"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2011/04/04

Inspirasi Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.


Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi." jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel.

Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku." kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.


"Maaf, anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu." jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat." kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini." kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." kata anak lelaki. "Aku hanya mEmbutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita.

Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.

Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
--
Semoga bermanfaat!

2011/04/03

Bila Harus Menulis

Menulis tak lain dari berbicara pada diri sendiri, atau paling tidak seperti berbicara pada diri sendiri. Tapi kenyataannya betapa sulit itu dilakukan.

Bila kita mengeja diri membaca rasa, apakah kesulitan itu karena sang aku tidak pernah atau tidak biasa berbicara dengan/pada diri sendiri? Sedemikian asing dan tidak akrabkan sang aku dengan diri sendiri? sehingga berbica dan bertegur sapa pun jarang dilakukan.

Lalu, kalau kita berniat tuk berbicara dengan diri sendiri, apa yang harus kita ceritakan?

Seperti pada teman, sahabat akrab; mungkinkah kita berbagi cerita tentang pengalaman pahit, manis; kegagalan, kekecewaan, sakit hati, kebahagiaan, keberhasilan, dan lain sebagainya. Tapi kalau kita memang tidak pernah akrab dan mengenal baik diri kita sendiri, bagai mana mungkin kita mempercayainya (diri sendiri) untuk diajak bicara dan berbagi tentang sesuatu yang kita anggap rahasia pribadi, yang bahkan mungkin merupakan aib. Kita tidak mungkin menuliskan itu semua, apabila kita tidak pernah akrab dengan diri sendiri, sepertitidak mungkinnya menceritakan masalah-masalah pribadi pada orang lain.

Ketika menulis, kita harus siap untuk bertelanjang. Jangan kaget, bahwa pada kenyataannya setelah bertelanjang pun kita masih sulit untuk menceritakan diri kita secara utuh dan lengkap. karena, mungkin ada yang kita rasa tabu tuk dikatakan, dan ada pula bagian yang memang benar-benar tidak bisa kita lihat. perlu bantuan cermin atau orang lain tuk mengungkap bagian-bagian yang tersembunyi. atau, paling tidak dengan mengasosiasikan diri kita sebagai orang lain. Pikiran dan pengetahuan kita adalah diri kita sendiri, demikian juga dengan pengalaman-pengalaman kita adalah diri kita seutuhnya. Dengan demikian, ketika kita menulis apa pun, baik pikiran, pengalaman, perasaan atau apa pun, pada kenyataannya adalah menulis tentang diri kita sendiri.

Maka, kalau pun kita harus menulis; menulislah tentang diri kita sendiri.
--
Oleh: Gibson A.

MENULIS SAMA DENGAN MENGGOSIP

Hari pertama kuliah penulisan kreatif, saya bertemu dengan sejumlah mahasiswa semester 2. Umur mereka masih muda, penuh semangat, tapi tampak tak terarah. Motivasi mereka masih naik turun. Tapi mari kita mulai. Kegiatan menulis pun dimulai dengan nyaman, sesekali mereka cekikikan karena ternyata menulis itu memang mudah.

“Menulis sama dengan berbicara, yaitu mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Bedanya hanya bentuk saja. Sementara mekanismenya sama, ada gagasan di benak lalu dikeluarkan dalam bentuk tulisan”.

Lalu muncullah sejumlah pertanyaan ini:

Kalau semudah itu, kenapa menulis begitu susah? Baru saja satu baris, terasa jelek dan tak pantas, lalu pikiran mentok dan kegiatan menulispun terhenti.

Itu soal kebiasaan saja. Berbicara terasa mudah karena sejak kecil kita diajari untuk berbicara, melihat orang lain menggosip berjam-jam, dan kita pun kerap mengekpresikan gagasan lewat bicara. Bila kita terbiasa menuliskan gagasan dan mempersedikit bicara, niscaya kita akan lebih mudah menuliskan gagasan daripada membicarakan gagasan.

Kebiasaan menulis di facebook, twit, atau chating sebenarnya bisa membantu. Asal saja sudah mulai diarahkan. Maksudnya coba deh menulis di fb itu janganhanya status iseng, tapi belajarlah menuliskan gagasan. Teruslah menulis, jangan pedulikan benar salahnya materi gagasan. Yang penting menulis saja dulu.

Jadi gimana caranya?

Kita kenali saja dulu sifat dasar pikiran. Kepala kita ini tak pernah berhenti bersuara, selalu saja ada yang dipikirkan. Bahkan pada saat diam, kepala kita terus memproduksi kata-kata yang menilai atau sekadar mereka-reka. Hampir 24 jam pikiran kita memproduksi kata-kata.

Menulis adalah memilih kata-kata, mengarahkannya dalam struktur tertentu sesuai dengan tujuan yang kita harapkan. Hanya saja, bagi pemula, biasanya struktur ketat, keinginan terlalu sempurna, sehingga pikiran justru mampet, nggak mengalir.

Inilah awal masalah dari kegiatan menulis. Begitu struktur terlalu ketat, pikiran-pikiran yang lewat seperti tidak ada gunanya,tak layak dituliskan. Ujung-ujungnya tak ada satupun yang bisa dituliskan. Mampet!

Kedua, kita kenali sifat gagasan. Gagasan itu liar, cepat datang dan cepat pergi. Ketika gagasan muncul dan tidak segera dituliskan atau dibicarakan, ia akan pergi, hilang dan musnah. Karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib berpesan, “ikatlah pikiranmu dengan tulisan!”. Jadi, tuliskan gagasanmu itu segera.

Nah, soalnya adalah ketika kita menuliskannya, gagasan itu juga tak sepenuhnya bisa muncul. Ada sesuatu yang menghalanginya, alias mampet. Masalah ini muncul dari ketidakmampuan kita mengenali cara kerja pikiran yang begitu riuh rendah.

Ya, jadi gimana caranya?

Tuliskan tanpa berpikir.

Ini cara pertama yang sederhana. Tuliskan saja tanpa memikirkan struktur, titik-koma, huruf besar huruf kecil, nyambung atau nggak nyambung. Tuliskan saja. Hargai datangnya gagasan dengan mengikatnya.

Latihan dasarnya juga sederhana. Hanya lima menit saja. Ya, sediakan waktu sekitar lima menit, lalu tuliskan apa saja yang melintas di kepalamu, walaupun sekadar kata-kata “apa lagi ya…”, atau “mau nulis apa lagi?”

Terus gimana?

coba dulu tips yang ini, baru boleh tanya lagi!
--

Oleh: Bambang Q Anees