"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

2014/02/10

Manusia di pintu-pintu Kota

Berjejal memenuhi terminal-terminal.
Mengular antri di stasiun-stasiun kereta api.
Menumpuk bak laron di peron-peron.
Bergugus di halte-halte bus.
Menahan gerah di lampu-lampu merah.
Rombongan bermotor menyemut semrawut.
Pejalan, tak mengenal lamban dan perlahan.

Berlari... Berlari... Berlari...

Untuk apa mereka lakukan semua itu?
Terus mengejar bayang semu?
Pilihannya: hidup bergerak atau mati kaku!

Pintu-pintu masuk ke kota ini memang tak pernah berhenti dilewati.
Laki-wanita, tua-muda, keluar rumah mengais mimpi.
Berangkat subuh, lewat isya syukur sudah kembali.

Untuk apa mereka lakukan semua itu?
Terus mengejar bayang semu?
Pilihannya: hidup bergerak atau mati kaku!

Tak trengginas, kau kan tergilas.
Tak tegas, kau kan dilibas.
Tak keras, kau terkipas.
Jika getas, kau kan tertindas.

Berlari. Berlari. Berlari.
Tak ada manusia yang berjalan lamban, apalagi perlahan di pintu-pintu masuk kota ini.

Betapapun kerasnya, kota ini tetap menjadi gula.
Manisnya merasuk ke cita-cita pengelana.
Menghimpun semut-semut datang padanya.
Ada yang pesta pora: juara!
Tak sedikit yang didera lara nestapa: menderita!
Beruntung jadi raja, buntung jadi jelata.

Ya.
Kota ini memang bak sarang lebah.
Kau lihai, kau dapatkan madu yg mencumbu.
Kau lalai, kau dapatkan lebah yang menyengat.

Dan,
Pintu-pintu masuk ke kota ini memang tak pernah berhenti dilewati.

--
Jakarta, 10 Februari 2014
-FerSus-

*Picture is powered by google

2014/02/09

Harmoni yang Tercerai

Nun dari sana, dari kampung Andalas, burung-burung mengantar kabar.
Menyeruak dari bilah-bilah waktu.
Terdengar cuitan kemarau.

Sumur tak berair. Sungai tinggal kerikil. Jalanan retak. Tanah melempung, pematang sawah merekah.
Berapa bulan sudah mentari memaksa bumi melepas air menguap ke dia yang tinggi. Menguap...
Dedaunan kecoklatan, hampir putus harapan menahan cintanya pada klorofil. Pepohonan meranggas.

Di sini, di pulau ini, anak-anak di pengungsian. Menangis digendong para ibu. Kakek, nenek disekat tenda-tenda donasi. Muda-mudi menjajakan kotak amal di pinggir jalan yg tak dilewati.
Mengungsi.

Air kiriman itu terlalu berlimpah. Banjir lagi, ujar juru siar di kotak-kotak ajaib itu.

Kering dan basah. Kemarau dan hujan. Sejatinya pasangan abadi dari sang Abadi.
Sepasang, tiada terpisahkan.

Tapi kini, pasangannya lari.
Sembunyi berhari-hari. 
Hujan, hujan, hujan lagi.
Banjir lagi.
Kemarau sang cintanya hujan meninggalkannya berhari-hari.
Pergi ke sana, entah kapan kembali.

Inilah waktu ketika harmoni itu tercerai.
Manusia sana, manusia sini dituduh biang keladi.
Sampah menumpuk. Pembangunan kota yg tak terkendali. Bagai pasukan kavaleri yg baru latihan berderap lari. Sulit berhenti.

Oo. Kenapa tak mau periksa diri?


Jakarta, penghujung Januari 2014.
-FerSus-