Hari pertama kuliah penulisan kreatif, saya bertemu dengan sejumlah mahasiswa semester 2. Umur mereka masih muda, penuh semangat, tapi tampak tak terarah. Motivasi mereka masih naik turun. Tapi mari kita mulai. Kegiatan menulis pun dimulai dengan nyaman, sesekali mereka cekikikan karena ternyata menulis itu memang mudah.
“Menulis sama dengan berbicara, yaitu mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Bedanya hanya bentuk saja. Sementara mekanismenya sama, ada gagasan di benak lalu dikeluarkan dalam bentuk tulisan”.
Lalu muncullah sejumlah pertanyaan ini:
Kalau semudah itu, kenapa menulis begitu susah? Baru saja satu baris, terasa jelek dan tak pantas, lalu pikiran mentok dan kegiatan menulispun terhenti.
Itu soal kebiasaan saja. Berbicara terasa mudah karena sejak kecil kita diajari untuk berbicara, melihat orang lain menggosip berjam-jam, dan kita pun kerap mengekpresikan gagasan lewat bicara. Bila kita terbiasa menuliskan gagasan dan mempersedikit bicara, niscaya kita akan lebih mudah menuliskan gagasan daripada membicarakan gagasan.
Kebiasaan menulis di facebook, twit, atau chating sebenarnya bisa membantu. Asal saja sudah mulai diarahkan. Maksudnya coba deh menulis di fb itu janganhanya status iseng, tapi belajarlah menuliskan gagasan. Teruslah menulis, jangan pedulikan benar salahnya materi gagasan. Yang penting menulis saja dulu.
Jadi gimana caranya?
Kita kenali saja dulu sifat dasar pikiran. Kepala kita ini tak pernah berhenti bersuara, selalu saja ada yang dipikirkan. Bahkan pada saat diam, kepala kita terus memproduksi kata-kata yang menilai atau sekadar mereka-reka. Hampir 24 jam pikiran kita memproduksi kata-kata.
Menulis adalah memilih kata-kata, mengarahkannya dalam struktur tertentu sesuai dengan tujuan yang kita harapkan. Hanya saja, bagi pemula, biasanya struktur ketat, keinginan terlalu sempurna, sehingga pikiran justru mampet, nggak mengalir.
Inilah awal masalah dari kegiatan menulis. Begitu struktur terlalu ketat, pikiran-pikiran yang lewat seperti tidak ada gunanya,tak layak dituliskan. Ujung-ujungnya tak ada satupun yang bisa dituliskan. Mampet!
Kedua, kita kenali sifat gagasan. Gagasan itu liar, cepat datang dan cepat pergi. Ketika gagasan muncul dan tidak segera dituliskan atau dibicarakan, ia akan pergi, hilang dan musnah. Karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib berpesan, “ikatlah pikiranmu dengan tulisan!”. Jadi, tuliskan gagasanmu itu segera.
Nah, soalnya adalah ketika kita menuliskannya, gagasan itu juga tak sepenuhnya bisa muncul. Ada sesuatu yang menghalanginya, alias mampet. Masalah ini muncul dari ketidakmampuan kita mengenali cara kerja pikiran yang begitu riuh rendah.
Ya, jadi gimana caranya?
Tuliskan tanpa berpikir.
Ini cara pertama yang sederhana. Tuliskan saja tanpa memikirkan struktur, titik-koma, huruf besar huruf kecil, nyambung atau nggak nyambung. Tuliskan saja. Hargai datangnya gagasan dengan mengikatnya.
Latihan dasarnya juga sederhana. Hanya lima menit saja. Ya, sediakan waktu sekitar lima menit, lalu tuliskan apa saja yang melintas di kepalamu, walaupun sekadar kata-kata “apa lagi ya…”, atau “mau nulis apa lagi?”
Terus gimana?
coba dulu tips yang ini, baru boleh tanya lagi!
--
Oleh: Bambang Q Anees
“Menulis sama dengan berbicara, yaitu mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Bedanya hanya bentuk saja. Sementara mekanismenya sama, ada gagasan di benak lalu dikeluarkan dalam bentuk tulisan”.
Lalu muncullah sejumlah pertanyaan ini:
Kalau semudah itu, kenapa menulis begitu susah? Baru saja satu baris, terasa jelek dan tak pantas, lalu pikiran mentok dan kegiatan menulispun terhenti.
Itu soal kebiasaan saja. Berbicara terasa mudah karena sejak kecil kita diajari untuk berbicara, melihat orang lain menggosip berjam-jam, dan kita pun kerap mengekpresikan gagasan lewat bicara. Bila kita terbiasa menuliskan gagasan dan mempersedikit bicara, niscaya kita akan lebih mudah menuliskan gagasan daripada membicarakan gagasan.
Kebiasaan menulis di facebook, twit, atau chating sebenarnya bisa membantu. Asal saja sudah mulai diarahkan. Maksudnya coba deh menulis di fb itu janganhanya status iseng, tapi belajarlah menuliskan gagasan. Teruslah menulis, jangan pedulikan benar salahnya materi gagasan. Yang penting menulis saja dulu.
Jadi gimana caranya?
Kita kenali saja dulu sifat dasar pikiran. Kepala kita ini tak pernah berhenti bersuara, selalu saja ada yang dipikirkan. Bahkan pada saat diam, kepala kita terus memproduksi kata-kata yang menilai atau sekadar mereka-reka. Hampir 24 jam pikiran kita memproduksi kata-kata.
Menulis adalah memilih kata-kata, mengarahkannya dalam struktur tertentu sesuai dengan tujuan yang kita harapkan. Hanya saja, bagi pemula, biasanya struktur ketat, keinginan terlalu sempurna, sehingga pikiran justru mampet, nggak mengalir.
Inilah awal masalah dari kegiatan menulis. Begitu struktur terlalu ketat, pikiran-pikiran yang lewat seperti tidak ada gunanya,tak layak dituliskan. Ujung-ujungnya tak ada satupun yang bisa dituliskan. Mampet!
Kedua, kita kenali sifat gagasan. Gagasan itu liar, cepat datang dan cepat pergi. Ketika gagasan muncul dan tidak segera dituliskan atau dibicarakan, ia akan pergi, hilang dan musnah. Karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib berpesan, “ikatlah pikiranmu dengan tulisan!”. Jadi, tuliskan gagasanmu itu segera.
Nah, soalnya adalah ketika kita menuliskannya, gagasan itu juga tak sepenuhnya bisa muncul. Ada sesuatu yang menghalanginya, alias mampet. Masalah ini muncul dari ketidakmampuan kita mengenali cara kerja pikiran yang begitu riuh rendah.
Ya, jadi gimana caranya?
Tuliskan tanpa berpikir.
Ini cara pertama yang sederhana. Tuliskan saja tanpa memikirkan struktur, titik-koma, huruf besar huruf kecil, nyambung atau nggak nyambung. Tuliskan saja. Hargai datangnya gagasan dengan mengikatnya.
Latihan dasarnya juga sederhana. Hanya lima menit saja. Ya, sediakan waktu sekitar lima menit, lalu tuliskan apa saja yang melintas di kepalamu, walaupun sekadar kata-kata “apa lagi ya…”, atau “mau nulis apa lagi?”
Terus gimana?
coba dulu tips yang ini, baru boleh tanya lagi!
--
Oleh: Bambang Q Anees