"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2010/10/08

Psikologi Korupsi

Setiap tindakan seseorang selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung-rugi sebelum seseorang melakukan. Termasuk ketika melakukan korupsi.

Salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.

Ada ungkapan klasik, it is money that makes the world in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat tukar yang sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang didesain secara khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, sebaliknya, diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah kemudian muncul kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika alat tukar masih berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, bukannya korupsi berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam waktu yang amat cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku agar sulit ditelusuri oleh pengawas.

Ketika jumlah penduduk bumi sudah di atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah dilakukan.

Karena kekayaan saat ini berupa uang, maka yang dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, sekalipun uangnya tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa dengan lahan sawah yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor pajak karena di situ terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka lagi jika orang merasa kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan di bank asing. Bukankah uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan di bank asing, sama halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga mereka itu tak ubahnya sebagai gerombolan economical vampire.
Musuh rakyat dan negara

Kalau korupsi dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat negara ataupun perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, dampaknya tidak begitu terasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah bendungan raksasa akan jebol bermula dari kebocoran yang kecil dan tidak segera diatasi. Begitu pun sebuah bangunan besar akan habis termakan api yang dimulai oleh jilatan api yang juga kecil.

Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.

Jadi, masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri. Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang-undang pembuktian kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.

Di kalangan sufi terdapat keyakinan kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan mengundang semut, maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika rezeki yang masuk aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya akan mudah tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan. Syaitan adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya destruktif.

Jadi apa yang dilakukan koruptor sesungguhnya menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan rakyatnya. Bangsa dan negara yang sehat dan bermartabat pasti akan membenci korupsi. Bahkan, negara komunis dan sekuler yang tidak bertuhan pun antikorupsi demi menjaga masyarakatnya agar sehat dan sejahtera. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah, bahwa misi utama risalahnya adalah membentuk akhlak yang terpuji. Orang yang mengaku beragama, tetapi membuat orang lain sengsara, dikatakan mendustai agama dan Tuhan. Begitu firman Allah. Nilai hidup macam apakah yang akan diwariskan kepada anak dan masyarakat jika hidupnya bangga bergelimang korupsi?

Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta [Kompas, 13/04/10]

Pelayanan Membuat Hidup Berarti*

Pada tahun 1920-an, peneliti Belanda datang ke Bali dan menemukan, dalam kamus hidup orang Bali saat itu, tidak dikenal istilah kesenian sebagai pertunjukan komersial.

Semua gerak kehidupan (bertani, mengukir, menari) dilakukan sebagai rangkaian persembahan. Maka, salah satu arti Bali adalah persembahan.

Tidak ada yang sempurna di bawah langit kendati Bali pernah digoda bom teroris. Amat terasa penderitaan setelah itu. Namun, Bali tidak saja bangkit, bahkan kemudian dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata terbaik dunia oleh media global.

Bila boleh jujur, ada roh yang bersemayam di balik karisma Bali yang kerap disebut surga terakhir oleh masyarakat internasional. Roh itu tumbuh ribuan tahun sebagai percampuran agama dan seni. Perpaduan keduanya lalu dipersembahkan sebagai rangkaian pelayanan.

Bali menjadi sumber inspirasi Indonesia yang masih menyimpan banyak lubang pelayanan, terlebih saat nurani publik terlukai skandal korupsi. Bila Bali bisa berkarisma dengan pelayanan sebagai penggabungan agama dengan seni, mengapa Indonesia tidak bisa? Dalam agama dan seni, Indonesia kaya nilai yang menjunjung tinggi pelayanan.

Pelayanan

Dulu, hanya pedagang yang tekun mencari keberuntungan. Kini, ia merambah ke mana-mana. Rumah, tempat kerja, taman, semua ditata sehingga keberuntungan datang dari segala penjuru. Dan ukuran keberuntungan, apalagi kalau bukan kekayaan. Ini layak dihormati. Masyarakat Barat sudah berjalan jauh di depan dalam hal kekayaan.

Namun, kemajuan ala Barat ini memakan biaya mahal. Baru di zaman ini terjadi banyak rumah sakit jiwa penuh, sebagian pasien yang belum sepenuhnya sembuh terpaksa dipulangkan karena ada pasien baru yang lebih parah dan lebih membutuhkan. Lembaga pemasyarakatan kehabisan ruang untuk menampung narapidana, sebagian remisi terpaksa diberikan karena ruang yang ada sudah tidak manusiawi. Angka perceraian naik tajam. Keadaban manusia tidak mampu mengerem perang dan terorisme. Seorang guru dari Timur pernah menginap di salah satu rumah orang superkaya di Amerika Serikat. Rumahnya supermewah, tetapi yang mengejutkan, di kamar mandi tersedia banyak pil tidur.

Contoh termutakhir di negeri ini adalah dibukanya rekaman percakapan sejumlah pihak yang mau membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terlihat, bagaimana nafsu berlebihan akan kekayaan bahkan bisa menghancurkan seluruh tatanan hukum sebuah negara. Dalam totalitas, tidak ada yang melarang mengejar kekayaan. Namun, karena demikian besarnya ongkos nafsu berlebihan akan kekayaan, mungkin layak merenung ulang pengertian keberuntungan.

Tetua di Timur telah lama mengenal kearifan tentang kucing yang mengejar ekornya. Semakin dikejar semakin lari. Saat tidak dikejar, ia berhenti. Dalam bahasa Franz Kafka: makna kehidupan baru terbuka ketika manusia belajar berhenti.

Anehnya, saat berhenti bukan kehilangan makna, malah menemukan. Ini yang bisa menjelaskan mengapa ada guru meditasi menyarankan, kehidupan serupa air di gelas. Setenang apa pun tangannya, bila air di gelas dicoba ditenangkan dengan cara memegangnya, ia tetap bergerak, maka letakkan saja.

Saran meletakkan tentu bukan berarti semua harus meninggalkan kota untuk pergi ke hutan, atau semua orang duniawi harus meninggalkan keseharian untuk bermeditasi. Sekali lagi bukan. Meletakkan keinginan berlebihan, bahwa hidup harus sesuai tuntutan ideal, untuk kemudian mendalami ternyata keberuntungan, tidak saja ada dalam tujuan-tujuan ideal, tetapi juga dalam tiap langkah pelayanan. Pertumbuhan tidak saja memerlukan kehebatan hasil, juga merindukan kelembutan proses.

Siapa pun yang diberi berkah spiritual untuk bisa melihat Nusantara, lebih-lebih di putaran waktu saat negeri ini akan runtuh oleh skandal korupsi, akan menitikkan air mata saat mengetahui bahwa Mohammad Hatta, salah satu proklamator, ternyata mengisi hidupnya di jalan pelayanan. Di sebuah Jumat, istrinya mengatakan kalau tabungan baru cukup untuk membeli mesin jahit. Dan karena kesibukan, akan ke toko hari Senin. Pak Hatta tahu kalau Senin berikutnya tabungan itu tidak akan cukup karena beliau sendiri yang akan mengumumkan kebijakan pemotongan uang pada hari Senin. Namun, karena meletakkan kepentingan publik di kepala, kepentingan pribadi di kaki, Pak Hatta diam seribu bahasa. Serupa dengan Mahatma Gandhi dan Bunda Theresa, mereka mengisi hidup dengan pelayanan, semakin lama bukannya semakin redup, malah semakin bercahaya.

Becermin dari sini, seorang guru menulis, dalam kehidupan para bijaksana, sukacita datang dari ketulusan untuk terus memberi. Persis seperti burung putih di salju. Menyediakan tangan bantuan tetapi tidak kelihatan.

Dalam perspektif ini, bisa dimengerti bila salah seorang penekun meditasi di Barat setelah mengalami pencerahan kemudian bukannya mengenakan baju suci, tetapi menjadi sopir taksi. Inilah keberuntungan sejati: tercerahkan, melakukan tugas pelayanan dan tidak kelihatan.

Mungkin itu sebabnya di negara maju pekerja birokrasi tidak disebut pegawai negeri, tetapi pelayan publik. Melayani, itu dan hanya itu alasan birokrasi dan profesi dibentuk. Melayani, itu dan hanya itu tugas manusia yang tercerahkan. Dan tugas pelayanan menjadi menggetarkan bila ada yang bisa membaca pesan suci di balik kisah burung putih di salju.

Andaikan banyak pemimpin, pendidik, penyembuh, praktisi hukum negeri ini yang tergetar hatinya dengan kisah burung putih di salju, terterangi batinnya oleh roh pelayanan Pulau Bali, tidak terhitung banyaknya kemiskinan yang bisa diusir dari Nusantara. Tidak terhitung banyaknya bunuh diri, depresi, kriminalitas, perceraian, dan penyakit sosial lain yang bisa dihindarkan. Sekaligus berhenti menyebarkan virus negatif yang membuat alam terus menggoda dengan bencana.

Dan yang paling penting, hanya dengan melayani kejujuran, maka luka publik mungkin terobati.

Gede Prama)
Penulis Buku Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan: Mengolah Bencana Menjadi Vitaminnya Jiwa
*Judul Asli: Saat Nurani Publik Terlukai

2010/08/24

Maka, Menulislah!

Mari belajar dari kebangkitan bangsa Barat setelah masa kegelapan, yang dikenal luas dengan istilah renaissance dalam bahasa Perancis atau rinascimento dalam bahasa Italia; arti harafiah: kelahiran kembali). Inilah sebuah kelahiran kembali atas semangat keilmuan Yunani Kuno atau Romawi Kuno.

Kita melihat semangat tulis bacanya begitu gegap gempita di masa itu. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama mulai terlihat kebangkitan keilmuan bangsa-bangsa Eropa yang pada awalnya masih diselimuti oleh awan kegelapan (the darkness era). Setelah kehidupan tidak lagi dikontrol oleh kerajaan-kerajaan lalim, dan setelah masyarakat tidak lagi dikuasai dalam banyak hal oleh gereja di saat itulah kebangkitan manusia Eropa dalam hal keilmuan dan penemuan-penemuan baru (new invention) bermula. Dan akhirnya universitas-universitas modern pun mulai tumbuh subur di seantero Eropa.

Hingga hari ini kita mendengar cerita tentang kebangkitan ilmu pengetahuan itu. Hari ini kita mengenal banyak ilmuwan dari masa itu. Adalah karena ada yang menceritakannya. Ada yang merekam jejaknya. Ada yang menuliskannya. Sehingga kejadian-kejadian keilmuan pada masa itu bisa ditelusur dan dipelajari hingga saat ini. Di sinilah letak hebatnya tulisan. Melalui tulisan, peristiwa yang awalnya terikat pada ruang dan waktu jadi bisa melintasi zaman. Menembus ruang dan waktu.

Pada tulisan kali ini saya tidak akan membahas renaissance itu lebih jauh. Yang ingin saya sampaikan melalui tulisan singkat ini adalah tentang besarnya pengaruh budaya tulis baca terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Betapa tidak, semenjak maraknya budaya menulis, apakah tentang kesusasteraan, ilmu pengetahuan alam, filsafat, matematika, ekonomi dan ilmu lainnya, terlihat jelas semenjak itu pulalah kemajuan peradaban Eropa modern mulai tumbuh.

Para sejarawan telah menyebutkan bahwa semangat menggali pengetahuan dengan peningkatan budaya tulis baca itu adalah salah satu hutang budi bangsa Eropa terhadap peradaban Islam. Titik singgung utama antara Eropa pasca abad pertengahan adalah kerajaan Spanyol Islam. Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains disamping bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini. Namun penolakan gereja ini sudah tidak dihiraukan lagi bagi pegiat ilmu pengetahuan dan masyarakat pada umumnya.

Setelah peradaban Eropa maju. Hal yang sebaliknya justru berlaku di sebagian kalangan Islam. Ilmu pengetahuan mulai tidak terlalu jadi prioritas pembangunan bangsa. Gairah tulis baca mulai menghilang. Dan lambat laun kemajuan yang diharapkan menjadi impian yang tampaknya akan masih lama diraih.

Kembali pada judul tulisan ini: Membaca dan Menulislah.

Persoalannya adalah tidak semua orang bisa menulis meskipun dia bisa membaca. Padahal seharusnya budaya tulis baca itu adalah dua sisi yang sejalan. Tingginya minat baca suatu komunitas karena tersedianya media baca yang cukup. Sementara media baca (buku, koran, tabloid, jurnal, dll) dihasilkan oleh para penulis. Dengan demikian penulis dan penikmat tulisan bersimbiosis mutualisme. Keberadaan keduanya adalah hal yang niscaya untuk tumbuhnya budaya tulis baca yang tinggi.

Budaya tulis baca yang tumbuh subur akan memicu semangat pembaruan, semangat pencarian kebenaran, dan bisa menjadi trigger bagi ilmuwan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru. Banyaknya penemuan baru, baik di bidang pengetahuan sosial dan science (teknologi), adalah salah satu indikasi kemajuan bangsa, disamping indikasi ekonomi dan stabilitas keamanan, dlsb.

Betul, menulis itu lebih sulit dari sekedar membaca. Namun ia bukanlah hal yang tidak dapat kita lakukan. Inspirasi sederhana dalam membuat tulisan adalah apapun yang terlintas dalam pikiran kita bisa dituangkan ke dalam tulisan. Ya, sesederhana itu. Masalahnya adalah kita mau melakukan atau tidak. Bukan masalah bisa atau tidak. Karena begitu kayanya perbendaharaan kata dalam pikiran yang terlintas di otak kita. Para pegiat kajian NLP (Neuro Linguistic Program) menyatakan bahwa dalam satu hari tidak kurang dari 65ribu lintasan pikiran yang diolah oleh otak manusia. Dan setiap lintasan pikiran itu membawa banyak kata-kata. Jadi , bisa dibayangkan betapa banyaknya potensi tulisan yang kita bisa hasilkan dalam setiap harinya. Itu jika kita mau melakukannya.

Karena pada prinsipnya manusia itu sudah memiliki kemampuan dasar menalar dan berujar. Pertemuan kemampuan potensi nalar dan ujar pada diri manusia itu membuat ditinggikan derajatnya daripada makhluk lain. Nalar dan ujar yang dikomunikasikan itulah adalah bahasa. Salah satu media bahasa adalah ujaran dan tulisan.

Di atas sengaja saya sampaikan salah satu contoh hebatnya pengaruh budaya menulis-baca bagi perkembangan kemajuan suatu bangsa. Dengan menceritakan sedikit tentang kebangkitan bangsa Eropa tersebut, saya berharap bisa menggugah kemauan menulis kita yang mungkin sedang tertidur. Sehingga kemauan menulis kita bisa bersemangat lagi.

Dengan semangat itu, Ayo, kita mulai menulis. Kalahkan ketidakmauan untuk menulis saat ini juga. Karena begitu kita memulai, kita akan bisa merasakan liarnya pikiran itu. Setelah pena diigoreskan di kertas, atau tombol keyboard sudah ditekan untuk pertama kalinya sambil menyelaraskan apa yang ada dalam pikiran dan dituangkan dalam tulisan tersebut kita akan sulit berhenti. Rasakan candunya. Percayalah ia akan membuat kita ketagihan. Jauh dari itu, menulislah karena ia membuatmu abadi...

Mulai menulis dari sekarang, lalu lihat dan perhatikan apa yang akan terjadi.

Bandung, 24 Agustus 2010
               14 Ramadhan 1431 H.