Ustadz Rahman menyambutku dengan senyuman
penuh ketulusan. Di sini, di balik tembok penjara ini, ia memikul tugas mulia:
menjadi cahaya kecil yang menuntun para tahanan menuju jalan kebenaran. “Lapas
ini adalah dunia yang keras, tapi hati manusia selalu punya ruang untuk
cahaya,” katanya sambil berjalan di sampingku. Kami melewati beberapa sel yang
dijaga ketat, di mana suara langkah kaki terdengar jelas menggema.
Hari ini, Ustadz Rahman akan memberikan
bimbingan rohani seperti biasa. Bersama para agamawan dari berbagai keyakinan,
mereka rutin bertemu dengan para tahanan, terutama mereka yang terlibat kasus
berat seperti pembunuhan dan narkoba. Di ruangan kecil penuh cahaya matahari
yang menyelinap dari jendela jeruji, para tahanan mulai berkumpul. Di sini,
waktu terasa lambat, tapi kehidupan terus berjalan.
Aku memperhatikan dari kejauhan saat Ustadz
Rahman berbicara dengan seorang tahanan yang sedang duduk di sudut ruangan.
Mereka terlihat tenggelam dalam percakapan mendalam. "Ini Abdoel,"
bisik Ustadz Rahman ketika memperkenalkannya kepadaku nanti. Abdoel adalah
salah satu tahanan yang rajin menjalankan shalat di tengah ruangan selnya.
Bagiku, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meski di baliknya
tersimpan beban masa lalu yang kelam.
Melalui percakapan dengan Abdoel, Ustadz
Rahman mengetahui lebih banyak tentang Joel dan Jaloe, dua sosok yang saat ini
sedang menunggu vonis mereka dibacakan setelah beberapa pekan persidangan ke
depan. Abdoel bercerita dengan tenang, seperti seorang sahabat yang mengenal
karakter keduanya. "Mereka bersaudara," ucap Abdoel pelan, "tapi
beda sekali. Joel itu keras kepala, merasa dirinya tak bisa dikalahkan oleh
apapun. Sedangkan Jaloe, lebih tenang, seperti orang yang sedang mencari
jawaban."
Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba
membayangkan kehidupan di balik tembok ini. Joel yang sudah hampir 38 tahun,
tampak mendominasi adiknya dengan kepribadian kuat dan tak kenal kompromi.
Sementara Jaloe yang masih 28 tahun, menyimpan kebisuan yang penuh tanda tanya.
Kata Abdoel, beberapa kali Jaloe terlihat memerhatikan ketika ia shalat.
Tatapan itu bukan tatapan kosong, melainkan tatapan seseorang yang sedang
berusaha memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Di ruang tahanan ini, waktu menjadi guru yang
paling tegas. Namun, bagi Joel, waktu seolah tak berarti. Ia tak pernah
mendengar khutbah atau ceramah agama yang disampaikan agamawan. "Dia merasa
semua ini sia-sia," ujar Abdoel. “Dia hanya ingin keluar dari sini dan
melanjutkan hidup seperti dulu.” Namun, hidup seperti dulu bukanlah jalan yang
tersedia baginya. Kegelapan yang ia pilih mungkin akan menghantui langkahnya
selamanya.
Sementara itu, Jaloe adalah cerita yang
berbeda. Di balik ketenangannya, ada percikan harapan yang tumbuh. Abdoel bisa
merasakannya. “Jaloe pernah bertanya kepadaku tentang doa. Dia ingin tahu,
apakah doa bisa mengubah nasib seseorang?” Abdoel bercerita sambil menundukkan
kepala, seolah kata-kata Jaloe itu membekas dalam benaknya. Jaloe adalah seseorang
yang sedang berjuang mencari makna hidup, bahkan di tempat yang paling gelap
sekalipun.
Ada rasa iba yang menyelinap dalam dadaku,
memikirkan dua saudara ini. Meski bersaudara, mereka begitu berbeda. Joel yang
keras dan tak mau kalah, mungkin belum menyadari bahwa kemenangan sejati
bukanlah soal siapa yang bertahan paling kuat, tapi siapa yang menemukan
kedamaian dalam dirinya. Jaloe, di sisi lain, tampak seperti seseorang yang
sedang berada di ambang perubahan besar, meskipun masih dilingkupi kebisuan.
Waktu terus berjalan di dalam lembaga
pemasyarakatan ini, tapi Joel dan Jaloe tetap menunggu vonis yang akan segera
dibacakan. Hukuman 20 tahun penjara sudah menanti mereka. Namun, lebih dari
itu, mungkin yang sedang menunggu adalah takdir yang lebih besar. Joel mungkin
akan terus bergulat dengan kemarahannya, sementara Jaloe perlahan meraba-raba
jalan menuju penemuan spiritual yang ia dambakan.
Seperti yang
dikatakan Ustadz Rahman, penjara ini adalah tempat di mana banyak orang
terjebak dalam kegelapan, tetapi juga tempat di mana cahaya bisa menemukan
jalan masuk, meski melalui celah-celah kecil. Aku pun teringat pada sebuah
kutipan lama yang pernah kudengar, “Kadang-kadang, kita harus tersesat dulu
sebelum bisa menemukan jalan pulang.” Joel dan Jaloe, bagaimanapun, sedang
menjalani perjalanan mereka masing-masing, dan hanya waktu yang akan menjawab
ke mana perjalanan itu akan membawa mereka.
Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan
ruang bimbingan rohani dengan hati yang penuh renungan. Di luar sana, kebebasan
tampak begitu jelas, tapi di balik tembok ini, ada kehidupan yang terus
berjuang mencari arti. Ustadz Rahman memandangku dan tersenyum tipis, seolah ia
tahu apa yang sedang kupikirkan. “Setiap jiwa punya jalannya sendiri untuk
pulang,” ucapnya lembut. Aku pun mengangguk, merasakan makna mendalam dari
kata-katanya.
No comments:
Post a Comment