Himpunan Mahasiswa Islam yang berkantor pusat di Jl. Diponegoro No. 16 (HMI [Dipo]) menyelenggarakan Kongres ke-XXVII di Graha Insan Cita, Depok, pada 5-10 November 2010. Walau kongres molor hingga 14 November 2010, satu agenda yang sempat diformalkan dalam Kongres XXVI di Palembang tidak mendapat proporsi yang memadai untuk kembali dibicarakan, yaitu reunifikasi atau sebagian pihak menyebutnya sebagai islah. Padahal, isu islah boleh jadi isu yang paling menarik untuk dibincang bagi sebagian kader maupun alumni HMI.
Mengapa menarik? Karena agenda reunifikasi gagal dilaksanakan oleh PB HMI (Dipo) yang dipimpin oleh Arip Mustopa sesuai yang diamanahkan dalam Kongres XXVI di Palembang. Padahal, Ketua Umum PB HMI (MPO) menghadiri Kongres XXVI di Palembang sehingga menimbulkan kontroversi di internal HMI (MPO). Sedikit-banyak, hal itu mengingatkan kita pada kehadiran MS Ka'ban pada kongres tahun 1990 guna merebut pucuk pimpinan, namun gagal karena dimenangkan oleh Ferry Mursyidan Baldan. Seandainya Ka'ban menang, barangkali reunifikasi akan terjadi karena sebagian pimpinan HMI (MPO) akan masuk ke dalam jajaran Pengurus Besar. Namun, sejarah berkata lain sehingga kisah reunifikasi terus berlanjut. Isu reunifikasi juga diamanahkan dalam Kongres XXV di Makassar ketika Fajar R Zulkarnaen didapuk menjadi Ketua Umum PB HMI (Dipo). Namun, tetap gagal diwujudkan. Mengapa reunifikasi selalu gagal diwujudkan dalam sekurangnya dua kongres (XXV dan XXVI)? Penulis melihat tiga hal yang menjadi kelemahan proses reunifikasi.
Pertama, HMI (Dipo) tidak serius melaksanakan hal ini. Adalah naif bila keseriusan reunifikasi hanya dilakukan sebatas komunikasi interpersonal antara masing-masing Ketua Umum Pengurus Besar HMI (Dipo) maupun HMI (MPO), atau sekedar saling mengundang dalam kongres. Salah satu tolok ukur yang paling meyakinkan tentunya kerjasama dalam melakukan proses perkaderan maupun perjuangan yang menjadi identitas HMI. Sekurangnya, hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama kegiatan kesenian yang relatif netral terhadap perbedaan karakter perkaderan masing-masing HMI. Dengan demikian, proses reunifikasi dilakukan melalui pendekatan kultural terlebih dahulu dan bukan melalui pendekatan struktural (ketua dengan ketua).
Kedua, HMI (MPO) hampir tidak pernah—khususnya dalam beberapa kongres terakhirnya—membahas agenda reunifikasi dengan HMI (Dipo). Hal ini tentu berkaitan erat dengan minimnya kerjasama di antara kedua HMI. Satu hal yang perlu ditekankan dan digarisbawahi ialah HMI (MPO) sulit untuk didekati secara struktural maupun secara finansial, tetapi akan sangat mudah bila didekati dengan ide atau gagasan yang matang, ikhlas, dan meyakinkan; serta bila didekati secara kultural.
Ketiga, reunifikasi KAHMI (Korps Alumni HMI) yang sebelumnya terpecah menjadi dua, sedikit-banyak memengaruhi proses reunifikasi HMI. Alumni merupakan pihak yang paling gencar untuk mendorong reunifikasi di antara kedua HMI, tetapi tidak menunjukkan kerja dan kontribusi yang signifikan, karena senantiasa terkesan erat dengan agenda kekuasaan formal seperti yang terjadi pada tahun 1996 di mana sebagian alumni yang duduk sebagai menteri menggalang usaha reunifikasi HMI hanya disebabkan teguran Soeharto yang "gerah" ketika mengetahui masih ada HMI yang menolak asas tunggal Pancasila, yaitu HMI (MPO). Lihat saja situs KAHMI yang sudah beberapa bulan (atau tahun?) terakhir selalu berada dalam keadaan underconstruction. Apakah hal itu ikut menunjukkan bahwa proses reunifikasi struktural KAHMI juga sedang underconstruction walau Anas Urbaningrum telah menjadi koordinator? Apabila KAHMI berhasil memberikan contoh yang baik kepada kedua HMI, maka bukan tidak mungkin peluang reunifikasi HMI menjadi semakin besar.
Peran KAHMI menjadi penting karena sejarah menunjukkan bahwa KAHMI memiliki peran dalam perpecahan HMI. AM Fatwa menulis:
"Sayang, ketika proses dialog di kalangan HMI tengah berjalan, sejumlah aktivis KAHMI tergoda untuk mengambil jalan pintas. Pada bulan Februari 1985, keluarlah deklarasi KAHMI yang menerima asas tunggal Pancasila—sebelum Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan—selesai dibicarakan di DPR RI. Langkah KAHMI itu ternyata berdampak negatif terhadap proses dialog di kalangan HMI. Deklarasi KAHMI itu telah memojokkan posisi HMI. Akibat langsungnya segera terlibat. Pada bulan April 1985—lima bulan sebelum Kongres XVI di Padang—PB HMI mengeluarkan pernyataan penerimaan asas tunggal Pancasila" ("Interpretasi Rasional terhadap Demokrasi," Republika, 14 Februari 1997).
Dengan demikian, KAHMI patut untuk menunjukkan keseriusan dalam reunifikasi yang mereka lakukan beberapa tahun terakhir. Jangan sampai reunifikasi yang dilakukan KAHMI hanya berdasar pada kepentingan politik praktis beberapa elit KAHMI tertentu. Bila demikian, maka bukan tidak mungkin KAHMI akan kembali terpecah dan semakin menyulitkan reunifikasi HMI. Bukankah, sebagian anggota KAHMI juga merupakan alumni HMI (MPO) yang relatif lebih imun terhadap perilaku elit politik KAHMI?
Perjuangan KAHMI maupun HMI sebaiknya tidak menitikberatkan pada politik praktis semata, tetapi juga pada lapangan akademis, kesenian, kebudayaan, ekonomi, dan sosial. Akbar Tandjung pun pernah mengingatkan ""This is no longer the era for the association to be involved in practical politics," Akbar, now state minister of people's housing, said." (Jakarta Post, "Former leader advises HMI to quit politics," 20 Januari 1995). Namun, sejarah menunjukkan bahwa semakin banyak kader maupun alumni HMI yang memilih untuk terjun ke lapangan politik praktis, baik untuk memperjuangkan cita-cita masa lalu maupun sekedar memperjuangkan perut dan kroninya.
Kegagalan mewujudkan reunifikasi boleh jadi akan menciderai pikiran kader-kader HMI (Dipo) yang masih memiliki independensi sehingga bukan tidak mungkin justru mendorong mereka untuk melakukan registrasi dan perkaderan ulang di HMI (MPO). Hal ini menjadi penting bagi kader yang berpikiran panjang dan tidak hanya memikirkan bagaimana agar besok bisa makan. Lantas, apa kabar reunifikasi HMI hari ini? Agaknya kabar semakin kabur ketika satu pihak menjadikannya sebagai komoditas politik maupun dagang, sementara pihak lain menganggapnya sebagai kenaifan bila tidak dilakukan melalui ruang dan kerja kebudayaan.
Taken from: http://blog.abqary.net/2010/11/21/apa-kabar-reunifikasi-hmi/
2010/11/22
2010/10/14
Heroic Leader
Melihat berita tentang penyelamatan rombongan pekerja tambang di Chile yang terjebak di kedalaman bumi hampir 600 meter, mendatangkan banyak inspirasi bagi jutaan manusia di dunia. Termasuk kita yang ada di negeri ini, negeri Indonesia yg sering mengalami bencana yg berkaitan dengan alam. Betapa tidak terinspirasi, untuk menyelamatkan 33 pekerja itu pemerintahan Chile begitu sigap dengan kucuran dana yg banyak demi penyelamatan. Selain dana, pemerintah juga menyiapkan team penyelamat terbaik. Keselamatan nyawa warganya memang sangat diperhatikan.
Selain perhatian dan penyelamatan dari pemerintahnya, kita juga terharu dan salut akan semangat hidup para pekerja yg terjebak di terowongan itu. Lebih dari 2 bulan mereka mampu survive dengan resources yg sangat terbatas.
Dan saya sendiri sangat salut terhadap pemimpin pekerjanya. Dari 33 orang yang diselamatkan, sang leadernya ini memilih untuk diselamatkan paling akhir. Dia lebih mendahulukan keselamatan team-nya. That's what we call heroic leadership!
Adakah rasa kepemimpinan seperti itu pada pemimpin negeri ini, atau apakah ada dalam diri kita masing-masing? Semoga!
Selain perhatian dan penyelamatan dari pemerintahnya, kita juga terharu dan salut akan semangat hidup para pekerja yg terjebak di terowongan itu. Lebih dari 2 bulan mereka mampu survive dengan resources yg sangat terbatas.
Dan saya sendiri sangat salut terhadap pemimpin pekerjanya. Dari 33 orang yang diselamatkan, sang leadernya ini memilih untuk diselamatkan paling akhir. Dia lebih mendahulukan keselamatan team-nya. That's what we call heroic leadership!
Adakah rasa kepemimpinan seperti itu pada pemimpin negeri ini, atau apakah ada dalam diri kita masing-masing? Semoga!
2010/10/08
Psikologi Korupsi
Setiap tindakan seseorang selalu bersifat intensional, di sana ada pertimbangan dan kalkulasi untung-rugi sebelum seseorang melakukan. Termasuk ketika melakukan korupsi.
Salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.
Ada ungkapan klasik, it is money that makes the world in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat tukar yang sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang didesain secara khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, sebaliknya, diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah kemudian muncul kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika alat tukar masih berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, bukannya korupsi berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam waktu yang amat cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku agar sulit ditelusuri oleh pengawas.
Ketika jumlah penduduk bumi sudah di atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah dilakukan.
Karena kekayaan saat ini berupa uang, maka yang dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, sekalipun uangnya tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa dengan lahan sawah yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor pajak karena di situ terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka lagi jika orang merasa kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan di bank asing. Bukankah uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan di bank asing, sama halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga mereka itu tak ubahnya sebagai gerombolan economical vampire.
Musuh rakyat dan negara
Kalau korupsi dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat negara ataupun perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, dampaknya tidak begitu terasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah bendungan raksasa akan jebol bermula dari kebocoran yang kecil dan tidak segera diatasi. Begitu pun sebuah bangunan besar akan habis termakan api yang dimulai oleh jilatan api yang juga kecil.
Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.
Jadi, masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri. Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang-undang pembuktian kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.
Di kalangan sufi terdapat keyakinan kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan mengundang semut, maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika rezeki yang masuk aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya akan mudah tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan. Syaitan adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya destruktif.
Jadi apa yang dilakukan koruptor sesungguhnya menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan rakyatnya. Bangsa dan negara yang sehat dan bermartabat pasti akan membenci korupsi. Bahkan, negara komunis dan sekuler yang tidak bertuhan pun antikorupsi demi menjaga masyarakatnya agar sehat dan sejahtera. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah, bahwa misi utama risalahnya adalah membentuk akhlak yang terpuji. Orang yang mengaku beragama, tetapi membuat orang lain sengsara, dikatakan mendustai agama dan Tuhan. Begitu firman Allah. Nilai hidup macam apakah yang akan diwariskan kepada anak dan masyarakat jika hidupnya bangga bergelimang korupsi?
Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta [Kompas, 13/04/10]
Salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.
Ada ungkapan klasik, it is money that makes the world in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat tukar yang sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang didesain secara khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, sebaliknya, diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah kemudian muncul kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika alat tukar masih berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, bukannya korupsi berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam waktu yang amat cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku agar sulit ditelusuri oleh pengawas.
Ketika jumlah penduduk bumi sudah di atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah dilakukan.
Karena kekayaan saat ini berupa uang, maka yang dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, sekalipun uangnya tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa dengan lahan sawah yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor pajak karena di situ terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka lagi jika orang merasa kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan di bank asing. Bukankah uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan di bank asing, sama halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga mereka itu tak ubahnya sebagai gerombolan economical vampire.
Musuh rakyat dan negara
Kalau korupsi dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat negara ataupun perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, dampaknya tidak begitu terasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah bendungan raksasa akan jebol bermula dari kebocoran yang kecil dan tidak segera diatasi. Begitu pun sebuah bangunan besar akan habis termakan api yang dimulai oleh jilatan api yang juga kecil.
Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.
Jadi, masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri. Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang-undang pembuktian kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.
Di kalangan sufi terdapat keyakinan kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan mengundang semut, maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika rezeki yang masuk aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya akan mudah tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan. Syaitan adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya destruktif.
Jadi apa yang dilakukan koruptor sesungguhnya menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan rakyatnya. Bangsa dan negara yang sehat dan bermartabat pasti akan membenci korupsi. Bahkan, negara komunis dan sekuler yang tidak bertuhan pun antikorupsi demi menjaga masyarakatnya agar sehat dan sejahtera. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah, bahwa misi utama risalahnya adalah membentuk akhlak yang terpuji. Orang yang mengaku beragama, tetapi membuat orang lain sengsara, dikatakan mendustai agama dan Tuhan. Begitu firman Allah. Nilai hidup macam apakah yang akan diwariskan kepada anak dan masyarakat jika hidupnya bangga bergelimang korupsi?
Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta [Kompas, 13/04/10]
Subscribe to:
Posts (Atom)