"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


Showing posts with label Leadership. Show all posts
Showing posts with label Leadership. Show all posts

2021/10/07

EFISIENSI BIAYA OPERASIONAL CS

Dalam Whatsapp group Indonesia Contact Center Association (ICCA), pak Andi Anugrah, selaku ICCA Chairman yang juga Admin di group melempar sebuah diskusi lewat tulisan regularnya setiap pagi yang diberi tajuk #celotehpagi. Judul tulisannya pagi ini adalah 'Berfikir Kritis'. Maksud dari judul tersebut tampaknya adalah terkait 'tantangannya' pada para CS Manager yang ikut berlomba di ajang tahunan yang dihelat oleh ICCA. Ajang itu adalah The Best Contact Center Indonesia 2021. 

Kembali pada tulisannya, pak Andi membuka tulisannya dengan pertanyaan berikut:

Salah satu pertanyaan yang kami ajukan pada saat lomba individual adalah mengenai efisiensi biaya operasional. Dalam pertanyaan moderator tersebut menyebutkan “Sebagai Manager Contact Center terbaik, Jika anda diminta melakukan efisiensi biaya operasional. Pilih tindakan yang akan anda lakukan, apakah Mengurangi jumlah Agent Atau Menyediakan Layanan Digital ? Jelaskan 3 alasan dari pilihan tersebut ?”

Jika anda dalam posisi tersebut, yang mana yang akan menjadi prioritas anda ? Apakah mengurangi jumlah agent atau menyediakan layanan digital ? Coba anda jelaskan tanpa menghubungkan keduanya atau coba anda jelaskan dengan menggunakan data-data yang mendukung.  Coba anda jelaskan dengan memperhatikan risiko dan proses pengembangan yang harus dilakukan.

---
Pada artikel singkat ini saya tidak sedang mencoba pertanyaan pak Andi. Ini hanya sekedar memberikan satu perspektif tentang apa yang ingin didiskusikan pada tulisan di atas.

Begini komentar saya dalam WAG tersebut:

Sungguh menarik pertanyaan moderatornya ya pak Andi. 😊

Terasa menantang terutama pada dua pilihan yang disediakan: (1) Mengurangi jumlah Agent Atau (2) Menyediakan Layanan Digital?

Terkait pilihan nomor 2, di era sekarang yg serba digital, kebutuhan akan digital touch point adalah sebuah keniscayaan, kalau tak disebut sebagai keharusan. Maka ia sesungguhnya tak hanya semata terkait pada efisiensi biaya operasional. Mau mahal pun, ketika dalam kancah kompetisi mengharuskan perusahaan memiliki layanan digital, mau gak mau harus dilakukan. Apalagi ketika layanan digital itu telah menjadi kebutuhan dasar atau hygiene factor dari customer need zaman now. Bisa jadi dengan disediakannya layanan digital yang komprehensif, perusahaan perlu menyediakan system/tool/platform digital yang cukup costly. Tapi di ujung, akan bisa diprediksi seperti apa cost per contact (CPC) atau dalam komparasi yang lebih luas lagi adalah cost per subsriber / cost per customer. Setelah customers teredukasi dengan layanan digital sangat mungkin kebutuhan mereka untuk menghubungi CS ~slowly but sure~ akan berkurang. Ini pertanda baik bagi efisiensi.

Adapun pada pilihan yang pertama, itu perlu dilakukan ketika perhitungannya menunjukkan bahwa memang terjadi overstaffing. Kelebihan orang. Kalau ternyata kondisi jumlah orangnya pas-pasan, atau mungkin cenderung kurang orang, maka tentu saja pengurangan jumlah karyawan bukanlah keputusan yang tepat. Alih-alih untuk efisiensi biaya operasional, dengan mengurangi jumlah agent nanti bisa menyebabkan factorof easiness to access-nya CS jadi NOL. Itu akan jadi bumerang dan bow waktu bagi perusahaan. Hanya menunggu waktu untuk melihat customers hengkang ke kompetitor.

Untuk tetap memenuhi keinginan top manajemen dalam hal efisiensi biaya operasional yang sangat penting dilakukan adalah 'mengurangi contact per subscribers'. Harus diupayakan bahwa customer tidak merasa perlu menghubungi CS karena mereka sudah teredukasi dengan baik dan jelas di laman FAQ, dan layanan self service yang tersedia. Untuk itu CS manager harus kolaborasi dengan beberapa stakeholders: 

(1) Dengan team produk; Pastikan di setiap titik dari Customer Journey adalah frictionless experience. Sehingga komplain berkurang. 

(2) Dengan team engineering; Resolve semua paint points yang ada dengan tindakan preventif untuk paint points serupa di masa y.a.d. Sehingga mass complaint dapat diantisipasi.

(3) Dengan team marketing/Content writing; Revamping FAQ. Buat laman FAQ yang benar-benar edukatif. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti. Akan lebih keren jika disertai dengan animasi 'how to'-nya. Sehingga pertanyaan umum yang berulang tidak perlu ditanya lagi oleh customers.

(4) Dengan team Helpdesk; Pastikan SOP eskalasi berjalan sesuai yang disepakati. Time to Resolve-nya harus terjaga. Dengan kejelasan SLA per tiket ini membuat pelanggan tidak menghubungi CS terus-terusan untuk cek progress komplainnya. Sehingga repeated tickets dapat dihilangkan.

Ketika empat inisiatif di atas dilakukan dengan ketat, percayalah jumlah tiket/kontak akan berkurang signifikan. Dengan sendirinya nanti akan terjadi overstaffing, disanalah seorang CS Manager dapat melakukan pengurangan karyawan dengan alasan yang sangat reasonable. Dalam hal melakukan pengurangan karyawan, perlu dilakukan dengan standar dan ukuran yang tepat, sehingga yang tersisa adalah benar-benar karyawan berprofuktifitas tinggi saja, sebagai hasilnya akan didapatkan efisiensi biaya operasional yang mencengangkan! :)

Just my2cent:)

2017/08/19

APA ITU PERILAKU ORGANISASI?

Perilaku Organisasi menurut Stephen P. Robbins adalah bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan tujuan mengaplikasikan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki efektivitas organisasi. Robbins menjelaskan bahwa perilaku organisasi adalah studi yang mengambil pandangan mikro – memberi tekanan pada individu-individu dan kelompok-kelompok kecil. 
picture is powered by google

Perilaku organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di dalam organisasi dan seperangkat prestasi dan variabel mengenai sikap yang sempit dari para pegawai, dan kepuasan kerja adalah yang banyak diperhatikan. Topik-topik mengenai perilaku individu, yang secara khas dipelajari dalam perilaku organisasi adalah persepsi, nilai-nilai, pengetahuan, motivasi, serta kepribadian. Termasuk di dalam topik mengenai kelompok adalah peran, status kepemimpinan, komunikasi, dan konflik. Perilaku organisasi memandang masalah organisasi adalah masalah manusia. Dengan demikian inti dan determinan studi perilaku organisasi adalah tentang manusia. 
Tujuan studi perilaku organisasi pada dasarnya ada tiga, yaitu menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan perilaku manusia. 
1. Menjelaskan perilaku manusia
Artinya adalah kajian perilaku organisasi berusaha untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab perilaku seseorang atau kelompok. Penjelasan fenomena dalam manajemen merupakan hal yang penting karena membantu para manajer (atasan) dalam membuat sebuah keputusan, proyek atau sasaran kelompok. 
Contoh di tempat kerja: Dalam pembuatan sebuah proyek lintas departemen, manajemen Zalora selalu mencarikan orang yang pas untuk setiap posisinya. Pencarian orang yang pas ini bisa menjadi lebih mudah ketika manajemen sudah mengetahui ‘mapping’ perilaku setiap individu yang terlibat dalam organisasi. Melalui penjelasan perilaku manusia, manajemen dapat mengetahui ‘siapa’ akan bertindak ‘apa’ sehingga pencarian ‘orang yang pas’ untuk suatu proyek yang dimaksud bisa menjadi lebih mudah dilakukan. 
2. Meramalkan perilaku manusia 
Berarti studi perilaku organisasi ini dapat membantu memprediksi kejadian atau fenomena organisasi di masa yang akan datang. Pengetahuan terhadap faktor-faktor penyebab munculnya perilaku individu atau kelompok membantu manajer meramalkan akibat-akibat dari suatu program atau kebijakan organisasi. 
Contoh: Agak mirip dengan poin 1 di atas, namun ini biasanya berlaku untuk sebuah aturan atau kebijakan baru yang akan diluncurkan. Manajemen menjadi sangat terbantu dalam pembuatan keputusan atau kebijakan karena sudah dapat memprediksi respon yang akan diberikan oleh karyawan. Mekanismenya, biasanya top manajemen akan mengumpulkan seluruh ‘head of departments’ termasuk head of HR untuk dimintai pendapatnya tentang apa kira-kira respon dari karyawan ketika keputusan/kebijakan baru diluncurkan. Head of departments sudah menyimpan data-data perilaku setiap karyawan yang didapat berdasarkan observasi sebelumnya.
3. Mengendalikan perilaku manusia 
Artinya bahwa kajian perilaku organisasi ini dapat menyediakan berbagai strategi dalam mengarahkan perilaku individu atau kelompok. Di antara strategi yang dapat dilaksanakan diantaranya adalah strategi kepemimpinan, motivasi dan pengembangan tim kerja yang efektif. 

Contoh: Untuk memastikan bahwa perilaku manusia dalam organisasi tetap baik, disiplin dan.’comply’ pada aturan, diberlakukan sebuah reward and punishment system. Melalui pendekatan ini terbukti perilaku manusia lebih mudah untuk dikendalikan. Bagi yang berperilaku sesuai dengan aturan organisasi dan well performed akan mendapatkan reward, sebaliknya bagi yang berperilaku tidak baik akan dikenakan ‘punishment’ yang sebelumnya sudah disepakati oleh semua pihak, termasuk oleh karyawan sendiri. Agar system reward and punishment ini dapat berjalan dengan efektif, top manajemen selalu melakukan ‘reminding’ kepada semua karyawan di setiap ‘town-hall’ atau gathering semua karyawan setiap bulannya. Puncaknya, dalam siklus tahunan, akan diberikan feedback report kepada setiap karyawan dalam bentuk annual performance report.


2014/06/17

Kuat Mental!


Untuk menjadi orang ‘besar’, apalagi sampai sekaliber presiden (atau calon presiden seperti Prabowo dan Jokowi) itu memanglah butuh ketahanan mental yang luar biasa. Tidak cukup mental yang biasa saja. Harus luar biasa. Betapa tidak? Coba perhatikan. Dalam masa kampanye ini, setiap hari omongan masyarakat terus tertuju kepada mereka. Mulai dari ‘omongan’ yang positif hingga negatif. Mulai dari pujian hingga tuduhan, cemoohan, sindiran, bahkan fitnah. Mereka tidak terpengaruh. Mereka tetap tegak berdiri.

Sebagai contoh, lihat misalnya Prabowo. Setiap hari kita temukan di banyak media (utamanya jejaring media sosial) tulisan yang begitu ‘menyudutkan dan tendensius’. Mulai dari issu pelanggaran HAM berat, cercaan sebagai jenderal psikopat, antek Orde Baru, anti Cina, melindungi koruptor, hingga kenyinyiran orang akan ‘kegagalannya’ dalam berkeluarga adalah diantara ‘tuduhan-tuduhan’ itu. Namun Prabowo bergeming. Mentalnya memang luar biasa.

Atau lihat juga Jokowi misalnya. Banyak yang menuduhnya sebagai anak yang tidak jelas siapa bapaknya, diragukan keislamannya, capres boneka, mencla-mencle, dikendalikan jenderal bermasalah, petugas partai, prestasi palsu, menipu dengan pencitraan, dll. Namun Jokowi bergeming. Beliau bisa mengabaikan itu semua. Semua ‘omongan’ orang itu tidak dipedulikan. Yang penting, tetap maju. Tetap bertahan ditengah badai ‘tuduhan’ itu. Mentalnya juga luar biasa.

Setidaknya itu yang kita lihat dari penampakan luar mereka. Tampak masih sehat dan bahagia dengan segala kondisinya.

Apa yang terjadi jika capres-capres ini tidak kuat mental? Bisa-bisa stress. Bisa-bisa depresi. Tapi itu tidak terjadi kepada mereka. Hebat!

Nah kalau Anda juga ingin menjadi orang besar seperti mereka dalam hal mental, mulailah latih diri Anda dari sekarang. Indikasi keberhasilan dari latihan mental ini sederhana saja. Coba cek diri Anda, kalau masih mudah tersinggung dan menjadi begitu reaksioner hanya karena perkataan orang lain, itu artinya Anda masih harus belajar banyak kepada mereka. Kalau Anda begitu reaksionernya ketika ada yang menyudutkan ‘jagoan’ Anda melalui ‘perang status’ di jejaring media sosial ini, artinya Anda tidak belajar banyak dari jagoan Anda itu. J
 
Selamat berlatih mental… 
 --
Temukan juga disini

2014/06/16

Catatan Debat Dedua; 15 Juni 2014

EMPATI dan simpati saya untuk Joko Widodo. Dia tidak suka meninggi, tapi diminta untuk berani memperlihatkan prestasi. Dia orang yang apa adanya, tapi diminta untuk tampil serba bisa. Dia tidak suka menyerang, tapi diminta untuk ‘menembak’ lawan.

Dia didorong-dorong untuk tampil bukan sebagai Joko Widodo, tapi sebagai sesosok yang diiinginkan oleh tim pemolesnya. Walhasil, pemirsa melihat tampilan yang dipaksakan. Apakah orang-orang tidak melihat Jokowi tertekan?

Bukan tertekan oleh Prabowo, tapi oleh pihak-pihak yang menyeret-nyeretnya jadi capres.

Jokowi ‘diharuskan’ untuk tidak ragu untuk menunjukkan prestasinya. Maka berkali-kali ia berungkap ‘ini sudah saya buktikan ketika saya menjadi walikota, ketika menjadi gubernur’.

Ungkapan-ungkapannya, ‘Itu gampang. Tidak ada masalah’, sebetulnya usaha meyakinkan diri. Semacam kata-kata sugesti, begitu. Tapi tentu saja jadi terdengar naïf dan dipaksakan.

Ia pun harus berulang-ulang menyebut dan menunjukkan kartu sehat dan kartu pintar yang dia bawa di saku jasnya. Tapi, untuk keperluan presentasi, kartu itu terlalu kecil untuk bisa dilihat secara jelas. Dan karena itu sebetulnya tak perlu dia tunjukkan berkali-kali.

Jokowi menyampaikan programnya tentang kartu sehat, kartu pintar, tol laut, mengembangkan PKL dan pasar tradisional. Saking ingin meyakinkan publik, Jokowi lupa menjelaskan aspek yang paling inti dari itu semua: Darimana duitnya? Dari APBN.

Tapi APBN-nya defisit. ‘Gampang. Tak ada masalah’. Tapi ternyata menjelaskan gampangnya itu tak gampang. Dan tak gampang pula difahami pemirsa. Mencapai pertumbuhan 7persen pada saat resesi dunia, yang tumbuh hanya 3persen, ‘gampang’, ‘Ga ada masalah’.

Perizinan usaha dan investasi di daerah dan pusat harus dipercepat, dengan layanan online. Tapi ketika ditanya bagaimana menghadapi ASEAN Economic Community yang sudah disetujui Indonesia, Jokowi bilang perizinan harus diperketat. Jangan ‘gampang’ mengeluarkan izin.

Tapi jangan salahkan Jokowi. Dia sudah berusaha tampil sebatas – bahkan melebihi – kemampuannya.

Tak arif untuk membandingkannya dengan Prabowo, yang tampil penuh sebagai dirinya sendiri, dengan kejelasan logika. Sama, Prabowo juga mengatakan perlu membangun ini-itu, dengan tujuan mendorong perkonomian Indonesia secara cepat. Dari mana duitnya? Dari kebocoran anggaran negara sebesar 7200 trilyun pertahun! Angkanya sangat absah karena bersumber dari KPK. Dengan menutup kebocoran 1000 trilyun rupiah saja, Prabowo memperlihatkan target-targetnya sangat realistis.

Empati dan simpati saya untuk Jokowi. Para pendukungnya mengelu-elukannya, menyemangatinya, tapi sebenarnya mereka sedang menekan dan memaksa Jokowi tampil di luar kemampuannya.

Sikap pendukung seperti inilah, yang juga sifat sebagian pendukung Prabowo, yang sering jadi masalah dalam politik Indonesia, baik bila calonnya menang atau kalah.

Kalau menang, mereka akan merasa jadi kelompok penguasa yang menyingkirkan pihak lain yang tak sejalan. Kalau kalah, mereka akan sulit menerima, dan akan mencari-cari alasan bahwa pihak mereka telah dicurangi. Dan karena itu menggugat, menuntut pemilu ulang, dan sebagainya.
Pendukung kedua belah pihak punya potensi untuk tidak mau menerima kekalahan. Tapi sifat kepemimpinan Prabowo akan lebih mampu mengendalikan para pendukungnya.

Jokowi pun mungkin mampu. Tapi mengingat dia lebih di bawah kendali para petinggi partai dan purnawan militer, sulit membayangkan Jokowi bisa mengendalikan para jenderal dan keluarga raja yang marah dan kecewa.

Omong-omong, bagaimana prediksi perbandingan suara antar kedua capres setelah debat kedua tadi malam? Jokowi-JK naik sekian persen? Atau turun? Prabowo-Hatta naik segerobak persen?

Sebetulnya acara belum layak disebut ‘debat’. Lebih pantas dibilang presentasi kedua calon dan sedikit tanya jawab.

Mungkin pihak dan pendukung salah satu kubu merasa optimis setelah debat capres kedua ini. Dan pihak lainnya merasa khawatir. Saran saya: Pihak yang optimis jangan terlalu optimis dan pihak yang khawatir jangan terlalu berkecil hati.

Konstituen atau massa pemilih di Indonesia lain dengan pemilih di Amerika Serikat. Ini hanya menyebut satu contoh negara. Masyarakat pemilih di Amrik itu massa pemilih rasional. Mereka memilih calon presiden mereka berdasarkan pertimbangan rasional. Kalau melihat programnya bagus, realistis dan masuk akal, mereka akan pilih. Karena itu, pergerakan angka suara pemilih di sana sangat dinamis seiring tampilan debat para calon. Putaran pertama Obama kalah oleh Hillary. Tapi makin kesini potensi suara makin banyak ke Obama. Sebabnya, program yang diusung Obama lebih rasional dan penjelasannya lebih bisa diterima khalayak. Yang tadinya senang kepada kecerdasan Hillary, setelah debat kesekian, bisa beralih ke Obama – karena pertimbangan rasional.

Bahkan, Hillary sendiri akhirnya berkampanye untuk Obama di putaran akhir, karena mengakui program Obama lebih unggul. Di Indonesia, sikap ini pasti dianggap pengkhianatan.

Itu Amrik. Indonesia lain. Masyarakat pemilih Indonesia itu mayoritas emosional. Kalau sudah senang kepada satu calon, sekurang apa pun calon itu akan mereka abaikan; mereka maafkan. Dan sesepele apapun kekurangan lawan, akan mereka persoalkan. Pendeknya, kalau sudah tak senang ya tak senang. Kalau sudah suka ya suka. Karena itulah slogan paling populer adalah: “Pokoknya no 1, pokoknya no 2.”

Para pendukung Prabowo mudah-mudahan bisa meneladani jiwa patriot idolanya, “Yang semua kita lakukan ini untuk rakyat. Tak peduli siapa yang melakukannya, kalau untuk kebaikan rakyat, kita dukung.” Itu Ucapan Prabowo.
Mudah-mudahan para pendukung kedua belah pihak bersikap dewasa – dalam semangat kebangsaan.

Siapapun yang menang nanti, Prabowo atau Jokowi, ia menjadi Presiden Republik Indonesia yang membutuhkan dukungan seluruh rakyat. Mari kita dukung.

Oleh Kafil Yamin
Sumber: Klik Disini 

Perbawa Prabowo

MESKI saya wartawan, saya tak pernah berjumpa langsung dengan Prabowo. Dengan sejumlah jenderal lain pernah. Karena itu, pengetahuan saya tentang Prabowo Subianto – saya kira pengetahuan kebanyakan orang – berasal dari sumber-sumber kedua atau ketiga. Misalnya dari media yang mengutip beberapa pernyataannya. Dan media itu mengutip pula dari media lain. Atau dari cerita sesama wartawan. Kebanyakan menjelaskan salah satu sisi pribadinya. Dan sisi itu yang itu-itu juga: Jenderal pelanggar HAM, anti asing, penculik aktivis.

Maka, yang tergambar di kepala saya adalah seorang yang otoriter, menakutkan, tinggi hati.
Sejak lama, Prabowo memang bukan figur kesayangan media, seperti sejumlah tokoh lain. Lelaki yang suka berkebun ini hampir tak pernah menjadi narasumber wartawan untuk berita-berita politik, sosial atau budaya. Iya hanya dimintai komentar untuk isu-isu yang menyangkut citra kelabu dirinya.

Dan memang, Prabowo sendiri tak suka melayani wartawan. Ia bukan seorang pencitra diri. Ini pernah dikatakannya kepada seorang wartawan asing: “One of my weaknesses is dealing with the media, with the people like you [Salah satu kelemahan saya adalah berhadapan dengan media, dengan orang seperti anda].”
Saya bisa bayangkan, betapa tidak nyaman wartawan silih berganti datang kepadanya hanya untuk mengulang-ulang pertanyaan: “Apakah anda bertanggung jawab atas penculikan aktivis? Kenapa anda merencanakan kudeta? Kenapa anda dipecat?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sudah dia jawab berulangkali, dengan logika bersahaja, dengan bahasa yang sangat lugas. “Saya memimpin tiga puluh empat battalion waktu itu. Jika saya mau ambil alih kekuasaan, apakah ada yang bisa mencegah saya? Dan cukup banyak yang mendorong saya untuk itu. Tapi itu tidak saya lakukan. Kenapa? Karena saya prajurit. Dan prajurit itu penjunjung dan penjaga konsititusi,” tegasnya suatu saat kepada seorang wartawan asing, dalam bahasa Inggris yang sangat bagus.

Tapi berita yang menyebar tetap saja citra-citra yang tadi: Pelanggar HAM, penanggung jawab Tragedi Semanggi. Prabowo tak pernah menggugat media, tak pernah mengkanter. Ia terus menjawab pertanyaan, meskipun jawaban-jawabannya menguap dalam sentiment negatif massa anti Soeharto.

Dan setiap musim pilpres, saat namanya muncul sebagai calon presiden, isu-isu itu mengemuka lagi. Di luar ‘musim’ itu, saya beberapa kali menonton wawancaranya tentang ekonomi dan kewirausahaan. Saya tertarik pada minatnya yang kuat untuk membangun ekonomi rakyat. Dia berbicara sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia [HKTI]. Dia punya banyak data tentang ekonomi masyarakat, jumlah pasar tradisional yang tergusur mall, bank yang lebih berpihak kepada pengusaha besar, pertanian yang makin terpinggirkan, perairan-perairan Indonesia yang dimalingi nelayan asing, dsb.
Gaya bicaranya umum saja. Bukan gaya seorang orator. Tapi lugas dan jelas, dengan bahasa yang rapih, mencerminkan pikirannya yang runut dan tertib. Tidak meledak-ledak. Enak untuk disimak – bagi mereka yang mementingkan isi ketimbang gaya. Ia lebih tampak sebagai pemikir.

Ketika ia mencalonkan lagi di musim pilpres sekarang, dan peluangnya lebih besar dari waktu-waktu sebelumnya, saya sudah menduga serangan kepadanya soal HAM akan meningkat. Dan memang terjadi. Dari pengguna fesbuk sampai pengamat, dari intelektual abal-abal sampai jenderal, mulai ‘nyanyi’ lagi soal ‘catatan masa lalu’ sang Jenderal, soal istri, soal haji sampai soal ngaji. Saya khawatir dia tak akan kuat menghadapi gugatan, sinisme, hujatan yang begitu luas. Beberapa tokoh yang tadinya tak pernah berkonfrontasi dengan Prabowo, kini ikut menembaknya, demi mengambil hati konstituen politik. Prabowo mungkin akan menyerang balik. Akan meradang.

Tibalah acara pengumuman daftar nomor urut capres dan cawapres. Prabowo akan datang dengan penampilan jumawa di hadapan orang-orang, pikir saya. Dengan koalisi besar di belakangnya, dengan dukungan lebih besar, dia akan langsung duduk di tempatnya dan membiarkan perhatian orang tertuju kepadanya.

Tidak. Dia masuk, menghampiri semua tokoh yang hadir, dan para tokoh pun berdiri. Terasa sekali wibawa dan kharisma Prabowo di ruangan itu. Ia pun menghampiri pesaingnya Jokowi dan Jusuf Kalla, dan Megawati yang tidak ikut berdiri, memberi hormat. Menyalami mereka. Sungguh pemandangan seorang ksatria, setidaknya bagi saya.

Kemudian dia maju; menyampaikan pidato singkat. Dia menyampaikan penghargaan kepada seluruh yang hadir. Menyebut nama mereka satu persatu. Menyebut nama pesaingnya Jokowi dan Jusuf Kalla dengan hormat.

Tampil Jokowi, figur merakyat dan sederhana, dia malah kampanye. Dan tidak memberi salam kepada Prabowo-Hatta.

Tiba saat deklarasi pemilu damai. Lagi-lagi Prabowo berpidato dengan menyejukkan semua pihak; menyebut Jokowi dan Kalla sebagai “saudara saya juga”. Meski Jokowi tak membalas keramahan Prabowo, tapi saya makin jatuh hati pada Prabowo. Orang-orang meramaikan sikap Jokowi yang kaku dan terlihat tegang.

Sampai menjelang debat capres 9 Juni kemarin, saya sudah berpikiran saya tidak akan melihat Prabowo beradu argumentasi ala debat. Saya sudah menduga dia akan berbicara seperti biasa, lebih memusatkan diri pada penyampaian pikiran ketimbang mengundang simpati.

Tapi bagaimana kalau dia dikorek-korek soal pelanggaran HAM di hadapan ratusan juta pasang mata melalui siaran langsung teve? Ingat para politisi kita yang mudah sekali meledak kalau tersinggung, terlihat di layar teve. Prabowo bisa begitu, saya kira.

Dan momen itu datanglah: Debat Capres. Orang-orang mungkin mengharapkan Prabowo akan tampil sebagai pendebat ulung, dan itu tidak susah baginya. Saya sudah orasi-orasi hebat. Itu hanya untuk kepuasaan sesaat. Obama hanya menarik saat kampanye karena kepiawaiannya berpidato, setelah jadi Presiden sama membosankannya dengan Bush.

Saya tidak perlu Prabowo yang berapi-api dan beragitasi. Dan saya senang karena ternyata dia tampil sangat ‘biasa-biasa saja’. Namun yang di luar dugaan saya, dia seperti tidak punya keinginan untuk mengungguli Jokowi-Hatta, padahal saya tau dalam suatu wawancara dia ‘menghabisi’ wartawan Asia News Channel, dengan logika cerdas. Dan si wartawan bule itu pun mengkerut.

Ia tidak lakukan ini kepada Jokowi. Bahkan ketika diberi kesempatan bertanya kepada Jokowi, Prabowo ‘hanya’ menanyakan yang datar-datar saja, bagaimana cara Jokowi nanti menangani tuntutan tuntutan pemekaran wilayah dan pilkada yang berbiaya mahal. Ia tidak menanyakan soal kasus korupsi Trans-Jakarta, atau ingkar janjinya kepada masyarakat Jakarta. Dia tidak menyerang. Dia tidak tendensius. Dia tidak meninggikan diri.

Sebaliknya, Jokowi berkali-kali menyebut dirinya ‘yang terbaik’ di PDIP. Dan ‘rekam jejak’. Dan ketika diberi kesempatan bertanya kepada Prabowo, yang sudah diduga itu muncul: Jusuf Kalla mempersoalkan pelanggaran HAM Prabowo di masa lalu.

Yang diluar dugaan saya, Prabowo cukup menjelaskan bahwa dia prajurit yang melaksanakan tugas. Dia tidak ‘membongkar’ atasannya. Hanya menyarankan Kalla untuk bertanya kepada atasannya waktu itu. Tentu dia bisa menambahkan kalimat: “Yang sekarang berada di kubu Bapak.” Tapi tidak.

Inikah jenderal penculik itu? Jenderal kejam itu? Perencana makar itu? Kok begitu pengalah. Begitu santun. Begitu hormat. Gambaran tentang Prabowo berbahan ‘informasi seken’ di kepala mendadak berubah. Saya jatuh cinta padanya.

Bagi saya itu sudah cukup. Tak perlu ada debat Capres kedua, ketiga.

Apakah ia sedang ber-acting? Sedang mematut-matut diri? Untuk mendapat simpati publik? Alhamdulillah, berbekal 20 tahun lebih hidup sebagai wartawan, saya tau persis mana sikap yang dibuat-buat, mana polesan, dan mana yang asli dari dalam. Prabowo jelas tidak pandai ber-acting. Itu adalah perbawa Prabowo.

Tunggu. Tapi kenapa sejak lama ia dicitrakan sedemikian buram, bahkan oleh beberapa petinggi TNI? Oleh lingkaran kekuasaan? Jawabannya adalah kisah klasik tentang Pangeran pewaris tahta di antara para petinggi kerajaan yang mengincar kekuasaan sang raja yang tengah udzur. Sang Pangeran terlalu cemerlang, ia hambatan terbesar bagi para peminat kekuasaan. Dan kerena itu harus ada jalan untuk menyingkirkannya. Dan Prabowo pun tersingkir dari lingkaran kekuasaan sedemikian lama.

Prabowo pun berminat pada kekuasaan, tapi dengan dorongan untuk menjadikan negerinya terhormat, seperti yang saya dambakan. Dia ingin naik kepada kekuasaan atas kehendak rakyat yang dicintainya. Dia membangun partai. Dia pasang iklan. Semua yang ia lakukan dalam usaha itu berdasarkan konstitusi, aturan dan etika.

Bagi saya, Prabowo adalah obat ‘herbal’ bagi masyarakat politik Indonesia sekarang yang kehilangan keindonesiaannya: saling serang, saling hujat, saling sikut, mengabaikan rasa malu. Pelipur bagi mental gampangan para pemimpin negeri ini: memberi konsesi kepada penanam modal asing adalah ‘prestasi’. Dan karena itu, di atas bumi yang kaya raya ini, manusianya miskin dan negaranya pengutang besar.


Prabowo ingin Indonesia berdaulat, terhormat dan bermartabat. Pesaingnya juga pasti menginginkan demikian. Kalau semua pihak berkeinginan dan berniat sama, tak perlu saling menjatuhkan. Saya yakin begitu pikiran Prabowo. Saya menaruh kepercayaan pada orang ini.

Oleh: Kafil Yamin

2014/05/02

Anda lah Pengendali Kebahagiaan Anda

Ada seorang ibu yang 'curhat' terkait perasaan dan emosional yang dialaminya kepada saya beberapa waktu yang lalu. Yang dia ceritakan adalah sebuah perasaan yang sangat tidak baik baginya. Dan hal ini sudah mengganggunya dalam beberapa tahun terakhir. Praktis, si ibu ini merasa tidak bahagia dalam kehidupannya. Apa sebab? Menurut pengakuannya, sudah dua belas tahun lamanya, beliau dan ketiga anaknya 'ditinggal' tanpa 'kepastian' oleh sang suami. Apakah dicerai? Tidak. Apakah ditelantarkan secara ekonomi? Juga tidak. Apakah benar-benar putus hubungan? Juga tidak. Lalu seperti apa perlakuan sang suami yang dianggap oleh si ibu ini sebagai sebuah 'kezaliman' itu?

Dengan perasaan yang sangat emosional, diiringi dengan beberapa kali isakan dan tarikan nafas yang sangat dalam, si ibu menceritakan kisahnya kepada saya. Semua hal. Semua kelakuan suaminya. Semua penderitaannya. Saya serius mendengarkan. Saya harus serius menyimak, karena juga saya sangat serius untuk membantunya.

Sesi 'curhat' ini saya manfaatkan sebagai sesi utama dalam menggali akar masalahnya. Sesekali saya melakukan teknik interview 'meta-languange NLP'. Ini berguna dalam rangka reframing terhadap suatu hal atau suatu peristiwa. Karena suatu peristiwa yang diceritakan oleh si ibu itu belum tentu sungguh-sungguh seperti itu peristiwa yang sebenarnya. Yang beliau ceritakan sudah bercampur aduk dengan emosinya. Maka, bisa jadi peristiwa yang beliau ceritakan itu tidak lagi 'original'. Sudah banyak 'bumbu-bumbu subjektif' di situ. Kelihaian seorang terapis dalam mewawancara klien sungguh sangat mutlak diperlukan. Karena ini akan sangat menentukan keberhasilan dari sebuah proses terapi itu sendiri.

Setelah merasa cukup di sisi interview ini. Giliran saya yang banyak bicara. Saya mulai dengan penjelasan singkat mengenai hipnoterapi. Proses kerjanya. Manfaatnya. Bagaimana tingkat keberhasilannya, dll. Kemudian saya berikan sebuah 'progressive induction'. Dari sini, secara perlahan klien memasuki alam relaksasinya. Dengan beberapa teknik pendalaman (deepening), saya bantu klien memasuki lebih dalam lagi alam relaksasinya (alam bawah sadar). Sampai benar-benar dalam, barulah therapeutic suggestion-nya saya masukkan satu persatu ke alam bawah sadarnya. Saya berikan banyak sugesti-sugesti positif tentang kebahagian, tentang memaafkan, dan tentang meningkatkan rasa keberanian dalam menghadapi hidup, dan seterusnya, dan seterusnya.....

Singkat cerita. Sesi terapi awal selesai. 120 menit telah berlalu.

'Bagaimana perasaan ibu sekarang?' saya bertanya. Dia menarik nafas, sambil tersenyum. 'Dada saya terasa ringan sekali, sekarang mas'. 'Biasanya selalu sesak. Sesak gak jelas, sekarang sangat lega', katanya melanjutkan. 'Alhamdulillah, berarti ibu benar-benar pada konsentrasi yang sangat tinggi ketika saya berikan sugesti-sugesti positif tadi', kata saya menguatkan. 'Itu artinya, Ibu benar-benar ingin keluar dari masalah ini'. Ibu benar-benar ingin meraih kembali rasa kebahagiaan itu,' lanjut saya. Kini si ibu sudah merasakan emosi yang sangat kuat dari alam bawah sadarnya, bahwa bahagia atau tidak bahagia itu bukanlah kondisi di luar dirinya. Bukanlah sebuah hal yang ditentukan oleh orang lain. Tetapi diri kita sendiri lah yang menjadi pengendali kebahagiaan kita.
 ***
5 hari setelah memberikan sesi hipnoterapi kepada ibu tersebut, saya menerima SMS darinya.  Berikut isinya (asli dari bahasa si ibu): 'Slmt malam pak ferry, saya berterima ksh atas bantuan bpk. skr sy sdh sembuh, saya rasa tidak perlu terapi ke 2, krn sy sudah kuat. kiranya tuhan membalas semua kebaikan bapak. Amin.

Wow, saya senang luar biasa. Terimakasih Allah, Engkau telah jadikan hamba sebagai syari'at untuk kesembuhan seseorang. Saya bahagia sekali. Semakin bertambah pula jumlah klien yang dapat saya bantu, hingga mereka mampu menyelesaikan masalah emosional/pikiran/jiwa-nya sendiri. Saya sebagai fasilitator saja.
Jawaban SMS saya kepada si ibu ketika itu: 'Malam juga bu Reni (bukan nama sebenarnya), Sangat senang mendengarnya. Smg ibu Reni dan anak-anak jauh lebih baik, lebih kuat, dan lebih bahagia dari sebelumnya. GBU. Aamiin.' 


See! Sederhana sekali kan? Ternyata benar, bahagia itu hanya  mengenai persepsi!
***

Jika Anda, atau orang di sekitar Anda juga memiliki masalah emosional / pikiran yang sangat melelahkan dan membuat Anda tidak bahagia, tidak berani menghadapi hidup, selalu gelisah, tidak produktif, selalu malas, dll seperti yang dialami ibu di atas, maka saatnya lah Anda saya bantu melalui sesi hipnoterapi. Mau?

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan temui saya di:
Cellular: 0811-1112-187
(Sementara di area Jabodetabek saja).

2014/02/03

Dino, Gita and Risk Taking

"He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life.
-Muhammad Ali"

Membaca Dino dan Gita dalam sudut pandang ‘Succesfull Character’.

September 2013 yang lalu, Dino Patti Djalal mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat. Posisi prestisius yang sudah diraihnya di usia relatif muda itu ditinggalkan, demi sebuah perjuangan yang lebih besar di tanah air. Apa itu? Dino ditantang oleh ‘guru’nya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk ikut meramaikan konvensi calon presiden (capres) Partai Demokrat.

Dino Patti Djalal menjadi salah seorang dari 10 peserta pada konvensi calon presiden partai berlambang mercy itu. Menurut Dino ini adalah sebuah panggilan. Meskipun kesempatan dan peluang yang dimiliki oleh semua kandidat konvensi relatif sama, Dino menganggapnya menjadi sebuah tantangan tersendiri. SBY sudah menjamin, tidak akan ada ‘anak emas’. Siapapun bisa menang. Termasuk Dino.

Apakah Dino yakin akang bisa memenangkan konvensi tersebut sehingga rela meninggalkan posisinya sebagai Duta Besar untuk USA? Belum tentu. Tapi dia berani mengambil peluang itu. Peluang dan resiko sekaligus. Resiko kehilangan jabatan. Resiko tidak populer juga tentunya. 

Namun, poin yang perlu dicatat adalah pengunduran dirinya ini menunjukkan sifatnya yang ksatria. Fokus. Tidak setengah-setengah. Total, dan risk-taker.  Dan risk-taking ini adalah salah satu sifat utama bagi pribadi sukses.

Hari ini, 31 Januari 2014, seorang tokoh muda lain, Gita Wirjawan, juga mengundurkan diri dari sebuah posisi yang bukan biasa. Dia meninggalkan posisinya sebagai Menteri Perdagangan RI. Alasannya sama dengan Dino, agar dapat fokus dalam usaha memenangkan dirinya di konvensi calon presiden Partai Demokrat. Meskipun, desakan untuk mundur dari Menteri Perdagangan sudah bergulir dari beberapa bulan yang lalu, keputusannya untuk menyatakan mundur efektif per 1 Februari 2014 ini patut diapresiasi.

Dua tokoh muda potensial, Dino dan Gita, sudah sama-sama mundur dari jabatannya masing-masing. Mereka ‘tertantang’ untuk mencoba sesuatu yang lebih tinggi. Mereka sedang menantang dirinya sendiri untuk keluar dari zona nyamannya. Menantang dirinya untuk berani mengambil resiko. 

Tidak semua orang berani mengambil resiko. Hanya mereka yang bermental pemenanglah yang berani ambil resiko. Tidak terhitung lagi berapa banyak orang sukses yang mengonfirmasikan argument ini.  Seperti ungkapan Muhammad Ali, legenda tinju dunia, bahwa mereka yang tidak cukup berani untuk mengambil resiko tidak akan kebagian apa pun dalam hidupnya. Tidak akan menyelesaikan apapun dalam hidupnya. Semangat inilah yang tampaknya dimiliki oleh Dino dan Gita saat ini.

Akankah salah seorang dari mereka ini ada yang berhasil, hingga lolos masuk ke kontestasi PILPRES 2014 ini? Kita lihat saja. Setidaknya keduanya sudah menunjukkan sikap yang committed untuk terus maju. Untuk terus berkembang. 

Risk taking. Inilah salah satu sifat orang sukses, successful character, yang  sangat perlu dimiliki bagi siapapun yang ingin gemilang dalam hidupnya.

Siapakah yang akan mengulang sukses SBY di 2004 yang lalu. Mundur dari kabinet Megawati Soekarno Puteri, ikut menjadi kandidat presiden, dan menang! Let’s see.

Bagaimanapun, dengan pilihan yang dilakukan oleh Dino dan Gita ini kita harapkan dapat menginspirasi anak muda Indonesia lainnya untuk terus berkarya. Terus melakukan yang terbaik di bidangnya masing-masing. Dan pada saatnya, bagi anak-anak muda Indonesia juga diperlukan keberanian untuk mengambil resiko dalam hidup demi sebuah lompatan yang lebih tinggi.

Salam successful character.
*Ditulis pada tanggal 31 Januari 2014. Posted on February 3, 2014.

2013/10/21

Tokoh Muda Politik

Di awal-awal masa reformasi 1998 yang lalu, kita melihat beberapa tokoh muda nasional yang 'menjanjikan' untuk ikut kelak membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebut saja diantara tokoh muda itu adalah Anas Urbaningrum, Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Andi Alfian Mallarangeng, Eep Saefullah Fatah, Indra Jaya Piliang, Anies Baswedan, dan lain-lain.

Mereka umumnya berasal dari organisasi-organisasi kemahasiswaan / kepemudaan. Saat itu, beberapa diantaranya, ada yang masih 'menahan' diri untuk tetap tinggal di kampus menjadi akademisi, namun ada juga yang mulai-mulai bersinggungan dengan politik praktis.

Seiring berjalannya waktu, muncul pula beberapa tokoh muda lainnya. Ada Aria Bima, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi, dan lain-lain. Untuk nama-nama terakhir ini bukan berarti saya menyebut mereka lebih junior dari tokoh-tokoh muda yang disebutkan pada awal masa reformasi tadi. Namun gema secara nasionalnya memang terdengar agak belakangan. (At least in my observation:))

Memperhatikan sepak terjang mereka di organisasi / komunitasnya memang sangat memesona. Ada semangat perubahan yang terlihat nyata di setiap mereka tampil. Spirit seorang pemuda! Gesit, spontan, dan agresif. Mereka pandai berorasi, argumentatif dalam diskusi, juga cakap dalam menulis.

Waktu pun berlalu.
15 tahun  masa reformasi telah bergulir. Coba kita perhatikan lagi tokoh-tokoh muda itu kini.

Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng belum sempat memberikan kontribusi perubahan lebih lama dan lebih banyak di DPR / Pejabat Menteri, malah menjadi tersangka oleh KPK. Kita tetap menerapkan azas praduga tak bersalah hingga status hukumnya final.

Budiman Sudjatmiko di DPR RI mewakili PDI-P masih terus berjuang membawa perubahan ke alam yang lebih demokratis. Alih-alih memperjuangkan nafas demokrasi ke seluruh elemen bangsa, bung Budiman masih perlu berjuang terlebih dahulu melawan arus 'demokrasi terpimpin' ala Megawati Soekarno Putri di internal partainya.

Fadli Zon, kini makin menguatkan posisinya di partai politik. Ia menjadi salah satu tokoh penting di DPP Partai Gerindra, sekaligus menjadi orang kepercayaan Prabowo Subianto. Mantan mahasiswa teladan UI ini memang tidak duduk di kursi DPR RI (saat ini). Namun, kehidupannya di dunia politik praktis bukanlah satu atau dua tahun belakangan saja. Tokoh muda berdarah Minangkabau ini sebelum bergabung dengan Partai Gerindra, pada tahun 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur). Selain Fadli Zon, tercatat pula mantan aktivis 1998, Pius Lustrilanang, yang merapat ke barisan Prabowo Subianto tersebut.

Indra Jaya Piliang, yang bertahun-tahun menjadi analis politik yang cukup produktif di Indonesia bersama CSIS (Center for Strategic and International Studies) akhirnya berlabuh di Golkar (menjadi ketua Balitbang). Sempat menjadi Calon Walikota dari jalur independen di kota kelahirannya, Pariaman beberapa bulan yang lalu. Namun, keberuntungan belum berpihak padanya.

Aria Bima bergabung dengan Hatta Rajasa di PAN. Ikut pula meramaikan bursa pemilihan Cawalkot Bogor tahun ini (2013). Dan Menang!

Anies Baswedan tak kuat pula menolak ajakan Partai Demokrat untuk ikut konvensi Calon Presiden. Tampaknya akan 'serius' berpolitik praktis juga?

Ya, dunia politik memang menggoda. Menggiurkan. Terutama bagi aktivis yang sudah terbiasa akan terms 'kekuasaan' di organisasi tempatnya tumbuh dan berkembang. Tak ada yang salah dengan godaan itu. Jika pilihan para tokoh muda itu adalah berpolitik praktis, ya berpolitiklah dengan elegant, jujur, dan berdedikasi hanya untuk bangsa. Hanya untuk kesejahteraan warga. Bukan untuk kepentingan pribadi, aliran dan kelompoknya saja.

Kalau pilihannya pun tetap bertahan di kampus seperti Eep S Fatah, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi dan lain-lain, berkontribusilah sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Membangun Indonesia dengan pendidikan. Mewujudkan Indonesia cerdas.

Berpolitik praktis atau tidak itu adalah pilihan mereka masing-masing. Tidak ada concern kita untuk itu. Yang akan menjadi concern adalah apakah mereka berkontribusi positif (membawa manfaat) atau tidak dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita UUD 1945?

Kita harap jawabannya: 'YA!'

2013/08/22

Mengenal Pendiri IKEA, Ingvar Kamprad

Mungkin Anda akan berpikir bahwa orang yang telah melakukan revolusi desain interior, seorang pebisnis besar di dunia hidup dalam kenyamanan dan kemewahan yang tak terbayangkan.

Akan tetapi Ingvar Kamprad, pendiri IKEA tinggal di sebuah rumah yang sederhana, memakan bakso yang dijual oleh toko yang dimilikinya dan hanya bepergian dengan pesawat di kelas ekonomi, padahal Ia mampu untuk membeli sebuah pesawat pribadi tanpa mengurangi kekayaan yang dimilikinya.

Ingvar Kamprad lahir pada tanggl 30 Maret 1926 di sebuah peternakan milik keluarganya di desa Agunnaryd di Swedia.

Kemampuannya untuk dapat membeli sebuah barang dan menjualnya kembali dengan meraup keuntungan merupakan dasar yang dimilikinya sehingga Ia dapat berubah dari seorang pemuda biasa menjadi pebisnis yang sukses. Walaupun Ia merupakan seorang penderita disleksia tetapi penyakitnya tidak membuat Ia kehilangan hasrat dan semangatnya untuk sukses. Bisnis pertama yang dilakukannya adalah membeli korek api dalam jumlah besar di dekat Stockholm dan menjualnya dengan harga murah dan menjualnya kembali satu persatu dan tetap mendapatkan keuntungan. Ia pun melakukan investasi kembali dengan membeli korek dalam jumlah yang lebih besar. Kebiasaan yang dilakukannya pada saat waktu luang adalah menjajakan dagangannya dengan sepeda yang dimilikinya, selalu berusaha menambah barang-barang lain untuk dijual kembali, mulai dari ikan, dekorasi pohon natal, biji-bijian dan kemudian pulpen dan pensil.

Pada usia 17 tahun Ayahnya menganugerahinya hadiah untuk prestasinya di sekolah  dan dengan modal yang dimilikinya Ia mulai berinvestasi pada bisnis yang digelutinya dan melangkah lebih serius dengan menamakan usaha yang dijalankannya IKEA. IKEA sendiri merupakan singkatan dari nama, peternakan dan desa tempat Ia tumbuh. Ia sangat berharap orang akan mengingatnya sebagai Ingvar Kamprad of Elmtaryd, Agunnard.

Merasa sebagai seorang pebisnis yang ulung Ia pun memperluas usahanya dengan menjual jam, perhiasan, dan barang-barang lainnya. Pada saat Ia mulai kewalahan menghadapi permintaan konsumen Ia pun mendirikan jasa pengiriman barang dengan menyewa truk susu untuk mengantarkan barang dagangannya.

Source: Klik Disini.

2012/06/10

Modal Dasar Kepemimpinan


Dalam diskursus tentang kepemimpinan, begitu banyak aspek yang bisa didalami. Mulai dari defenisi kepemimpinan, modal dasar kepemimpinan, tipe kepemimpinan, hingga teori syarat kepemimpinan. Dan dari semua hal tersebut di atas sudah demikian banyak ahli, pakar ataupun peneliti tentang kepemimpinan yang sudah  membukukannya, menuliskan di artikel, jurnal dan menyampaikannya di forum-forum ilmiah atau dalam kesempatan-kesempatan lainnya.

Berbekal sedikit pengetahuan tentang syarat minimal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka di sini saya ikut ‘menggarami laut’ wacana kepemimpinan tersebut. Tulisan ini saya olah dari berbagai sumber, termasuk enrichment dari pengalaman sendiri.

Bahasan kali ini dikhususkan pada modal dasar yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin (terutama di organisasi modern). Apa saja modal tersebut? Bagi Anda yang merupakan pemimpin di lingkungan (tempat kerjanya) masing-masing bisa sambil melakukan check-list apakah sudah memiliki atau belum. Atau bagi yang sudah punya, apakah sudah dimanfaatkan untuk perbaikan organisasi/ perusahaan atau belum? Tapi tentu saja saya yakin, Anda semua yang sempat membaca tulisan sederhana ini adalah pemimpin-pemimpin hebat yang sudah memiliki dan menjalankan modal dasar ini dengan efektif.

So, bagi Anda yang merupakan pemimpin di kategori yang baru saja  saya sebutkan tadi, anggap saja tulisan ini sebagai pengingat sajaJ

Modal dasar yang wajib dimiliki seorang pemimpin adalah meliputi dua hal: Personal Characteristics dan Managerial Skills. Ini masih merupakan modal dasar, artinya banyak modal lain yang perlu dimiliki juga agar kepemimpinan bisa lebih efektif serta lebih berdaya dan memberdayakan.

Personal characteristics menyangkut hal-hal berikut ini:
11.       Self Confidence
22.       Initiative
33.       Energy
44.       Creativity
55.       Maturity

Managerial Skills meliputi hal-hal berikut ini:
11.       Problem Solving Skills
22.       Interpersonal Skills
33.       Communication Skills
44.       Persuasive Skills
55.       Managerial Behaviors

---

2012/05/04

Appeciative Coaching


Awal tahun 1980-an di Case Western Reserve University, saya menjadi bagian dari sebuah kelompok kecil yang terdiri atas para sarjana, termasuk David Cooperrider, Suresh Srivastva, dan Ron Fry, yang melakukan eksperimen mengenai pendekatan apresiatif terhadap kehidupan organisasi. Dipimpin oleh David Cooperrider, kami cukup merasa kecewa karena begitu luasnya penerimaan dan penggunaan problem solving dalam penelitian tindakan (action research) dan pengembangan organisasi. Awal mula karya kami terpusat pada apa yang baik dalam organisasi dan pada apa dan siapa yang dapat bekerja bersama-sama dengan baik dan efektif. Seiring dengan semakin luasnya filosofi ini dikenal, banyak orang yang tertarik kepadanya karena fokusnya yang positif, bahkan terkadang menggembirakan pikiran. Para peneliti lain, konsultan-konsultan pengembangan organisasi, pekerja di lembaga pemerintahan, dan manajer-manajer proyek mulai mengaplikasikan Appreciative Inquiry dalam pekerjaan mereka. Ketiga penulis buku ini mengenal Appreciative Inquiry dengan cara seperti di atas, yakni melalui pekerjaan mereka sendiri dalam organisasi.

      Mereka, sama halnya dengan kami, menemukan bahwa meletakkan fokus pada apa yang diberikan hidup saat ini sehingga dengan hal itu kita dapat melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan, telah  mengubah cara orang-orang berpikir mengenati perubahan organisasi. Apa yang membuat buku ini unik adalah cara inovatif yang digunakan oleh para penulis untuk menerapkan dasar-dasar dan tahap-tahap Appreciative Inquiry ke dalam bidang coaching, mengubah cara orang-orang berpikir mengenai perubahan individu dan coaching relationship yang memungkinkan perubahan tersebut terjadi. Mereka telah membangun suatu model Appreciative Coaching yang didasari oleh penelitian-peneliti an coaching yang valid (it uses sound, but considering the meaning of sound as “free from error; showing good judgment”, I think valid is acceptable.. .), dan telah meletakkan pendekatan mereka ke dalam dasar teori yang kuat (have grounded their approach in a solid theoretical foundation), yang meliputi tidak hanya Appreciative Inquiry, tetapi juga Psikologi Positif, Positive Organizational Scholarship, dan teori-teori psikologi positif mengenai perubahan dan waktu (atau: teori-teori psikologi positif mengenai perubahan, dari waktu-waktu yang berbeda).

      Ini adalah penerapan baru yang menarik dari Appreciative Inquiry dan merupakan sesuatu yang saya rasa akan memberikan pengaruh di ranah pengembangan organisasi dan coaching. Minat terhadap Appreciative Inquiry dan cara-cara inquiry lain yang telah disetujui telah menyebar luas ke luar Case Western Reserve University, tempat penelitian ini dimulai. Berbagai pusat learning and practice serupa mulai bermunculan, seperti Taos Institute dan Positive Organizational Scholarship di University of Michigan Business School. Pendekatan apresiatif untuk coaching berkembang pada makna dan signifikansi dari lima prinsip dasar yang mendasari Appreciative Inquiry (Constructionist Principle, Positive Principle, Simultaneity Principle, Poetic Principle, dan Anticipatory Principle) dan menciptakan suatu pondasi baru untuk memungkinkan terjadinya perubahan yang positif dan transformative pada individu-individu. 

      Para penulis menggali kelima prinsip tersebut satu persatu dan menampilkan saran-saran serta kisah-kisah mengenai klien untuk memastikan bahwa para pembacanya memahami tidak hanya pondasi teoritis dari perubahan positif individu, tetapi juga bagaimana mereka dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut ke dalam bentuk yang konkrit. Saya merasa senang menyaksikan bahwa prinsip-prinsip Appreciative Coaching, seperti halnya dalam Appreciative Inquiry, mencerminkan begitu banyaknya pandangan (reflect a worldview), bukan mengenai alam semesta yang tetap dan tertentu, tetapi mengenai alam semesta yang terbuka, dinamis, saling berhubungan dan penuh dengan kemungkinan.

      Apa yang ditawarkan oleh Appreciative Inquiry kepada organisasi dan individu selama dua puluh tahun terakhir adalah sebuah alternatif dari fokus yang awalnya hanya terletak pada problem dan problem solving. Dependensi yang berlebihan pada “perspektif masalah” (problem perspective) dapat berujung pada kasus-kasus seperti memecahkan masalah yang tidak tepat, atau memecahkan satu masalah hanya untuk menemukan bahwa masalah yang baru telah muncul akibat solusi dari masalah awalnya. Contohnya, dalam executive coaching, dimana terdapat lebih banyak fokus yang positif pada kekuatan, penekanan kontinyu pada kelemahan individu dalam perkembangan bakat perusahaan masih dapat muncul. Seperti yang telah kami temukan setelah bekerja bersama ribuan organisasi yang berbeda, energi positif yang tercipta dalam proses apresiatif sangatlah berbeda dengan energi yang tercipta dalam proses memecahkan masalah, sepenting apapun solusi masalah tersebut. Sebuah proses apresiatif memungkinkan terbukanya inovasi dan kreativitas berdasarkan pondasi yang positif. Sungguh memberi energi bagi orang-orang ketika memikirkan, mengimpikan, dan membicarakan tentang hal-hal yang mereka sukai dan dapat mereka lakukan dengan baik! Memulai dari hal-hal tersebut sangat lebih mudah daripada berusaha meningkatkan perkembangan dalam sesuatu yang mereka atau orang lain anggap sebagai kelemahan.

      Konsultan, coach dan manajer semuanya mencari alat untuk menangani kompleksitas yang meningkat dari kehidupan personal dan organisasi. Setelah menyaksikan dan ikut serta dalam energi nyata yang tercipta oleh gagasan Appreciative Inquiry dalam kelompok, para penulis buku ini telah membuat model coaching yang luar biasa, yang menggunakan keutamaan perspektif ini pada klien individual untuk menciptakan dan menopang energi yang dibutuhkan untuk bertindak pada masa depan yang diimpikan dengan lebih positif.

      Berdasarkan pengalaman mereka dengan Appreciative Inquiry, para penulis telah mengadaptasi empat tahap utama dari Appreciative Inquiry ke dalam pendekatan Appreciative Coaching mereka: Discovery, Dream, Design, dan Destiny. Kemudian mereka mengembangkan tahap-tahap tersebut untuk memunculkan proses otoritatif namun penuh insight untuk memulai Appreciative Coaching. Mereka dengan terampil menjalin konsep-konsep, kisah-kisah klien, saran-saran dan alat-alat untuk membentuk sebuah pendekatan apresiatif ke dalam praktek coaching yang baru maupun yang telah ada.

      Tahap Discovery adalah mengenai memberi apresiasi sebenar-benarnya terhadap apa yang membuat klien merasa hidup dan membantu mereka menyatakan pandangan apresiatif mereka terhadap diri mereka sendiri. Coach secara spesifik membantu klien untuk memusatkan pikiran pada kekuatan-kekuatan yang memberi-hidup dan menelusuri sebab-sebab dari kesuksesan-kesukses an mereka saat ini maupun di masa lampau, menggunakan empat pertanyaan apresiatif inti. Di dalam tahap Dream, coach memandu klien untuk menggali keinginan mereka dan keinginan konkrit akan masa depan yang bahkan lebih sukses. Tahap ini memungkinkan klien untuk mengalami perasaan koherensi yang unik terhadap kehidupan mereka, karena impian mereka berasal dan berkembang dari masa lalu dan masa kini mereka sendiri. Selama tahap Design, coach membantu klien untuk mengarahkan perhatian mereka pada melakukan tindakan sehingga mereka menjadi perancang bagi masa depan yang paling mereka impikan. Pada akhirnya, dalam tahap Destiny, klien akan belajar untuk mengenali dan merayakan impian mereka dan menjalani hidup mereka dengan baik dan utuh.

      Karen Armstrong, salah satu pemikir kuat mengenai perpecahan yang disebabkan agama-agama di dunia, menulis dalam The Spiral Staircase,The one and only test of a valid religious idea, spiritual experience, or devotional practice is that it must lead directly to practical compassion. (Satu-satunya ujian terhadap ide religius, pengalaman spiritual, atau praktek kebaktian yang valid adalah semua itu harus mengarah langsung kepada rasa iba yang berguna/dapat dilaksanakan? ?)” Apa yang dilakukan oleh Appreciative Coaching adalah meletakkan practical compassion pada garis terdepan tiap-tiap tahap coaching relationship, memastikan bahwa bersama-sama, coach dan klien menemukan setiap pencapaian dan ingatan yang membanggakan, mengimpikan setiap masa depan dengan kepedulian dan perhatian, merancang eksperimen yang menyenangkan, dan mengantar klien kepada destiny mereka setelah mempelajari tentang diri mereka sendiri dan dunianya, dan menciptakan perubahan yang kekal!

      Coach-coach yang berpengalaman akan ingin untuk menambahkan proses apresiatif ke dalam praktek ahli mereka sendiri. Coach-coach yang lebih baru mungkin ingin mengadopsi Appreciative Coaching sebagai filosofi inti mereka. Semua coach, manajer yang menjadi coach, dan orang yang tertarik pada self-coaching akan belajar bagaimana untuk merayakan kebijaksanaan mereka sendiri dan untuk menaikkan kebijaksanaan itu untuk mencapai hasil yang lebih besar dan memuaskan dalam hidup mereka dan klien serta pegawai mereka. Para penulis buku ini secara provokatif memberi kesan bahwa proses coaching berdasarkan Appreciative Inquiry melibatkan orang dengan lebih sempurna karena fokusnya adalah lebih pada masa kini yang positif serta masa depan yang memungkinkan daripada pada masalah di masa lalu dan masa kini. Siapa yang tidak mau ikut serta dalam rangkaian percakapan coaching seperti ini? 

2012/04/17

Delegating and Supervising: Five Steps


The ability to delegate is one of the key result areas of management. Fortunately, it is a skill that can be learned with practice. Delegation is an art as well as a science. Effective delegation requires time, thought, and careful consideration. It is something that you must learn to do if you want to leverage yourself to the maximum.

Step One
The first step in delegation is to become perfectly clear about the results that you desire from the job. The greater clarity you have with regard to the results expected, the easier it is for you to select the right person to do the job.

Step Two
The second step is to select a person based on his or her demonstrated ability or success at doing this job. Never delegate an important job to a person who has never done it before. If the successful completion of the task is important to the success of your business, it is essential that you delegate it to someone who you confidently believe can complete the task satisfactorily.

Step Three
Third, explain to the person exactly what you want done, the results that you expect, the time schedule that you require, and your preferred method of working. The reason that you are in a position to delegate a task is because you have probably already mastered this task. Taking the time to teach and explain the best way to do the task based on your experience is an excellent way to ensure that the task will be done as you wish and on schedule.

Step Four
Step four is to set up a schedule for reporting on progress. If it is an important task, set up a deadline for completion that is a day or a week before your actual deadline. Always build some slack into the system. Then, check on the progress of the task regularly, very much like a doctor would check on the condition of a critical care patient. Leave nothing to chance.

Step Five
Step five, inspect what you expect. Delegation is not abdication. Just because you have assigned a task to another person does not mean that you are no longer accountable. And the more important the task, the more important it is that you keep on top of it.

Action Exercise
What task can you effectively delegate to someone else? Which one of your employees can handle the task efficiently?

---
*By Brian Tracy

2012/03/06

"I'm a leader, not a manager!"

One of Kent's friends — we'll call him Roy — is a master craftsman who owns a small business that makes custom wood furniture. After making some cutbacks in 2009, his little company still employs three fine woodworkers, an office supervisor/customer service rep, and an apprentice.

What makes Roy unusual is that when he founded his firm a dozen years ago, he realized he knew nothing about business. And so he began reading serious books on the subject, as well as the Harvard Business Review and two or three business magazines.

What he's learned in the past few years is that, as he says, "I'm a leader, not a manager. I'm really good at innovation and pointing out new directions. You know, the vision thing. But I hate everything I have to do to keep the doors open and the lights on. When business was good, I could get other people to do all that while I was out designing new pieces or installations for customers, but now I have to do more of it."

Management vs. leadership — it's a distinction we all hear over and over these days. It says management focuses on getting work done on time, on budget, and on target — in other words, steady execution and control — while leadership focuses on change and innovation.
Some years ago, management was the more inclusive term and included leadership — along with motivating, planning, communicating, organizing and the like — as one of many functions necessary to make groups of people productive. Then in the late 1980s and early 1990s, the perception took hold that the U.S. was in danger of falling behind innovative competitors (Japan, in particular) because traditional management as practiced by U.S. businesses didn't promote change and innovation. The solution was leadership, which was singled out as the ability to do exactly that. Thus was born the new age of leadership in which we've heard even senior managers say, like Roy, "I'm a leader, not a manager!"

Most writers about leadership then and now explicitly note the continuing importance of management. Success still depends on execution, controls and boundaries, systems, processes, and continuity. Without all that, leadership only produces dreams. Nonetheless, being a leader has taken on a shiny, romantic aura these days while management has been given an undertone of grubby practicality. Leaders are superior beings who inspire the rest of us to greatness while managers are dull business functionaries obsessed with budgets, schedules, policies, and procedures. This thinking is at least partially behind the attitude of Kent's friend. Roy considers himself an artisan, a creator of beauty in wood, and seeing himself as a leader fits easily with that self-perception. But making sure the bills go out on time, keeping the machines working, and dealing with the employee who cuts corners and doesn't meet customer specifications aren't nearly so romantic.

Both leadership and management are crucial, and it doesn't help those responsible for the work of others to romanticize one and devalue the other. To survive and succeed, all groups and businesses must simultaneously change in some ways and remain the same in others. They must execute and innovate, stay the course and foster change. Yes, the guidance, group skills, and mindsets required for serious change and innovation differ from those needed for continuity and steady execution. But that only means those in charge must be able to act as both change agent and steward of continuity, manager and leader, as the situation requires. The challenge is to discern when one versus the other is needed. To idealize leadership and demean management only makes that challenge even harder.

To avoid all the positive and negative connotations around "leadership" and "management" today, we often use the term "boss." It's not a perfect title — no one likes to be "bossed around." To paraphrase Mary Parker Follett, a management writer in the early 1900s, the mark of a good boss is how little actual bossing he or she must do. Still, "boss" or its equivalent in other languages is widely used across generations and cultures to refer neutrally to the person in charge, the one responsible for the work of others, the one to whom each of us must answer at work.

If you're a boss, think of yourself as the one responsible for the work of others, the one who must manage and lead as necessary, without favoring one over the other. Focus on whatever is required of you to make your people productive. Most of all, take care not to conceive of yourself as the glorious leader always blazing new trails while leaving the gritty, mundane details of making it all work to lesser beings. Kent's friend may say, "I'm not a manager," but the survival of his business probably owes as much to his management skills as it does his leadership talents. 
--
by Linda Hill & Kent Lineback ; taken from harsaconsulting@gmail.com
*illustration is powered by google

2012/02/02

Empat Dasar Kepemimpinan Efektif

Hari ini saya mencoba browsing di mesin pencari internet dan mencari artikel dengan kata kunci persis sama dengan judul artikel ini. Hasilnya saya temukan lebih dari sejuta delapan ratus ribu artikel terkait. Wow, luarbiasa bukan? Sudah begitu banyak ulasan tentangnya; Kepemimpinan Efektif. Para pembaca sekalian pun mungkin sudah sering menjumpai tulisan dengan judul yang sama. 

Lalu kenapa harus ditulis lagi jika sudah banyak? Alasannya sederhana saja; saya menggunakan pepatah orang Minang berikut sebagai alasannya; lanca kaji dek diulang; bisa karena terbiasa. Lagi pula, tidak semua artikel sama cara penyajiannya meskipun sama judulnya. Mudah-mudahan saja artikel singkat ini menambah lagi satu hal yang berbeda dan baru untuk wawasan kita semua. Semoga.

Sebagai informasi tambahan, artikel ini saya sarikan dari salah satu bab dari buku Andrei Gostik dengan judul: The Carrot Principle. Menurutnya berikut inilah hal-hal yang mendasari kepemimpinan yang efektf.
Mari kita mulai saja:

Pertama: Penentuan tujuan.

Seorang pemimpin harus memastikan dari awal bahwa semua anggota teamnya memahami maksud dan tujuan organisasi. Apa visi dan misi organisasi harus sudah terinternalisasi di diri masing-masing anggota. Inilah salah satu alasan kenapa banyak di dinding-dinding kantor perusahaan kita jumpai figura bertuliskan Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu perusahaan tersebut. Karena top management menginginkan semua yang terlibat di organisasinya tahu arah dan tujuan organisasinya.

Team tidak akan kehilangan arah dalam memacu roda organisasi dengan adanya fase penentuan tujuan ini di awal. Inilah fase mendasar dalam organisasi, dan pemimpin efektif terbiasa melaksanakannya.

Kedua: Komunikasi.

Semua kebijakan, keputusan, informasi atau berita apapun yang dibuat oleh top management terkait kebaikan perusahaan harus dikomunikasikan dengan baik kepada semua anggota team. Banyak media yang bisa digunakan untuk menyampaikannya. Pemimpin biasa dalam mengomunikasikan sesuatu kepada teamnya tentu sudah terbiasa menggunakan media email, notes, memo dinas, chat-group, atau internal communication tools lainnya. 

Dan bagi pemimpin efektif, media-media itu saja tidak cukup. Ada banyak alasan dari pemimpin efektif, kenapa media itu saja tidak cukup. Salah satunya adalah, tidak semua karyawan dalam teamnya mau membaca. Membaca pun, belum tentu semua mendapat pemahaman yang sama. Karena itu pemimpin efektif akan membuat cara komunikasi yang lebih ‘intim’. Man-to-man communication. Dia akan temui langsung teamnya, dan memastikan setiap anggota teamnya memahami apa yang dikomunikasikannya tersebut.

Ketiga: Kepercayaan.

Komunikasi yang efektif didasari dengan adanya saling percaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut; dalam hal ini antara leader dengan bawahannya. Penentuan arah tujuan organisasi sudah dibuat, kemudian dikomunikasikan dan komunikasinya dibangun di atas kepercayaan. Bagaimana mungkin bawahan bisa menerima dan mengikuti instruksi atasan bila bawahannya tidak ‘percaya’ kepada leadernya. Prinsip ini sangat dipahami oleh pemimpin efektif.

Keempat: Akuntabilitas (Pertanggungjawaban)

Dasar keempat adalah pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Banyak pemimpin yang akhirnya gagal menjalankan beberapa proyek karena melalaikan dasar ini. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang bersalah atas kegagalan organisasi, tapi ditujukan untuk menuntut pertanggungjawaban dari semua orang yang terlibat dalam organisasi tersebut. Prinsip ini memunculkan kaidah check-list; monitoring. 

Semua karyawan atau bawahan merasa diawasi sehingga setiap saat mereka terpacu untuk memberikan yang terbaik. Kalaupun suatu saat mereka ‘bisa saja’ merasa tidak diawasi, kinerjanya tetap bisa mengutamakan yang terbaik karena mereka juga akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya tersebut kepada atasannya di akhir pekerjaan / proyek.

*Picture is powered by google

Simak juga artikel berikut:
Empat Dasar Kepemimpinan Efektif
Mengatasi Bawahan yang Sulit
Modal Dasar kepemimpinan
The Power of FERI

2011/12/15

The Power of F.E.R.I

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan kerja mengenai value ataupun spirit dalam mengelola bawahan. Bahasa kerennya ‘Subordinate Management’ (Baca: Pengelolaan Bawahan/ Team). Ada banyak gagasan dan semangat mengenai value tersebut yang saya terima dari rekan-rekan kerja tadi. Semuanya hebat. Banyak yang mengutip para pakar manajemen kepemimpinan (dalam dan luar negeri). Ada juga yang mencoba mencari-cipta sendiri.

Kemudian, tiba  saatnya giliran saya yang menyampaikan value yang saya gunakan dalam mengelola team/ bawahan. Mungkin pada awalnya, begitu mendengar penjelasan saya, rekan-rekan tersebut mengira saya sok narsis. Kenapa? Karena saya mengajukan gagasan value berikut ini: The Power of F.E.R.I. Kekuatan FERI? Dan kebetulan F.E.R.I adalah sama dengan nama depan saya. Tentu tidak mengherankan jika mereka berfikir saya narsis. Namun saya punya penjelasan lain.

The Power of F.E.R.I. (baca: ef, e, er, i) bukanlah merujuk pada personal saya pribadi. Ia bermakna: Daya dari makna huruf F.E.R.I. Lalu, apa saja makna keempat huruf tersebut?

F: Freedom.
Kebebasan. Itu spirit yang sangat humanis yang wajib dimiliki oleh semua karyawan, karena itu hak mereka. Sehingga jelas itu akan saya utamakan dalam team. Tapi semua ada aturannya. Kebebasan yang bertanggung jawab adalah maksud saya dengan value ini. Terutama dalam menyusun rencana aksi dalam menghadapi tantangan berorganisasi, selain saya bisa memberikan instruksi langsung, juga sering saya lakukan pemberian ‘kebebasan’ kepada karyawan dalam menyampaikan inisiatif. Tidak jarang ide-ide segar dari karyawan sangat membantu organisasi untuk tetap runs well dan mencapai performa puncak.

E: Enthusiastic.
Antusias. Value ini diperlukan untuk menjadi pemantik api semangat dalam bekerja. Banyak ide segar yang ingin dikeluarkan oleh seorang karyawan pada saat meeting menjadi tidak ditanggapi oleh forum karena yang menyampaikannya tidak memperlihatkan antusiasme sedikit pun. Demikian sebaliknya, kadang ide yang biasa-biasa saja, namun karena dikemas dengan antusias oleh sang penggagas, ia menjadi menarik attensi forum dan menjadi boom.

Antusiasme ini (harus) saya lakukan setiap saat dalam berinteraksi di keorganisasian. Demikian pun pada bawahan/ team, mereka harus juga memperlihatkan antusiasme yang sama atau lebih. Karena antusiasme menunjukkan berapa serius kita dalam bekerja.

R: Rely on each other.
Saling mengandalkan, inter-dependent. Value ini harus dipahami secara teliti. Ia bermakna saling mengandalkan bukan dalam perspektif negative. Dalam kacamata negative, value ini terlihat mematikan semangat mandiri dan kinerja personal. Bukan. Samasekali bukan itu maksudnya. Value yang saya terapkan ini adalah spirit dalam team-work. Bahwa dalam organisasi, kita bukan pribadi yang terpisah dari yang lain. Semua personal yang terlibat saling terkait, saling terandalkan dengan fungsi masing-masing, saling tergantung sama lain. Karena tidak ada Mac Gyver dalam team yang bisa bekerja sendiri tanpa bantuan personal atau divisi lain.

Makna dasar yang coba saya sampaikan adalah semangat berkerja sama dalam menyelesaikan masalah atau tantangan yang dihadapi. Dengan kerjasama team, pekerjaan berat menjadi ringan, yang rumit menjadi sederhana. Karena ‘TEAM’ adalah Together Everyone Achieves More.

I: Internalization.
Internalisasi atau penghayatan nilai-nilai tertentu adalah sangat krusial. Karena kami bekerja di dunia service, maka semangat utama yang harus dan selalu kami junjung tinggi adalah pemenuhan kepuasan pelanggan (Customers Satisfaction). Penghayatan akan nila-nilai kepuasan pelanggan adalah syarat mutlak untuk menjadi karyawan yang berdedikasi di perusahaan. Dalam prakteknya, apapun yang dilakukan dalam organisasi atau perusahaan tersebut harus selalu refers to fulfill the customers’ needs; satisfaction.

Demikianlah empat value yang saya yakini baik dan bisa diterapkan dalam mengelola team/ bawahan agar team senantiasa efektif. Karena team yang efektif akan berdampak pada efisiensi dalam pengelolaan dan membuat organisasi menjadi solid dalam menghadapi tantangan apapun. Dan pada ujungnya mengantarkan organisasi pada goal yang ditetapkan.
*** 

Jika pembaca merasa artikel ini bermanfaat, sila saja digunakan atau disebarluaskan asal tetap menuliskan source-nya dan tidak mengklaim sebagai tulisan sendiri.

2011/11/15

Gandhi dan Walk the Talk


Picture is powered by google
Diceritakan pada suatu ketika ada seorang ibu yang mulai gusar dengan kebiasaan anaknya yang terus memakan permen. Sudah berkali-kali si ibu menasihati si anak agar tidak terus mengkonsumsinya. Si Ibu melarang karena khawatir gigi anaknya akan cepat berlubang dan rusak. Namun si anak tidak terlalu menghiraukan nasihat ibunya itu dan tetap saja meneruskan kesukaannya.

Hingga suatu ketika si ibu berniat minta nasihat ke seorang bijak yang dia kenal dan juga tokoh yang sangat dikaguminya, Mahatma Gandi. Ya, si ibu menemui tokoh besar india yang luar biasa itu. Dia membawa anaknya serta. 

Sampai di tempat tuan Gandhi berada, si ibu menceritakan maksud dan tujuan dari kedatangannya. Setelah mendengar semua cerita dari si ibu, tuan Gandhi hanya berucap, ‘Datanglah kembali, seminggu lagi’. Hanya itu saja kalimat dari pengajar gerakan a-himsa itu. Tidak ada kalimat lain yang disampaikannya. Karena hormatnya, si ibu menuruti, bersama sang anak ia kembali pulang ke rumahnya. 

Minggu depannya, si ibu kembali datang ke tempat Gandhi. Kemudian Gandhi menghampiri si anak dan menasihatinya. Setelah menerima nasihat dari Gandhi si ibu dan anak pun pulang. Benar saja, setelah menerima nasihat tersebut kebiasaan makan permen si anak berhenti total. Tentu saja si ibu sangat senang melihat perubahan dari anaknya itu. Namun ia bertanya-tanya dalam hati, ko bisa ya nasihat tuan Gandhi yang hanya sekali itu saja bisa merubah kebiasaan si anak.

Dengan rasa penasaran yang sangat, si ibu kembali menemui tuan Gandhi dan bertanya, ‘Wahai tuan guru, apa kiranya kalimat yang tuan guru nasihatkan ke anak saya?”. Tuan Gandhi menjawab dengan tenangnya, ‘Saya hanya minta, Nak, jangan makan permen lagi ya karena bisa merusak gigimu’. Ha, ekspresi si ibu semakin terlihat bingung. Terus si ibu menanyakan, “Kenapa kalau hanya dengan satu kalimat nasihat itu saja saya harus menunggu selama seminggu? Tuan Gandhi menjawab, “Ketika pertama kali ibu datang, saya masih suka mengkonsumsi permen juga. Sehingga saya meminta ibu untuk kembali menemui saya seminggu kemudian. Dan selama seminggu itu saya menghentikan kebiasaan saya makan permen”. 

Wow, luar biasa! sebuah kisah yang sangat inspiratif telah diajarkan oleh founding father India itu kepada dunia. Cerita ini demikian hebatnya sehingga sudah menjadi menu wajib bagi guru-guru kepemimpinan dalam menyampaikan contoh role-model leadership pada setiap trainingnya, atau istilah yang sering disampaikan oleh para trainer ilmu kepemimpinan masa kini adalah walk the talk. Laksanakan apa yang Anda ucapkan. Selaraskan ujaran dan tindakan. Back up your talks with real actions!

Kalimat yang berdaya ubah dahsyat terhadap sikap dan pandangan orang lain adalah kalimat lisan yang dibuktikan dengan tindakan. Walk the talk, seperti kisah di atas. Jika seorang pemimpin pandai berkata-kata, namun tindakan tidak menampilkan kesesuaian dengan perkataannya itu, percayalah, pemimpin seperti ini hanya sedang berjalan menuju pinggir jurang degradasi.

Semoga kita semua bisa menjadi pemimpin yang walk the talk, di level manapun kita berada. Amin. 

Bandung, 15 November 2011
*Dimuat juga di http://hminews.com