Indah memang suasana senja menjelang Maghrib di kota ini. Tapi sayang isteri dan tiga anakku yang lain belum bisa menemani kami sore ini karena isteriku masih harus menemani anak ketiga di tempat kursusnya. Sementara anak pertama dan kedua sudah mulai bisa mandiri. Tak perlu antar jemput. Waktu Maghrib hampir tiba saat aku dan Adika berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Kami tidak akan sempat pulang tepat waktu, jadi aku memutuskan untuk mencari masjid terdekat. Beruntungnya, hanya beberapa ratus meter dari sini, terdapat sebuah Islamic Center yang besar, tempat umat Islam setempat sering berkumpul. “Kita maghrib di sini aja, ya, Nak,” kataku sambil mengarahkan langkah ke pintu masjid.
Nampaknya masjid ini cukup aktif, terlihat dari banyaknya
orang yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah. Ketika kami masuk, suasana
tenang langsung menyelimuti, rasa damai menyebar di seluruh ruangan. Kami
segera mengambil wudhu dan bersiap di saf terdepan. Di sela-sela waktu menunggu
adzan, aku memperhatikan jamaah lain—beberapa wajahnya asing, dengan berbagai
latar belakang, tapi semuanya bersatu dalam niat yang sama.
Di akhir shalat Maghrib, seorang pria yang duduk di
sebelahku menyapa dengan senyum hangat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai
pengurus masjid, sekaligus pimpinan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah)
cabang Amerika Serikat. "Nama saya Pak Rahman," katanya,
memperkenalkan diri. Aku terkejut, tak menyangka bertemu dengan seseorang yang
ternyata memimpin organisasi Islam di Amerika. Kami pun berbincang sebentar
setelah shalat, saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing di
negeri orang.
Orang-orang yang datang ke masjid ini ternyata bukan hanya
dari latar belakang warga lokal. Aku bertemu dengan beberapa brothers dari
negara-negara Timur Tengah, bahkan ada juga dari Asia Timur, Asia Selatan, Asia
Tengah hingga Afrika. Mereka tampak sangat bersahabat dan ramah. Tidak
ketinggalan, ada beberapa bule yang baru saja menjadi mualaf, wajah mereka
tampak penuh dengan semangat baru dalam mempelajari Islam. Aku merasa sangat
terharu melihat perkembangan Islam di sini.
Nyata bahwa di Amerika, Islam tumbuh dengan wajah yang lebih
damai, lebih dikenali sebagai agama yang membawa kebaikan dan bukan ancaman
seperti yang sering dipropagandakan oleh segelintir orang di media. Tentu, ini
adalah perubahan yang sangat menggembirakan. Pak Rahman bercerita, dalam tiga
dekade terakhir, ia telah menyaksikan transformasi besar dalam bagaimana
masyarakat Barat memandang Islam. Mereka mulai memahami Islam yang sebenarnya,
jauh dari stereotip negatif.
Enak rasanya mendengar cerita tentang Islam di Amerika. Ini membuatku
semakin bersyukur atas kesempatan bertemu dengan komunitas Muslim yang kuat dan
berkembang. Pak Rahman juga bercerita bagaimana selama 30 tahun ia tinggal di
Amerika, setelah menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar, Mesir. "Dulu,
saya sekolah di Mualimin Muhammadiyah di Jogja sebelum melanjutkan studi ke
Mesir," katanya mengenang masa mudanya. Kisahnya penuh inspirasi dan
membuatku kagum akan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Selain menjadi pimpinan PCIM, Pak Rahman juga aktif memberikan
ceramah dan pendampingan kepada para mualaf di berbagai kota besar di Amerika.
“Islam di sini memang masih minoritas, tapi banyak orang yang tertarik karena
melihat kedamaian dan keadilan yang diajarkan Islam,” tambahnya. Ia juga
mengatakan bahwa mualaf-mualaf bule itu sering kali datang dengan pertanyaan
mendalam tentang kehidupan dan agama, dan Islam memberikan jawaban yang mereka
cari.
Ingatanku melayang pada perjalanan kami sendiri selama
tinggal di Amerika. Aku pun menceritakan kepada Pak Rahman bahwa aku sudah
empat bulan tinggal di sini, bukan untuk menetap, tetapi untuk menjalankan
tugas dari perusahaan. "Saya dipercaya untuk membantu mengembangkan bagian
Operations, mulai dari fulfilment, warehousing, sampai last mile delivery,"
jelasku. "Tapi, kami belum meluncurkan produk secara komersial. Insya
Allah dua bulan lagi produk kami akan siap diluncurkan," lanjutku.
Aku merasa senang bisa berbagi cerita dengan komunitas
Muslim di sini. Meskipun kami berada jauh dari tanah air, kebersamaan dengan
sesama Muslim membuat jarak terasa lebih dekat. Di sela-sela perbincangan,
Adika yang awalnya terlihat lelah mulai menunjukkan rasa ingin tahunya dengan
bertanya kepada beberapa anak kecil yang juga sedang berada di masjid. Mereka
pun mulai bermain di sekitar halaman masjid, berlari-lari kecil sambil tertawa.
Interaksi dengan komunitas Muslim di Amerika ini memberikan
pengalaman berharga bagiku. Aku belajar banyak dari cerita Pak Rahman dan
jamaah lainnya tentang betapa pentingnya menjaga identitas Muslim di negeri
orang. Selain itu, aku juga merasa lebih termotivasi untuk menjalankan tugas
pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, sembari tetap menjaga prinsip-prinsip Islam
dalam setiap langkah yang kuambil.
Setelah obrolan yang cukup panjang, kami pun berpisah. Pak
Rahman menyarankan agar aku ikut aktif dalam kegiatan masjid ini, terutama
dalam mendukung perkembangan dakwah Islam di Amerika. "Kita butuh lebih
banyak orang yang siap memimpin dan berbagi ilmu di sini," katanya. Aku
mengangguk setuju, meskipun aku tahu waktuku di sini terbatas karena tanggung
jawab pekerjaan. Tapi, aku berjanji akan mencoba terlibat lebih banyak selama
aku masih di Amerika.
Malam semakin larut saat kami berjalan pulang ke apartemen.
Di jalan, aku masih memikirkan perbincangan tadi. Ternyata, Islam di Amerika
berkembang jauh lebih baik daripada yang kubayangkan sebelumnya. Banyak yang
mulai memahami nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih positif dan damai.
Rasanya, aku mendapatkan kekuatan baru untuk terus menjalani hari-hari di sini
dengan optimisme yang tinggi.
Yang menjadi sorotan bagiku adalah betapa masyarakat Muslim
di Amerika tetap menjaga keimanan mereka dengan penuh semangat, meski mereka
jauh dari pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini mengajarkan aku untuk tidak
pernah melupakan nilai-nilai agama di manapun berada, apalagi ketika berada di
lingkungan yang mungkin tidak selalu mendukung.
Cahaya lampu dari apartemen terlihat dari kejauhan, dan
Adika mulai tampak lelah setelah berlarian di halaman masjid. Aku tersenyum
melihatnya, bersyukur karena meskipun kami jauh dari rumah, ada tempat-tempat
seperti Islamic Center ini yang memberikan rasa kedamaian dan kenyamanan bagi
kami.
Orang-orang di sini tampaknya cukup terbuka terhadap Islam,
bahkan beberapa yang bukan Muslim pun sering datang ke Islamic Center untuk
bertanya-tanya. Ini salah satu bukti bahwa Islam bisa diterima di mana saja
jika disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Aku merasa bersyukur
bisa menjadi bagian dari komunitas ini, meskipun hanya sementara.
Untuk beberapa saat, aku membiarkan pikiran mengalir,
mengenang masa-masa awal aku tiba di Amerika. Semua tampak asing saat itu, tapi
kini perlahan semuanya mulai terasa lebih akrab. Aku semakin yakin bahwa di
mana pun aku berada, Islam selalu bisa menjadi pegangan yang menuntun langkahku
ke arah yang benar.
Nikmatnya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan
komunitas Muslim yang kuat di Amerika ini membuatku merasa lebih bersyukur.
Meskipun tantangan selalu ada, aku melihat betapa pentingnya peran setiap
individu Muslim dalam menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat yang mungkin belum
sepenuhnya mengenal Islam.
Tantangan yang kuhadapi di Amerika mungkin tidak hanya terkait
pekerjaan, tetapi juga bagaimana aku bisa mempertahankan identitasku sebagai
seorang Muslim. Ini bukan hal yang mudah, tapi dengan dukungan dari komunitas
di sini, aku merasa lebih kuat dan percaya diri untuk terus melangkah.
Rasanya, aku mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman
maghrib kali ini di masjid. Bukan hanya tentang spiritualitas, tetapi juga
tentang bagaimana berinteraksi dengan komunitas baru dan menjaga
prinsip-prinsip Islam di lingkungan yang berbeda. Aku pun berharap, perjalanan
ini akan membawa berkah bagi masa depan keluargaku.
Yang pasti, pertemuan dengan Pak Rahman dan komunitas Muslim
lainnya telah mengajarkanku untuk selalu berpegang teguh pada keimanan, apapun
yang terjadi. Aku pulang dengan hati yang lebih tenang, siap menghadapi
hari-hari berikutnya dengan semangat baru.
No comments:
Post a Comment