"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/26

Cerbung Bagian III: Cahaya Di Negeri Asing

Indah memang suasana senja menjelang Maghrib di kota ini. Tapi sayang isteri dan tiga anakku yang lain belum bisa menemani kami sore ini karena isteriku masih harus menemani anak ketiga di tempat kursusnya. Sementara anak pertama dan kedua sudah mulai bisa mandiri. Tak perlu antar jemput. Waktu Maghrib hampir tiba saat aku dan Adika berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Kami tidak akan sempat pulang tepat waktu, jadi aku memutuskan untuk mencari masjid terdekat. Beruntungnya, hanya beberapa ratus meter dari sini, terdapat sebuah Islamic Center yang besar, tempat umat Islam setempat sering berkumpul. “Kita maghrib di sini aja, ya, Nak,” kataku sambil mengarahkan langkah ke pintu masjid.

Nampaknya masjid ini cukup aktif, terlihat dari banyaknya orang yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah. Ketika kami masuk, suasana tenang langsung menyelimuti, rasa damai menyebar di seluruh ruangan. Kami segera mengambil wudhu dan bersiap di saf terdepan. Di sela-sela waktu menunggu adzan, aku memperhatikan jamaah lain—beberapa wajahnya asing, dengan berbagai latar belakang, tapi semuanya bersatu dalam niat yang sama.

Di akhir shalat Maghrib, seorang pria yang duduk di sebelahku menyapa dengan senyum hangat. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pengurus masjid, sekaligus pimpinan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) cabang Amerika Serikat. "Nama saya Pak Rahman," katanya, memperkenalkan diri. Aku terkejut, tak menyangka bertemu dengan seseorang yang ternyata memimpin organisasi Islam di Amerika. Kami pun berbincang sebentar setelah shalat, saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing di negeri orang.

Orang-orang yang datang ke masjid ini ternyata bukan hanya dari latar belakang warga lokal. Aku bertemu dengan beberapa brothers dari negara-negara Timur Tengah, bahkan ada juga dari Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tengah hingga Afrika. Mereka tampak sangat bersahabat dan ramah. Tidak ketinggalan, ada beberapa bule yang baru saja menjadi mualaf, wajah mereka tampak penuh dengan semangat baru dalam mempelajari Islam. Aku merasa sangat terharu melihat perkembangan Islam di sini.

Nyata bahwa di Amerika, Islam tumbuh dengan wajah yang lebih damai, lebih dikenali sebagai agama yang membawa kebaikan dan bukan ancaman seperti yang sering dipropagandakan oleh segelintir orang di media. Tentu, ini adalah perubahan yang sangat menggembirakan. Pak Rahman bercerita, dalam tiga dekade terakhir, ia telah menyaksikan transformasi besar dalam bagaimana masyarakat Barat memandang Islam. Mereka mulai memahami Islam yang sebenarnya, jauh dari stereotip negatif.

Enak rasanya mendengar cerita tentang Islam di Amerika. Ini membuatku semakin bersyukur atas kesempatan bertemu dengan komunitas Muslim yang kuat dan berkembang. Pak Rahman juga bercerita bagaimana selama 30 tahun ia tinggal di Amerika, setelah menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar, Mesir. "Dulu, saya sekolah di Mualimin Muhammadiyah di Jogja sebelum melanjutkan studi ke Mesir," katanya mengenang masa mudanya. Kisahnya penuh inspirasi dan membuatku kagum akan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Selain menjadi pimpinan PCIM, Pak Rahman juga aktif memberikan ceramah dan pendampingan kepada para mualaf di berbagai kota besar di Amerika. “Islam di sini memang masih minoritas, tapi banyak orang yang tertarik karena melihat kedamaian dan keadilan yang diajarkan Islam,” tambahnya. Ia juga mengatakan bahwa mualaf-mualaf bule itu sering kali datang dengan pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan agama, dan Islam memberikan jawaban yang mereka cari.

Ingatanku melayang pada perjalanan kami sendiri selama tinggal di Amerika. Aku pun menceritakan kepada Pak Rahman bahwa aku sudah empat bulan tinggal di sini, bukan untuk menetap, tetapi untuk menjalankan tugas dari perusahaan. "Saya dipercaya untuk membantu mengembangkan bagian Operations, mulai dari fulfilment, warehousing, sampai last mile delivery," jelasku. "Tapi, kami belum meluncurkan produk secara komersial. Insya Allah dua bulan lagi produk kami akan siap diluncurkan," lanjutku.

Aku merasa senang bisa berbagi cerita dengan komunitas Muslim di sini. Meskipun kami berada jauh dari tanah air, kebersamaan dengan sesama Muslim membuat jarak terasa lebih dekat. Di sela-sela perbincangan, Adika yang awalnya terlihat lelah mulai menunjukkan rasa ingin tahunya dengan bertanya kepada beberapa anak kecil yang juga sedang berada di masjid. Mereka pun mulai bermain di sekitar halaman masjid, berlari-lari kecil sambil tertawa.

Interaksi dengan komunitas Muslim di Amerika ini memberikan pengalaman berharga bagiku. Aku belajar banyak dari cerita Pak Rahman dan jamaah lainnya tentang betapa pentingnya menjaga identitas Muslim di negeri orang. Selain itu, aku juga merasa lebih termotivasi untuk menjalankan tugas pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, sembari tetap menjaga prinsip-prinsip Islam dalam setiap langkah yang kuambil.

Setelah obrolan yang cukup panjang, kami pun berpisah. Pak Rahman menyarankan agar aku ikut aktif dalam kegiatan masjid ini, terutama dalam mendukung perkembangan dakwah Islam di Amerika. "Kita butuh lebih banyak orang yang siap memimpin dan berbagi ilmu di sini," katanya. Aku mengangguk setuju, meskipun aku tahu waktuku di sini terbatas karena tanggung jawab pekerjaan. Tapi, aku berjanji akan mencoba terlibat lebih banyak selama aku masih di Amerika.

Malam semakin larut saat kami berjalan pulang ke apartemen. Di jalan, aku masih memikirkan perbincangan tadi. Ternyata, Islam di Amerika berkembang jauh lebih baik daripada yang kubayangkan sebelumnya. Banyak yang mulai memahami nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih positif dan damai. Rasanya, aku mendapatkan kekuatan baru untuk terus menjalani hari-hari di sini dengan optimisme yang tinggi.

Yang menjadi sorotan bagiku adalah betapa masyarakat Muslim di Amerika tetap menjaga keimanan mereka dengan penuh semangat, meski mereka jauh dari pusat-pusat peradaban Islam. Hal ini mengajarkan aku untuk tidak pernah melupakan nilai-nilai agama di manapun berada, apalagi ketika berada di lingkungan yang mungkin tidak selalu mendukung.

Cahaya lampu dari apartemen terlihat dari kejauhan, dan Adika mulai tampak lelah setelah berlarian di halaman masjid. Aku tersenyum melihatnya, bersyukur karena meskipun kami jauh dari rumah, ada tempat-tempat seperti Islamic Center ini yang memberikan rasa kedamaian dan kenyamanan bagi kami.

Orang-orang di sini tampaknya cukup terbuka terhadap Islam, bahkan beberapa yang bukan Muslim pun sering datang ke Islamic Center untuk bertanya-tanya. Ini salah satu bukti bahwa Islam bisa diterima di mana saja jika disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Aku merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari komunitas ini, meskipun hanya sementara.

Untuk beberapa saat, aku membiarkan pikiran mengalir, mengenang masa-masa awal aku tiba di Amerika. Semua tampak asing saat itu, tapi kini perlahan semuanya mulai terasa lebih akrab. Aku semakin yakin bahwa di mana pun aku berada, Islam selalu bisa menjadi pegangan yang menuntun langkahku ke arah yang benar.

Nikmatnya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan komunitas Muslim yang kuat di Amerika ini membuatku merasa lebih bersyukur. Meskipun tantangan selalu ada, aku melihat betapa pentingnya peran setiap individu Muslim dalam menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat yang mungkin belum sepenuhnya mengenal Islam.

Tantangan yang kuhadapi di Amerika mungkin tidak hanya terkait pekerjaan, tetapi juga bagaimana aku bisa mempertahankan identitasku sebagai seorang Muslim. Ini bukan hal yang mudah, tapi dengan dukungan dari komunitas di sini, aku merasa lebih kuat dan percaya diri untuk terus melangkah.

Rasanya, aku mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman maghrib kali ini di masjid. Bukan hanya tentang spiritualitas, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan komunitas baru dan menjaga prinsip-prinsip Islam di lingkungan yang berbeda. Aku pun berharap, perjalanan ini akan membawa berkah bagi masa depan keluargaku.

Yang pasti, pertemuan dengan Pak Rahman dan komunitas Muslim lainnya telah mengajarkanku untuk selalu berpegang teguh pada keimanan, apapun yang terjadi. Aku pulang dengan hati yang lebih tenang, siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat baru.

No comments:

Post a Comment