Cerita 1:
Dulu saya hampir saja masuk SMU Plus Muthohhari pimpinan Jalaluddin Rahmat. Ingin sekali bersekolah disana. Waktu itu nama kang Jalal masih harum sebagai salah seorang cendekiawan muslim di tanah air. Niat banget sekolah di Muthohhari, saya survey lokasi ke sana, tepatnya di Jl. Kampus Kiaracondong kota Bandung. Lulusan SMU ini waktu itu mudah sekali mendapatkan beasiswa S1 ke Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya. Lingkungan sekolahnya juga kondusif untuk belajar. Tenang. Tapi, takdir bicara lain, ada sedikit masalah dengan 'keuangan', gak jadi masuk deh. Kecewa!
Bertahun-tahun kemudian, baru terbuka kedoknya kang Jalal, ternyata ybs penganut syi'ah. Lucky me, gak jadi masuk kesana! Kalau saja masuk dulu kesana bisa jadi skrg saya ikut kaum penghalal nikah mut'ah pula. Jadi kelompok pecinta Ali ra tapi pembenci dan memusuhi khulafaurrasyidin yang lain. Na'udzubillah!
Cerita 2:
Pernah ada seorang anggota dewan yang mengajak saya jadi 'staf ahlinya'. Saya sampaikan waktu itu bahwa saya belum punya ijazah S2, jadi gak lolos syarat dong!
'Gak apa-apa katanya'. Itu bisa diatur. 'Yang penting mau dulu. Nanti bisa kita daftarkan ke salah satu kampus, yang penting udah tercatat jadi mahasiswa S2, syaratnya dah ok', begitu kata 'bapak' ini menguatkan. Saya tergiur. Meski saya harus jujur untuk katakan bahwa gaji resminya lebih kecil dari yang saya dapat dari kantor tempat bekerja waktu itu. Tapi katanya akan ada banyak masukan lain dari proyek-proyek 'kecil'. Halal lah, katanya. Wow, saya jadi yakin. Halal kok. Tapi rupanya almarhum papa, punya firasat lain. Saya memang tidak dilarang, tapi maksudnya terlihat kurang setuju kalau saya ikut di staf ahli bapak tadi. Padahal saya berharap almarhum endorse pilihan itu, nyatanya tidak. Kecewa!
Pernah ada seorang anggota dewan yang mengajak saya jadi 'staf ahlinya'. Saya sampaikan waktu itu bahwa saya belum punya ijazah S2, jadi gak lolos syarat dong!
'Gak apa-apa katanya'. Itu bisa diatur. 'Yang penting mau dulu. Nanti bisa kita daftarkan ke salah satu kampus, yang penting udah tercatat jadi mahasiswa S2, syaratnya dah ok', begitu kata 'bapak' ini menguatkan. Saya tergiur. Meski saya harus jujur untuk katakan bahwa gaji resminya lebih kecil dari yang saya dapat dari kantor tempat bekerja waktu itu. Tapi katanya akan ada banyak masukan lain dari proyek-proyek 'kecil'. Halal lah, katanya. Wow, saya jadi yakin. Halal kok. Tapi rupanya almarhum papa, punya firasat lain. Saya memang tidak dilarang, tapi maksudnya terlihat kurang setuju kalau saya ikut di staf ahli bapak tadi. Padahal saya berharap almarhum endorse pilihan itu, nyatanya tidak. Kecewa!
Beberapa bulan kemudian, si anggota dewan ini 'kena' garap, oleh aparat penegak hukum. You know lah what I mean! Skrg ybs masih 'mondok' di LP Sukamiskin. Meski orangnya saya paham beliau ini orang baik, tapi sistem yang ada membuatnya terseret-seret. Lucky me, alhamdulillah saya gak jadi ikut bersamanya. Kalau jadi waktu itu mungkin dah bolak-balik ke persidangan pula.
Astaghfirullah.
Astaghfirullah.
Cerita 3:
Awal 2018, sebuah perusahaan ecommerce ternama di Thailand wanted to hire me as their regional head di salah satu departemennya. Berkantor di Bangkok. Kudu tinggalin keluarga deh di Bekasi or titipin ke Bandung. hehe. Kalau dibawa ke Bangkok gimana? Saya ngeri life style disana. Tidak kondusif buat anak-anak. Saya tinggal tandantangan NDA dan lanjut employment agreement aja, berangkat ke Bangkok deh.
Awal 2018, sebuah perusahaan ecommerce ternama di Thailand wanted to hire me as their regional head di salah satu departemennya. Berkantor di Bangkok. Kudu tinggalin keluarga deh di Bekasi or titipin ke Bandung. hehe. Kalau dibawa ke Bangkok gimana? Saya ngeri life style disana. Tidak kondusif buat anak-anak. Saya tinggal tandantangan NDA dan lanjut employment agreement aja, berangkat ke Bangkok deh.
Saya konsultasi dengan keluarga. Telpon orang tua. Minta doa restu. Entah kenapa, mereka berdua tidak nyaman bila saya hidup di Bangkok. Tidak melarang, seperti biasa, tapi sama sekali tak ada dukungan! Wah, kalo dah urusan sama ortu saya konservatif banget deh. Nurut aja. Nyatanya benar, setelah sholat istikhoroh dan doa, jawabannya saya harus batalkan. Tentu dengan professional manner, saya sampaikan my decision to the recruiter. Apology! Meski memberikan pilihan sendiri begitu, saya sedikit kecewa juga, apalagi dah ngebet betul, biar si anak kampung ini bisa dapat 'regional/global exposure' di kawasan ASEAN.
Cerita tak sampai disitu. Hanya beberapa hari saja setelah itu proses interview saya yang lain 'DEAL'. Engaged dengan sebuah perusahaan new disruptive Telco di Singapore. Term n Conditionnya lebih mengasyikkan, saya diperbolehkan bolak-balik per dua minggu atau sesuai kebutuhan Indo-SG. Jadi deh! Ortu setuju kalo di SG. hahai alhamdulillah 'ala kulli hal. Anak isteri juga mendukung. Tahun pertama banyak bolak-balik kesana. Masuk tahun kedua sudah stay terus di ID, insyaAllah segera launching disini.
So my friends, jangan pernah sesali jalan hidup. Sabar dan ikhlaskan saja, apapun itu. Semua sudah ada qodo dan qadarnya. Senantiasa pula terus memperbaiki diri. Tingkatkan kualitas diri. Perbanyak relasi. Sambungkan terus silaturrahmi. Perkuat jejaring. Oh ya, secara khusus untuk adik-adik angkatan, perdalam terus kemampuan bahasa asingnya ya! English is a must. InsyaAllah akan ada cahaya terang di ujung sana!
MasyaAllah. Tabarakallahu!
---
*Afwan tak bermaksud menggurui apalagi sok-sok'an. hehe. Tujuan tulisan ini hanya untuk mengafirmasi rasa syukur kami pribadi, syukur-syukur bisa menginspirasi.
*Afwan tak bermaksud menggurui apalagi sok-sok'an. hehe. Tujuan tulisan ini hanya untuk mengafirmasi rasa syukur kami pribadi, syukur-syukur bisa menginspirasi.
Salam!