Bangsa Eropa ketiga yang datang ke pantai barat Sumatera adalah orang Inggris. Seperti yang diungkapkan Dennis Lombard, terdapat armada Inggris di wilayah tersebut pada kuartal terakhir abad ke-16, dan Aceh merupakan salah satu wilayah pertama yang dikunjungi armada Inggris. Kehadiran Inggris di kawasan tersebut atas perintah langsung Ratu Inggris, Queen Elizabeth I. Sang ratu menyiapkan sebuah surat yang ditulis dengan tinta emas di atas kertas halus dan disampaikan oleh "utusan kerajaan" bernama Sir James Lancaster. Dalam suratnya, Ratu Elizabeth menyebut Raja Aceh sebagai "saudara laki-lakinya" dan menulis, "Kepada saudara ku, Raja Aceh Darussalam. Utusan Ratu Inggris juga dikabarkan membawa sederet "suvenir", berupa satu set perhiasan dari berlian rubi. Pendekatan “soft diplomacy” Inggris memungkinkan penguasa Aceh membuka perdagangan di Kutarajah.
Puncak kehadiran militer Inggris di wilayah tersebut terjadi pada tahun 1685 ketika mereka merebut Bengkulu dan membangun benteng di sana.
British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada Bencoolen dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut.
Dalam sebuah dokumen berbahasa Inggris dengan ejaan abad 19, ditemukan bahwa dari arah Bengkulu, Inggris melalui perusahaan dagangnya EIC yang ditopang dengan kekuatan militer kerajaan, sebenarnya mereka ingin meluaskan pengaruh dagangnya ke arah utara, menyusuri pantai Barat Sumatera. Bandar-bandar atau pelabuhan yang masih dikuasai Belanda melalui VOC adalah Indrapura, Padang, Pariaman, Tiku, Pasaman, Batahan, Barus dan Daya. Melihat dari paragraf-paragraf sebelumnya dan dibandingkan dengan tahun terbitnya buku ini, diperkirakan Batahan jatuh ke tangan Inggris sekira tahun 1717. Ini beberapa tahun sebelum Batahan dipimpin oleh Raja Perempuan, Puti Bulan Tasingik (yang menurut catatan almarhum papa Fahmi Husin, beliau jadi Raja Perempuan sekira tahun 1725). Dokumen ini ditemukan di buku dengan judul MODERN HISTORY or PRESENT STATE OF ALL NATIONS, volume 1, ditulis oleh Mr. Salmon. Tahun terbit 1739. Kata Batahan muncul dua kali di halaman 190.
Teks asli, dalam huruf English of 18th century.
When we were driven from Bencoulen, it seems neither Bantall or Mocho-Mocho were ever attacked, though they were much leſs able to have defended themselves; which confirms me in the opinion, that though the natives did reſent ſome ill uſage they had met with, yet the advantageous trade they carried on with the Engliſh, as well as their dread of the Dutch, foon inclined them to be reconciled to us again.
To the northward of the Engliſh ſettlements on the west coaft of Sumatra ſtand the towns of Indrapour, Padang, Priaman, Tecou, Paflaman, Batahan, Barros and Daya. Indrapour is the firſt Dutch ſettlement to the northward of the Engliſh, and lyes two degrees fouth; Padang lyes in one degree thirty minutes, Priaman in fifty minutes, Tecou in thirty minutes fouth latitude, and Pafla- man almoft under the line; ſo that the Dutch fettlements on the west coaft extend from two degrees fouth latitude to the equator, and of theſe Padang is the principal; Batahan is one degree to the northward of the line, Barros in two degrees thirty minutes north, and Daya four degrees fifty minutes north. Here, and in the rest of the country to the northward of the equator, the King of Achen ſtill retains his fovereignty; and I don't find that any European nation are in poffeffion of his ports; but the fouthern parts of the island are ſo awed and restrained of their liberty by the Dutch, that they dare not trade with any other people.
TERJEMAHAN BEBAS by GoogleTranslate:
Saat kami diusir dari Bencoulen, sepertinya Bantall maupun Muko-Muko tidak pernah diserang, meski mereka kurang mampu mempertahankan diri; Hal ini menguatkan pendapat saya, bahwa meskipun penduduk asli tidak menyukai perlakuan buruk yang pernah mereka alami (oleh penjajah sebelumnya), namun keuntungan perdagangan yang mereka lakukan dengan orang Inggris, serta rasa takut mereka terhadap Belanda, membuat mereka cenderung untuk berdamai kembali dengan kami. .
Di sebelah utara pemukiman Inggris di pantai barat Sumatra berdiri kota Indrapura, Padang, Pariaman, Tiku, Pasaman, Batahan, Barus dan Daya. Indrapura adalah pemukiman Belanda pertama di utara Inggris, dan terletak dua derajat keempat; Padang terletak pada satu derajat tiga puluh menit, Pariaman lima puluh menit, Tiku tiga puluh menit lintang empat, dan Pasaman hampir berada di bawah garis; sehingga pemukiman Belanda di pantai barat terbentang dari dua derajat lintang empat sampai garis khatulistiwa, dan Padang adalah yang utama; Batahan berada satu derajat ke arah utara, Barros dua derajat tiga puluh menit ke utara, dan Daya empat derajat lima puluh menit ke utara. Di sini, dan di wilayah lain di utara khatulistiwa, Raja Achen masih mempertahankan kedaulatannya; dan saya tidak menemukan satu pun negara Eropa yang kewalahan dengan pelabuhannya; namun bagian keempat pulau ini terlalu kagum dan dibatasi kebebasannya oleh Belanda, sehingga mereka tidak berani berdagang dengan negara lain.
No comments:
Post a Comment