan tiga orang anak, masing-masing adalah Siti Adna (uci sdr Gunawan), Fadlan (ongku Tandeo, ongku dari Surya Dermawan), dan Afzal.
Lainnya, insyaAllah disambung lagi di waktu yang akan datang.
-
Semoga bermanfaat