"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/26

Cerbung Bagian IV: Cahaya Di Balik Jeruji

Menjelang siang yang berangin dingin, langkahku terasa berat memasuki lembaga pemasyarakatan itu. Aku mengenakan masker, menutupi sebagian wajahku. Itu bagian dari prosedur lapas, demi ‘keamanan’ pengunjung luar seperti diriku. Suara pintu besi yang berderit, suasana suram di lorong panjang dengan penjagaan ketat, semua terasa asing bagiku. Namun, ada satu hal yang membuatku tetap tenang: pertemuanku dengan Ustadz Rahman di Islamic Center beberapa waktu lalu. Hari ini, ia menunggu di dalam, mengajakku untuk melihat sendiri bagaimana bimbingan rohani diberikan kepada para tahanan, termasuk Joel dan Jaloe, yang beberapa hari lalu nyaris mengubah hidupku.

Ustadz Rahman menyambutku dengan senyuman penuh ketulusan. Di sini, di balik tembok penjara ini, ia memikul tugas mulia: menjadi cahaya kecil yang menuntun para tahanan menuju jalan kebenaran. “Lapas ini adalah dunia yang keras, tapi hati manusia selalu punya ruang untuk cahaya,” katanya sambil berjalan di sampingku. Kami melewati beberapa sel yang dijaga ketat, di mana suara langkah kaki terdengar jelas menggema.

Hari ini, Ustadz Rahman akan memberikan bimbingan rohani seperti biasa. Bersama para agamawan dari berbagai keyakinan, mereka rutin bertemu dengan para tahanan, terutama mereka yang terlibat kasus berat seperti pembunuhan dan narkoba. Di ruangan kecil penuh cahaya matahari yang menyelinap dari jendela jeruji, para tahanan mulai berkumpul. Di sini, waktu terasa lambat, tapi kehidupan terus berjalan.

Aku memperhatikan dari kejauhan saat Ustadz Rahman berbicara dengan seorang tahanan yang sedang duduk di sudut ruangan. Mereka terlihat tenggelam dalam percakapan mendalam. "Ini Abdoel," bisik Ustadz Rahman ketika memperkenalkannya kepadaku nanti. Abdoel adalah salah satu tahanan yang rajin menjalankan shalat di tengah ruangan selnya. Bagiku, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meski di baliknya tersimpan beban masa lalu yang kelam.

Melalui percakapan dengan Abdoel, Ustadz Rahman mengetahui lebih banyak tentang Joel dan Jaloe, dua sosok yang saat ini sedang menunggu vonis mereka dibacakan setelah beberapa pekan persidangan ke depan. Abdoel bercerita dengan tenang, seperti seorang sahabat yang mengenal karakter keduanya. "Mereka bersaudara," ucap Abdoel pelan, "tapi beda sekali. Joel itu keras kepala, merasa dirinya tak bisa dikalahkan oleh apapun. Sedangkan Jaloe, lebih tenang, seperti orang yang sedang mencari jawaban."

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan kehidupan di balik tembok ini. Joel yang sudah hampir 38 tahun, tampak mendominasi adiknya dengan kepribadian kuat dan tak kenal kompromi. Sementara Jaloe yang masih 28 tahun, menyimpan kebisuan yang penuh tanda tanya. Kata Abdoel, beberapa kali Jaloe terlihat memerhatikan ketika ia shalat. Tatapan itu bukan tatapan kosong, melainkan tatapan seseorang yang sedang berusaha memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Di ruang tahanan ini, waktu menjadi guru yang paling tegas. Namun, bagi Joel, waktu seolah tak berarti. Ia tak pernah mendengar khutbah atau ceramah agama yang disampaikan agamawan. "Dia merasa semua ini sia-sia," ujar Abdoel. “Dia hanya ingin keluar dari sini dan melanjutkan hidup seperti dulu.” Namun, hidup seperti dulu bukanlah jalan yang tersedia baginya. Kegelapan yang ia pilih mungkin akan menghantui langkahnya selamanya.

Sementara itu, Jaloe adalah cerita yang berbeda. Di balik ketenangannya, ada percikan harapan yang tumbuh. Abdoel bisa merasakannya. “Jaloe pernah bertanya kepadaku tentang doa. Dia ingin tahu, apakah doa bisa mengubah nasib seseorang?” Abdoel bercerita sambil menundukkan kepala, seolah kata-kata Jaloe itu membekas dalam benaknya. Jaloe adalah seseorang yang sedang berjuang mencari makna hidup, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.

Ada rasa iba yang menyelinap dalam dadaku, memikirkan dua saudara ini. Meski bersaudara, mereka begitu berbeda. Joel yang keras dan tak mau kalah, mungkin belum menyadari bahwa kemenangan sejati bukanlah soal siapa yang bertahan paling kuat, tapi siapa yang menemukan kedamaian dalam dirinya. Jaloe, di sisi lain, tampak seperti seseorang yang sedang berada di ambang perubahan besar, meskipun masih dilingkupi kebisuan.

Waktu terus berjalan di dalam lembaga pemasyarakatan ini, tapi Joel dan Jaloe tetap menunggu vonis yang akan segera dibacakan. Hukuman 20 tahun penjara sudah menanti mereka. Namun, lebih dari itu, mungkin yang sedang menunggu adalah takdir yang lebih besar. Joel mungkin akan terus bergulat dengan kemarahannya, sementara Jaloe perlahan meraba-raba jalan menuju penemuan spiritual yang ia dambakan.

Seperti yang dikatakan Ustadz Rahman, penjara ini adalah tempat di mana banyak orang terjebak dalam kegelapan, tetapi juga tempat di mana cahaya bisa menemukan jalan masuk, meski melalui celah-celah kecil. Aku pun teringat pada sebuah kutipan lama yang pernah kudengar, “Kadang-kadang, kita harus tersesat dulu sebelum bisa menemukan jalan pulang.” Joel dan Jaloe, bagaimanapun, sedang menjalani perjalanan mereka masing-masing, dan hanya waktu yang akan menjawab ke mana perjalanan itu akan membawa mereka.

Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruang bimbingan rohani dengan hati yang penuh renungan. Di luar sana, kebebasan tampak begitu jelas, tapi di balik tembok ini, ada kehidupan yang terus berjuang mencari arti. Ustadz Rahman memandangku dan tersenyum tipis, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. “Setiap jiwa punya jalannya sendiri untuk pulang,” ucapnya lembut. Aku pun mengangguk, merasakan makna mendalam dari kata-katanya.


No comments:

Post a Comment