"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/26

Cerbung Bagian II: Jejak Gelap Di Ujung Senja

Fajar baru dua hari setelah insiden di bengkel itu membawa ketenangan, namun aku masih sering memikirkan kejadian tersebut. Saat ini, aku baru saja menjemput Adika dari tempat les bahasa Inggris. Sore itu terasa sedikit berbeda, mungkin karena sisa-sisa ketegangan masih tersisa dalam pikiranku. Aku menatap Adika, ia berjalan dengan ceria, tidak ada tanda-tanda trauma atau ketakutan dari kejadian itu. Untung saja, dia masih terlalu muda untuk benar-benar memahami situasi yang kami alami.

Entah kenapa, pikiranku terbang ke sosok Morgan Freeman. Seperti bayangan yang terus menghantuiku sejak insiden itu. Tak pernah terbayangkan bahwa seorang aktor besar akan menjadi bagian dari hidup kami, meski hanya dalam waktu yang singkat. Dari tempat les, kami berjalan menuju bus stop, melewati pertigaan yang dihiasi dengan lampu-lampu kecil dari kafe di sudut jalan.

Rupanya, Tuhan punya rencana lain sore itu. Di meja pinggir trotoar kafe, duduklah sosok tinggi besar itu, Freeman, yang sedang memandang ke arah jalan dengan tatapan tenang. Mata kami bertemu, dan ia tersenyum ramah, melambaikan tangan seolah mengajak kami bergabung. Aku sedikit terkejut, tapi mengingat kebaikannya waktu itu, aku tak bisa menolak.

Ia mengundang kami duduk bersamanya di kafe kecil itu. Kami memesan hot chocolate untuk menghangatkan sore, sementara Adika mencoba Graham Cracker untuk pertama kalinya. "Enak ya?" tanyaku pada Adika yang mengangguk penuh semangat. Freeman tersenyum melihat keakraban kami, namun ada sesuatu dalam matanya yang tampak memikirkan hal lain.

Suasana kafe itu tenang, hanya suara percakapan kecil dan alunan musik pelan yang menemani. Dalam obrolan ringan, Freeman mulai membuka sedikit cerita tentang Joel dan Jaloe. "Mereka dulu bekerja di bengkelku," katanya pelan. "Kami pernah dekat, seperti keluarga. Tapi semuanya berubah setelah kematian orang tua mereka." Freeman berhenti sejenak, matanya melihat jauh ke depan, seolah mengingat masa-masa yang sulit.

Untuk sesaat, aku merasa ada rahasia besar di balik hubungan mereka. Tapi aku tak ingin memaksanya untuk bercerita lebih banyak. Terlihat jelas bahwa ini bukan topik yang mudah baginya. "Ada masalah yang belum selesai di antara kami," ia melanjutkan. "Tapi mungkin suatu saat nanti, aku bisa memperbaikinya." Aku mengangguk, mencoba memahami perasaan Freeman tanpa terlalu banyak bertanya.

Sungguh, aku masih heran melihat bagaimana warga sekitar tampak tak peduli dengan kehadiran seorang aktor terkenal seperti Freeman. Mereka berjalan melewati kafe seolah tidak ada hal yang spesial di sana. Mungkin, mereka sudah terbiasa dengan hal-hal luar biasa di kota ini, atau mungkin mereka hanya menghargai privasi seseorang lebih dari yang kubayangkan.

Aku sendiri, harus kuakui, agak canggung duduk bersama orang terkenal seperti Freeman. Ada dorongan untuk mengambil foto selfie atau sekadar meminta tanda tangan, tapi gengsi membuatku menahan diri. Aku tak ingin terlihat norak di depannya, meskipun sebenarnya aku sangat ingin menyimpan kenangan ini.

Namun, keakraban kami sore itu membuatku merasa bahwa mungkin Freeman hanya ingin menjalani hidup seperti orang biasa. Ia tampak menikmati suasana tenang kafe, minuman hangat, dan percakapan sederhana. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu, meski jelas ada banyak cerita di balik matanya yang tenang.

Tiba-tiba, Adika bertanya padaku, “Ayah, kenapa Om Freeman tidak tinggal di bengkel lagi?” Aku tersenyum kecil, pertanyaan polos dari seorang anak yang belum mengerti kompleksitas kehidupan orang dewasa. Freeman hanya tertawa kecil mendengarnya, lalu menjawab, “Kadang, Adika, kita harus pergi dari tempat lama untuk mencari yang baru.”

Omongan itu membuatku berpikir. Mungkin Freeman juga sedang berusaha melarikan diri dari masa lalunya, seperti kami yang berusaha memulai hidup baru di tempat ini. Ada persamaan yang aneh antara kehidupan kami dan sosok besar ini, meskipun dari luar kami tampak sangat berbeda.

Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, aku merasa waktu kami di kafe itu akan segera berakhir. Freeman tampak lebih tenang sekarang, mungkin karena ia merasa ada tempat aman di mana ia bisa berbagi cerita, meski hanya sedikit. Adika, yang mulai mengantuk, bersandar di pundakku. "Terima kasih sudah menemani saya sore ini," ucap Freeman sambil tersenyum tulus.

Sebelum kami beranjak, Freeman berpesan padaku, “Hati-hati dengan Joel dan Jaloe. Meskipun mereka ditahan, dendam mereka belum selesai.” Peringatan itu membuatku merinding. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa cemas atau percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi satu hal yang pasti, hidup kami tak akan sama setelah ini.

Malam itu, saat kami pulang, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dunia yang kupikir sederhana ternyata jauh lebih rumit, terutama dengan kehadiran orang-orang seperti Freeman, Joel, dan Jaloe. Adika tertidur di pundakku, dan aku berharap dia bisa terus menikmati masa kecilnya tanpa harus terlibat lebih jauh dalam hal-hal yang belum waktunya dia pahami.

Mungkin, suatu saat nanti aku akan tahu lebih banyak tentang cerita di balik Freeman dan masa lalunya. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa berusaha menjaga keselamatan kami, sambil berharap bahwa pertemuan ini tidak membawa lebih banyak masalah di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment