"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2010/08/11

Kisah Perlawanan Terhadap Riba Sebuah Kota Kecil di Austria

(lumayan untuk ngabuburit)


Tahun 1932. Kala itu depresi besar sudah mulai melanda dunia. Michael Unterguggenberger, sang walikota, gundah-gulana. Sebagai pejabat
tertinggi Wörgl, ia punya segudang rencana untuk membangun kotanya.
Namun, di tengah-tengah deflasi yang melanda dunia, ia sadar tak
sanggup melakukan semua dengan keterbatasan uang yang tersimpan dalam kas kota. Dari 4.500 penduduk di kotanya, 1.500 adalah pengangguran. Sementara 200 keluarga, tak punya uang sesenpun.

Pada tanggal 5 Juli tahun itu, terilhami oleh gagasan Silvio Gessel tentang "free money", Unterguggenberger berbuat nekat. Bukannya menggunakan uang sebesar 40.000 schillings yang tersedia untuknya, ia menyimpannya ke dalam sebuah bank lokal untuk dijadikan jaminan bagi rencananya untuk menciptakan mata uang lokal alternatif yang komplementer. Mata uang itu dikenal sebagai stamp scrip. Bentuknya memang selembar kertas bak sertifikat yang ditambahi stempel untuk mengindikasikan masa berlakunya.

Setiap bulan, para pemegang stamp scrip harus mendapatkan stempel untuk menjaga supaya nilai mata uang tersebut tetap berlaku. Namun, setiap kali distempel para pemegang uang harus rela kehilangan 1% dari nilai yang tertera dalam mata uang yang dimilikinya. Hasil dari pemotongan nilai tersebut segera digunakan sang walikota untuk membangun dapur umum untuk memberi makan 220 keluarga yang tak punya uang tadi.

Karena tak ada orang yang mau kehilangan nilai uang sebesar 1%, hanya karena menjadi pemegang uang tersebut, mereka segera membelanjakannnya
secepat yang mereka bisa. Tak ada untungnya bagi mereka untuk
menyimpan mata uang tersebut. Walapun para pemegang stamp scrip sewaktu-waktu bisa menukarkan mata uangnya dengan schillings (dengan nilai sekitar 98% dari stamp scrip yang dipegangnya), namun jarang sekali ada yang mau melakukannya.

Dari semua pelaku bisnis di kota itu, hanya kantor pos dan kantor
kereta api yang menolak menerima pembayaran dengan stamp scrip. Ketika orang-orang mulai kehilangan ide untuk membelanjakan uangnya, mereka pun akhirnya memilih untuk membayar pajak lebih awal. Sehingga, hanya dalam waktu 13 bulan sejak proyek itu dimulai, Unterguggenberger telah mampu mewujudkan semua rencana proyeknya mulai dari pengaspalan dan penerangan jalan, distribusi air ke seluruh kota serta menanam pohon di sepanjang jalan-jalan kota (www.newciv.org).

Bukan hanya itu, ia juga berhasil membuat rumah-rumah baru, tempat penampungan air untuk kota, tempat untuk bermain ski serta jembatan.
Secara ajaib, orang-orang mulai menggunakan stamp scrip untuk menanam kembali hutan, dengan harapan untuk memperoleh pemasukan secara berkesinambungan dari hasil pohon-pohon yang merekat tanami.

Kunci dari kesuksesan mata uang alternatif, yang tidak saja tanpa
bunga atau riba tapi malah berbunga negatif tersebut, tak lain
terletak pada kecepatan sirkulasinya untuk menghidupkan ekonomi lokal.
Diperkirakan, kecepatannya 14 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
mata uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, hal ini
meningkatkan perdagangan, menciptakan serta lapangan kerja lebih luas.
Pada saat itu, Wörgl merupakan satu-satunya kota di Austria yang tidak mempunyai pengangguran.

Banyak ekonom memperkirakan bahwa depresi yang melanda dunia kala itu, kurang lebih sama dengan situasi yang bakal dialami dunia akibat krisis finansial global saat ini. Persoalan besar yang dihadapi justru bukanlah inflasi, tetapi deflasi. Harga-harga memang turun, tetapi uang begitu sulit didapatkan. Orang yang memiliki uang pun cenderung untuk menyimpan, bukannya membelanjakan.

Depresi dimulai dengan rontoknya bursa saham di Wall Street tahun 1929 yang membuat aset-aset berbagai korporasi, khususnya bank-bank besar hancur berantakan. Seperti halnya dengan krisis finansial saat ini, pada saat itu para pemilik modal, khususnya perbankan, lebih suka memutar uangnya di pasar finansial atau "ekonomi kasino" ketimbang menyalurkannya di sektor riil. Lama-kelamaan nilai aset-aset kertas di Wall Street sudah jauh meninggalkan aset riil. Lalu, ketika sudah terjadi oversupply dan tak ada lagi yang mau membeli saham dengan harga kelewat tinggi, secara alamiah harga-harga menukik jatuh.

Obsesi untuk mendapatkan "bunga" dari para pemilik modal, merupakan akar dari sistem seperti ini. Bukannya digunakan sebagai alat tukar, mereka yang memiliki uang berlebih memilih untuk mengakumulasikannya.
Yang berakibat, mandegnya perdagangan, meningkatnya pengangguran serta melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin -- terutama karena sulitnya mayoritas publik untuk mengakses uang.

Pihak perbankan yang menjadi motor utama dari sistem riba ini, pun ketika mendapatkan bantuan likuiditas dari pemerintah tidak berupaya untuk menolong sektor riil melalui kucuran kredit. Mereka lebih memilih menahan uang serta menyeimbangkan catatan pembukuannya dari berbagai kerugian -- tindakan yang justru membuat krisis finansial
berubah menjadi resesi kemudian depresi.

Ekseperimen yang dilakukan di Wörgl pada tahun 1932, justru membalik logika riba yang sering dilakukan perbankan. Bukannya mengenakan bunga, mereka mengenakan biaya bagi pihak yang memegang uang dalam waktu yang lama. Hal ini berdampak pada bangkitnya perekonomian yang lesu.

Bernard Lietaer (The Future of Money), tokoh yang banyak melakukan studi dan eksperimen tentang mata uang alternatif menyimpulkan bahwa hanya mata uang dengan "bunga negatif" atau negative currency yang memungkinkan lahirnya perekonomian yang tidak mengandalkan pada growth
atau pertumbuhan. Obsesi pada pertumbuhanlah yang menciptakan keserakahan untuk merusak lingkungan serta membiarkan separuh dunia kelaparan seperti yang sudah terjadi pada jaman ini.

"Agama pertumbuhan" ini percaya bahwa akan ada invisible hand atau "tangan ajaib" yang akan mencegah peradaban dunia dari kerusakan atau keruntuhan akibat makin menipisnya sumber daya alam. Sayangnya, bukti ilmiah tidak menunjang optimisme semacam itu. Berbagai riset sains -- termasuk evaluasi mutakhir di tahun 2007 terhadap skenario Limits to Growth yang dipresentasikan oleh para saintis MIT dan Club of Rome di tahun 1972 -- menunjukkan bahwa tanpa ada perubahan mendasar terhadap pola perkembangan ekonomi dunia, beberapa dekade lagi kita akan melihat kejatuhan peradaban yang lebih dahsyat.

Hal yang akan ditandai dengan populasi yang makin tak terkendali,
persediaan makanan yang makin langka, polusi atau kerusakan lingkungan yang sangat cepat, total produksi industri yang berlebih serta menipisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Sayangnya, eksperimen Wörgl tidak berlanjut. Padahal saat itu, 6 kota tetangga telah ikut pula mengadopsi sistem tersebut dengan sukses.

Perdana Menteri Perancis, Eduoard Dalladier, melakukan kunjungan
khusus untuk melihat keajaiban di Wörgl. Bulan Juni 1933,
Unterguggenberger hadir dalam pertemuan dengan ratusan perwakilan kota dan desa untuk mencari tahu lebih jauh mekanisme mata uang alternatif yang diciptakannya. Kebanyakan tertarik untuk menerapkannya.

Pada titik inilah, bank sentral Austria merasa terancam. Mereka
memutuskan melarang mata uang alternatif, meskipun sifatnya
komplementer. Upaya publik untuk menuntut keputusan bank sentral
berakhir dengan kekalahan di Mahkamah Agung. Mata uang alternatif dianggap kejahatan kriminal. Belakangan, gagasan Unterguggenberger ini dianggap berbau komunis, kemudian dianggap fasis -- dua kekuatan yang sejak awal menolak adanya mata uang lokal.

Tahun 1934, Wörgl kembali mencatatkan 30% angka pengangguran. Tahun itu juga, kekacauan sosial melanda seluruh Austria. Empat tahun kemudian, ketika Hitler menganeksasi Austria, banyak orang bermimpi bahwa dia bisa menjadi juruselamat yang baru.

Perjuangan mewujudkan mata uang yang anti terhadap riba, bunga atau usury, untungnya tak pernah berhenti. John Maynard Keynes memuji gagasan ini di tahun 1936 dalam karyanya, General Theory of Employment, Interest and Money. Di Swiss, sistem ini kemudian berkembang dan memunculkan WIR Bank. Dalam pengamatan Lietaer, sistem WIR ini sanggup menahan Swiss dari dampak berbagai krisis finansial yang telah terjadi berulang kali. Studi Lietaer juga menunjukkan bahwa saat ini telah ada ribuan komunitas di berbagai belahan dunia yang telah menggunakan mata uang alternatif dalam berbagai bentuk dan mekanisme.

Semoga kita bisa belajar dari semua ini.

***
Oleh: Wandy Nicodemus Tuturoong

(Sebagian besar bahan diperoleh dari www.newciv.org, www.lietaer.org
serta www.transaction.net).

2010/02/19

Cara Bijak Melampiaskan Marah

KOMPAS.com - Melalui latihan, penghuni LP Cipinang jadi lebih mudah mengendalikan hasrat marahnya. Begitu hasil penelitian Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc, di rumah tahanan itu. Lalu apa yang harus diperbuat bila berpura-pura tidak marah juga bisa menghasilkan ledakan yang bakal merepotkan orang di sekitarnya?

Pepatah Arab kuno mengatakan, kemarahan diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Adagium itu mungkin tak sepenuhnya benar, meski bukan berarti keliru. Yang jelas, kemarahan erat berkait dengan kepribadian serta pengalaman batin seseorang. Faktor eksternal sebagai pemicu, tentu saja sangat sangat menentukan bagaimana orang mengekspresikan kemarahannya.

Seperti emosi-emosi lain yang terberi, yaitu sedih, gembira, dan kecewa, amarah juga merupakan emosi normal manusia. Masalahnya adalah bagaimana kita mengelola kemarahan itu supaya tidak menjadi liar dan menjurus ke tindak negatif. Pada titik paling ekstrem, kemarahan bisa diikuti tindakan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Lalu, apakah kita tidak boleh marah?

Ada cerita tentang orang yang sangat jarang marah. Namanya Pak Makruf. Para tetangga mengenalnya sebagai orang yang luar biasa penyabar. Belum pernah sekali pun ia marah di depan umum. Keluarganya pun mengaku sangat jarang melihat ia marah, kecuali sesekali melotot kesal. Pernah, suatu hari seorang pengendara motor ngebut melanggar genangan air, sehingga air kotor menciprat ke celananya yang bersih. Ia cuma tertegun sejenak dan berkata,"Mungkin ia buru-buru karena ada urusan gawat."

Pura-pura Penyabar
Ada beberapa orang yang seperti Pak Makruf. Mereka terlihat sangat tenang dan tidak mau mengumbar kemarahannya. Apakah mereka telah berhasil mengelola amarahnya? Jawabnya adalah belum tentu. Pasalnya, ada dua alternatif skenario yang bisa menimpa atau sedang terjadi pada orang-orang seperti itu.

Pertama, meski ia berhasil meredam setiap emosi kemarahannya sehingga tidak meledak ke luar, ternyata ia sekaligus menimbun emosi itu dalam hatinya. Untuk sesaat, penimbunan itu memang tidak berdampak buruk. Bahayanya adalah, orang-orang tipe ini sangat rentan meledakkan amarahnya dengan intensitas dan kesengitan yang luar biasa. Parahnya, banyak orang di sekitarnya justru tidak menduga ia akan berbuat sekeras itu. Akumulasi kepingan-kepingan amarahnya bisa membangkitkan kekuatan kemarahan yang sangat luar biasa.

Skenario kedua adalah, orang tersebut memang benar-benar sukses mengelola kemarahannya. Ia mampu mengendalikan segala emosinya dengan baik. Dengan latihan terus-menerus dan pemahaman yang baik tentang kemarahan, bukan tidak mungkin ia telah berhasil berdamai dengan dirinya. Agama, filsafat, latihan mental, dan pengalaman hidup adalah faktor-faktor yang sangat membantunya. Jika ia 'tidak marah', bukan berarti ia memang benar-benar tidak marah. Ia berhasil mengendalikan amarahnya supaya tidak meledak ke luar. Perbedaannya dengan tipe pertama sangat jelas, orang-orang golongan ini melakukannya dengan tulus dan semangat untuk menjadi lebih sabar.

Tipe lainnya adalah orang yang sangat 'hobi' marah-marah. Masalah kecil saja, telah cukup untuk meledakkan amarahnya. Semprotan kalimat-kalimat 'tak berbudaya' sudah biasa keluar dari mulutnya. Bukan tidak mungkin kemarahannya itu juga diikuti tindakan fisik. Dalam kasus seperti ini, biasanya yang menjadi korban adalah anggota keluarganya. Orang-orang ini tak peduli, bagaimana kemarahannya itu akan berakibat pada orang-orang terdekatnya.

Marah Secara Alami
Idealnya, kalau bisa tidak marah, memang tidak perlu marah. Untuk apa kita marah, karena justru bisa menimbulkan masalah baru. Tapi, memang hanya orang-orang tertentu yang bisa memadamkan api kemarahannya tanpa meninggalkan jejak berbahaya.

Sebagai manusia normal, kita masih perlu marah dan mengekspresikan kemarahan itu. Cuma, yang perlu diingat adalah cara dan bagaimana mengekspresikannya. Untuk kasus tertentu, misalnya kemarahan diperlukan untuk memperingatkan seseorang agar dia tidak mengulangi kesalahan serupa. Marah di sini bukan berarti Anda bebas mengeluarkan kata-kata 'sadis' yang berpotensi melukai hatinya, apalagi sampai menyakiti fisiknya.

Anda bisa mengajaknya bicara. Tidak perlu harus berbaik-baik, sewajarnya saja. Jika Anda kesal, bicaralah dengan kesal. Yang penting Anda ekspresikan kemarahan itu dengan alami. Sebab, sebelum kemarahan meledak ia pasti akan melalui beberapa tahapan. Sangat jarang terjadi kemarahan pada orang-orang terdekat kita tiba-tiba meledak begitu saja. Kesal, dongkol, sedih, biasanya adalah tahap-tahap awalnya. Dan saat-saat itulah waktu untuk sejenak merenung dan memikirkan apa dampak negatifnya jika kemarahan itu dilampiaskan begitu saja. Apa untung dan ruginya? Ingat, kemarahan itu tujuannya untuk mengingatkan bukan memuaskan emosi Anda.

Manajemen Marah
Pada umumnya, kita lebih mudah marah pada orang-orang terdekat, keluarga kita misalnya. Sementara dengan orang-orang yang tidak kita kenal, kita bersikap lebih lunak dan tidak begitu peduli.

Tapi, banyak pula kasus di mana kita marah pada orang yang kita temui di jalan. Jika ada orang yang memicu kemarahan Anda, jangan lupa berpikir, perlu tidak kemarahan itu dituruti. Jangan-jangan hidup kita justru lebih tenteram dengan tidak meledakkan amarah kapan pun kita suka.

Langkah yang musti diambil saat kita benar-benar dikuasai kemarahan adalah, paksa diri kita untuk tetap terkontrol dan berpikir sehat. Banyak kasus penyaniayaan dan pembunuhan terjadi karena kemarahan yang tidak terkontrol. Istilah kalap dan gelap mata mungkin bisa menggambarkan kondisi tersebut. Karena itu, di luar negeri sudah banyak didirikan klinik rehabilitasi kemarahan seperti halnya klinik rehabilitasi kecanduan alkohol dan narkoba. Mereka biasa menyebutnya anger management.

Beberapa waktu lalu, Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc., melakukan rehabilitasi kemarahan di LP Cipinang, Jakarta. Livia adalah konsultan psikologi yang banyak menangani kasus kekerasan dalam rumahtangga. Di sana, ia membentuk grup-grup diskusi untuk membicarakan faktor-faktor pemicu kemarahan dan bagaimana mengatasinya. Setelah pelatihan tersebut, para peserta mengaku lebih mampu mengontrol diri dan tidak gampang lepas kendali.

Salah satu cara yang dipakai untuk mengelola marah ini adalah metode pengalihan perhatian. Saat hati dikuasai kemarahan, lakukanlah hal-hal yang bisa menyita konsentrasi Anda, misalnya menulis surat atau mengerjakan tugas-tugas yang belum beres. Anda bisa pula mendengarkan musik, mencuci mobil, bersih-bersih rumah, jalan-jalan ke mal hingga belanja. Bagi yang bersifat agresif bisa menyalurkannya lewat olahraga, bahkan memukuli sansak. Menyediakan karung pasir sebagai sasaran tinju adalah salah satu alternatif ampuh. Sementara itu, dengan beres-beres rumah Anda telah membimbing pikiran untuk mengatur sesuatu pada tempatnya dengan rapi.

Mungkin pada awalnya agak sulit dilakukan, sebab hati dan pikiran Anda masih dikuasai kemarahan. Tapi, lakukanlah terus aktivitas itu sepenuh hati. Biarkan konsentrasi Anda terpecah antara mengerjakan sesuatu dan memikirkan kemarahan. Lama-lama Anda akan terbiasa, bahwa kemarahan adalah sesuatu yang wajar, yang tidak harus dilampiaskan dengan berteriak atau meninju sesuatu.

Tapi, jika suatu saat Anda benar-benar marah, langkah pertama yang harus diingat adalah menarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan-lahan. Lakukan itu beberapa kali sambil mengingat pepatah di awal tulisan ini. Kemarahan selalu diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Jadi, jika Anda masih ingin selalu dikendalikan oleh kesadaran dan tidak ingin mengalami penyesalan, buat apa marah?

2010/02/01

Airnya Yang Keruh, Atau Dispensernya Yang Berdebu?

Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.



Apakah anda pernah berurusan dengan para pemakai ’topi negatif?’ Apapun yang anda katakan, mereka selalu menanggapinya secara negatif. Sekalipun anda membicarakan sesuatu yang positif, dimata mereka tetap saja negatif. Bahkan, sekalipun mengakui bahwa gagasan anda mengandung sisi positif, mereka tetap berdiri disudut pandang negatif. Walhasil, mereka tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang anda sampaikan. Eh, jangan-jangan; yang memakai topi negatif itu kita sendiri, ya?



Teman saya yang bekerja disebuah perusahaan air minum dalam kemasan bercerita tentang seorang pelanggan yang komplain dengan sangat garang. Sungguh seorang pelanggan yang sadar bahwa ’Customer is King’. Didorong oleh dedikasi, teman saya mengunjungi rumah sang pelanggan untuk menindaklanjuti pengaduannya. Tahap pertama yang dilakukan oleh teman saya adalah memastikan bahwa air minum yang dibelinya memang asli keluaran perusahaannya. Ternyata asli. Jadi, seharusnya air itu mencerminkan komitmen perusahaan terhadap kualitas air yang dipasarkannya.



Tahap kedua, teman saya menginspeksi tata cara penanganan air tersebut. Termasuk diantaranya kondisi dispenser yang digunakan tuan rumah. Pemeriksaan tidak hanya dibagian yang mudah terlihat, melainkan juga bagian dalamnya. Dan dengan disaksikan oleh tuan rumah, pemeriksaan itu menghasilkan ’beberapa telur kecoa’ dan biangnya sekalian. Sekali lagi, salah satu sifat ’lemah’ manusia muncul. Jika air yang keluar dari dispenser kita kotor, kita berkesimpulan bahwa air yang kita beli kualitasnya buruk. Dan pihak yang harus bertanggungjawab adalah produser air itu.



Dalam banyak situasi, kisah nyata yang diceritakan oleh teman saya itu sangat mirip dengan keseharian kita. Kita cenderung melihat ’keluar’ daripada ’kedalam’. Makanya tidak heran jika ada saja orang-orang yang selalu memandang negatif terhadap pemikiran, gagasan dan pendapat orang lain. Dari sudut pandang ilmu perilaku, hal semacam itu disebut dengan istilah ’judgemental’. Orang dengan sikap ’judgemental’ selalu terfokus kepada kelemahan pendapat orang lain. Sehingga, terhadap apapun yang dikatakan oleh orang lain; dia selalu berusaha menemukan sisi buruknya. Tidak peduli betapa baik dan mumpuninya gagasan seseorang, pasti ada celah untuk diserang. Lagipula, bukankah kita percaya pada dogma ’tidak ada yang sempurna’?



Lho, bukankah kemampuan seseorang untuk menemukan titik lemah adalah salah satu ciri kecerdasan? Itu betul. Karena kemampuan untuk berpikir kritis adalah tanda dari orang-orang yang IQ-nya tinggi. Namun, kita semua tahu, bahwa IQ bukanlah faktor penentu utama dalam mengukur kualitas diri seseorang. Karena, tanpa standar kecerdasan lain, seseorang dengan IQ tinggi hanya mirip mesin hitung. Sederhananya, ’berpikir kritis’ ada di daerah ’kedigdayaan’ IQ, sedangkan ’menemukan cara terbaik untuk ’mengekspresikan’ beda pendapat ada di wilayah ’kearifan’ EQ. Dan untuk membangun interaksi positif manusia butuh kedua-duanya. Makanya, orang-orang yang hanya cerdas IQ tapi rendah EQ, sering dilanda frustrasi karena kegagalannya untuk meraih penerimaan orang lain atas ’kecanggihan’ dirinya.



Tahap ketiga yang dilakukan oleh teman saya adalah menunjukkan cara membersihkan dispenser, dan tips merawatnya agar tetap bersih. Dan setelah dispenser itu dibersihkan, ternyata air yang keluar dari dalamnya juga bersih. Boleh jadi, bukan gagasan atau sumbernya yang bermasalah, melainkan kepala dan hati kita yang berfungsi seperti dispenser itu yang kurang bersih. Sehingga kalau kita bersedia membersihkannya, akan kita temukan kebenaran, dan kejernihan dari gagasan yang datang dari orang lain. Mengapa kita butuh itu? Karena, orang paling cerdas sekalipun tidak mampu menemukan semua solusi. Sehingga, kesediaan kita untuk menerima gagasan dan masukan dari orang lain dengan hati yang bersih menjadi faktor penting. Apakah itu berarti kita harus selalu setuju dengan gagasan orang lain? Tidak juga. Namun, setidak-tidaknya kita bisa bertukar pikiran dengan itikad yang baik, melalui cara yang baik, untuk menemukan solusi terbaik.



Mengapa begitu? Karena, dari sudut pandang ilmu komunikasi, bukan hanya isi atau konten yang harus baik, melainkan juga bagaimana cara menyampaikannya. Jika menerapkan prinsip ini, mungkin kita bisa menghindari konflik yang terjadi karena salah satu pihak merasa benar sendiri. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersedia membersihkan ’dispenser’ didalam dirinya sendiri. Caranya? Antara lain, (1) Menghargai hak orang lain untuk menyampaikan gagasan, (2) Membuka diri akan kemungkinan kebenaran pihak lain, (3) Menenpuh jalan elegan saat berbeda pendapat, dan (4) Jikapun tidak bisa mencapai kata sepakat, junjung tinggilah norma yang berlaku dimasyarakat.



Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman

“SS-Pro™ Office Communication Strategy” Learning Facilitator

http://www.dadangka darusman. com/



Catatan Kaki:

Kualitas diri seseorang tidaklah semata-mata dinilai dari kecanggihan hasil pemikirannya. Melainkan juga, melalui cara dia menyampaikannya.



Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul ”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo. com