"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2011/08/04

Apakah Anda Menyukai Tebu Atau Gulanya?

“Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?

Meski bukan daerah penghasil gula, namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang hanya tertinggal ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak berdaya diatas tanah itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang. Memangnya harus diapakan lagi sepah itu jika tidak dibuang? Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Jadilah pemanis kehidupan. Disekitar kita begitu banyak orang yang suka minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah mengenal orang yang minum kopi tanpa gula. Bahkan sekalipun kita menyebutnya ‘kopi pahit’, ternyata ya menggunakan gula juga. Mengapa gula selalu ada dalam setiap cangkir kopi yang disajikan? Karena gula membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi manis. Anda yang mengetahui rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu mirip arang. Karbon yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak benar-benar enak. Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan gula; tiba-tiba saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman favorit. Bayangkan jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi terasa manis. Tentunya kita tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa pahit itu. Bahkan boleh jadi, kita menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita bisa menari dalam deraan tantangan dan rintangan. Kita masih bisa tersenyum ditengah terpaan angin cobaan. Dan kita masih bisa bersyukur meski tengah berada dalam pahit getirnya cobaan hidup. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.

2. Jadilah pribadi yang manis, maka pasti selalu dikerubuti. Ditempat tidur saya tiba-tiba saja banyak sekali semut. Setelah diperiksa, ternyata ada sisa-sisa gula dari kue kering yang kami makan bersama anak-anak. Ternyata benar; ada gula, ada semut. Para semut tidak lagi memperdulikan lokasi dan situasi. Dimana ada gula, kesitulah mereka berbondong beriringan. Ini tidak hanya benar bagi para semut. Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi manfaat bagi lingkungannya. Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para pengikut setianya. Para alim ulama dan orang-orang berilmu, selalu menjadi rujukan para pencari pencerahan. Siapapun yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, bisa dipastikan selalu dibutuhkan oleh mereka. Kita? Sesekali orang lain itu mbok ya membutuhkan kita gitu loh. Tapi mengapa yang terjadi malah sebaliknya ya? Mereka malah mengira seolah kita ini tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita. Tetap saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang manis bagi mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti segala sesuatu yang terasa manis.

3. Tetaplah manis, maka sepahmu tidak pernah dibuang. Mari berhenti untuk marah atau kecewa jika orang lain membuang kita karena mereka menilai kita sudah menjadi sepah. Mereka tidak salah. Kitalah yang harus berpikir bagaimana caranya supaya tidak menjadi sepah. Sebab jika kita masih tetap memiliki rasa manis itu, mereka tidak akan membuang kita, percayalah. Saya mengenal seorang eksekutif senior yang mumpuni. Setelah memasuki masa pensiun dari jabatanya yang tinggi, saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’ yang lainnya. Ternyata saya keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa kerjanya dengan system kontrak. Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu beliau ditarik lagi oleh perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah salah satu living legend mereka yang tidak pernah membiarkan dirinya ‘kehilangan rasa manis’. Meski usianya sudah jauh melampaui masa pensiun, beliau tetap manis. Rasa manis yang masih tetap lestari didalam dirinya itulah yang menjadikan beliau tetap menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar. Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah yang dibuang, maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi pribadi yang manis.

4. Nikmatilah rasa manis secukupnya, tidak berlebihan. Sekarang, cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu suapkan sesendok gula itu kedalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda masih menikmati rasa manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa manis. Namun, tak seorang pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan kita sering terlalu serakah untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari kita bahwa terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita bisa mengalami sindrom toleransi insulin. Sungguh keliru jika kita mengira hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru hidup yang terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah. Semacam sindrom toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak insulin yang diproduksi dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk dalam darah Anda. Tahukah Anda apa yang terjadi ketika dalam darah kita terdapat lebih banyak gula dari yang seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis kehidupan yang terlalu banyak pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda sendiri. Maka nikmatilah rasa manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.

5. Semanis apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah. Sepah di kebun tebu kami jumlahnya tidak terlalu melimpah. Namun jika dibiarkan tetap saja menjadi sampah. Kami punya banyak pilihan untuk memperlakukannya. Jika kami membuangnya ke kolong kandang domba, maka sepah itu akan menambah nutrisi pada pupuk kandang yang kami dapatkan. Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia akan menjadi tempat tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan. Jadi, apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah. Semua orang yang pernah muda akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak berdaya. Semua yang kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari sekali lagi kita lihat sang sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah, dia tetap saja menjadi anugerah. Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup setelah mati, maka kita lebih beruntung lagi. Karena dengan keyakinan itu kita kita bisa berharap memetik buah manis tabungan kebaikan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap itu, karena iman kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita lakukan atas nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita yang percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah kita adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.

Tidak perlu lagi untuk merasa kecewa karena telah dihempaskan oleh lingkungan yang Anda harapkan memberikan penerimaan. Mungkin mereka benar telah menghempaskan kita karena kita belum bisa memberi rasa manis yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena tidak bisa menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa manis? Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu meneriaki para semut untuk mengerubuti. Insya Allah, cepat atau lambat; mereka akan datang sendiri.

By:
Dadang Kadarusman - 4 Agustus 2011
Master Trainer & Natural Intelligence Inventor
Website: http://www.dadangkadarusman.com

2011/07/12

10 Reasons Why Staff Resist Change


As the old cliché says, "the only constant in life is change." Why, then, are human beings so naturally fearful of and resistant to change? Given the fast-paced, technology-based world in which we operate, one would think that employees would be accustomed to accepting and adjusting to changes. More common than not, the opposite is true. For many people, their job is a significant source of structure in their life. Any thoughts or activities that stray from the comfort of this structure can be threatening and provoke insecurity.

There are many different factors that contribute to staff resistance when it comes to organisational change. One or more of these factors can be present in the consciousness or attitude of each individual employee. Being familiar with these factors can help organisational leaders manage and overcome opposition to necessary change.

1. Lack of Awareness

Staff members at various levels may not necessarily be aware of the underlying business need for change. Whether attempts have been made at communicating this to staff or not, it must be considered and dealt with. Another variation on this theme is that even staff members that do understand the underlying need for change may not necessarily be in agreement or be in line with the overall goals of the organisation.

2. Fear of the Unknown

Humans are prone to fear of the unknown. As mentioned above, many people view their job as an important source of stability in their life. At the very least, employees depend on their regular paycheque to take care of basic financial needs. Not knowing what situations can arise from organisational change can be scary. Employees can be afraid of what may happen, especially in cases of change where layoffs or reduction in workforce may be necessary.

3. Personal Predisposition

This is a highly personal factor and can only be analyzed on an individual basis. A person's predisposition to change is based on several factors having to do with the life experiences that have helped to shape him or her. For example, the way change and uncertainty were handled when that person was a child can have a small or huge effect on how the same person perceives and reacts to impending change as an adult. People with a strong predisposition to resisting and fighting change can have an impact on the next main reason that staff rejects doing things differently.

4. Peer Pressure

Some employees are known pushovers that often take on the plights of one another even if they are not directly affected. In some cases, these types of employees will buy into others' apprehension toward change without even necessarily understanding it.

5. History

Long-standing staff members have long-standing memories. They can exhibit negative feelings and attitudes based on simple misunderstandings, miscommunications, and conflict. The worst thing about this reason for staff denial of change within organisations is that some of the deep-seated history involved may have happened long before the current leadership took the reins.

6. Comfort Zones

Employees may be creatures of habit, knowing very well how to do what they do. Introducing change can raise questions about whether the employee's existing skills and experiences will be adequate to support and thrive in the new environment. This insecurity of whether one's skills will be enough to ensure success during and after change can contribute to resistance. In addition to the skills factor, individuals may be comfortable with the current state of things. The status quo may be providing a sense of accomplishment and fulfillment that staff members are just not ready to relinquish.

7. More May Be Less

Depending on what the organisational change entails, some employees are likely to suspect that they will be required to do more with less, or to perform more work for a smaller amount of pay. While this is not likely to be the case, it is important to evaluate this factor honestly and to address it in communications about change.

8. Trust Issues

This contributing factor of staff resistance to change is related to the corporate culture at the organisation. Managers who do not trust their employees are creating a climate of mistrust that is bound to be reciprocated. If employees do not trust the leadership at the organisation, they are likely to be skeptical of any proposed changes.

9. Loss of Control

Even great employees may resist organisational change. Competent staff members who are good at what they do and feel they have a handle on everything related to their job may feel threatened by the perceived loss of control that change can bring about. Employees can feel confused and powerless by being asked to change the way they think or operate.

10. Fear of Failure

If staff members are happy with what they do and with the results they currently achieve, it may make the status quo too attractive to give up. Fear that they will not be able to attain the same level of success under new circumstances is another reason employees are skeptical of change.

These are only a few of the reasons why staff members in your organisation may resist change. It is evident that a common underlying theme among these reasons is fear. Fear can originate from a myriad of motivations and take on just as many variations. Realising that open communication and understanding will lay the foundation for overcoming fear is the first step in doing so. The type of communication that will help you understand why your staff specifically is giving change the cold shoulder is listening. Making your employees feel comfortable to voice honest opinions and doubts will give you insights into their motivations (or lack thereof). This is the best way of finding out which reasons are standing in your organisation's path to widely supported change.

Damien Clarke has been delivering Personal and Professional Change Management programs to organisations for over 14 years and currently runs various businesses. His own video program on successful Goal Setting and Change is proving a real success with people and companies all over the world. Follow is personal blog and get motivated to achieve your goals.

Article Source: http://EzineArticles.com/1789937

2011/07/09

Membangun Budaya Belajar Di Unit Kerja


Sebagai pemimpin, salah satu tugas terpenting Anda adalah; membangun budaya belajar di unit kerja Anda. Dan untuk urusan yang satu ini, kemungkinan besar Anda akan menghadapi banyak tantangan bahkan tentangan. Anda tidak sendirian. Salah satu nyanyian yang paling sering saya dengar adalah lagu yang berjudul “Banyak teori elu mah, Dang!”. Itu ketika saya sharing tentang suatu konsep. Nyanyian nyaring lainnya berjudul “Pamer melulu elu mah, Dang!”. Yang ini ketika saya sharing tentang implementasinya yang pernah saya terapkan. Cara kita merespon ilmu itu laksana tanah merespon air hujan. Jika tanah itu bersedia menerimanya, maka air hujan itu akan meresap kedalam dan menyuburkan. Jika tanah itu menolaknya, maka air yang menyegarkan itu hanya akan melintas dan menimbulkan kubangan. Tetapi, hujan tidak terlampau mempermasalahkan apakah tanah meresponnya dengan penerimaan atau penolakan. Ketika langit mengatakan; “Turunlah engkau wahai hujan…” Maka hujan pun patuh kepada perintahnya. Anda juga demikian. Jika menghadapi tantangan dan tentangan, tirulah hujan. Karena boleh jadi, ada seonggok tanah yang bersedia menerima setetas air yang Anda jatuhkan. Jikapun tidak ada, maka Anda telah menjalankan amanah langit untuk saling mengingatkan.

Salah satu cara yang saya rekomendasikan untuk Anda coba dalam membangun budaya belajar di unit kerja Anda adalah membuat forum sharing 1 kali sebulan. Mirip seperti acara training berdurasi 2 jam yang diikuti oleh SEMUA orang di unit kerja Anda. Siapa pembicaranya? Mereka sendiri. Biarkan mereka berkeringat ketika pertama kali berbicara di depan forum. Dan biarkan para manager mendengarkan pelajaran dari para staff, karena dalam forum sharing itu; ilmu diposisikan lebih tinggi dari jabatan. Sebelum dilanjutkan perlu saya sampaikan bahwa sekarang, saya tidak melakukan hal ini lagi. Mengapa? Karena sekarang saya tidak lagi bekerja sebagai seorang karyawan professional yang memiliki anak buah. Namun bagi Anda yang tertarik mempraktekan pengalaman masa lalu saya dalam membangun budaya belajar di unit kerja, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Mulailah dari komitmen Anda sebagai pimpinan. Jika Anda hanya ingin mewujudkan budaya belajar secara individu, Anda tidak perlu melakukan apapun. Diantara sekian banyak anak buah Anda, ada sekurang-kurangnya 1 orang yang punya determinasi dan komitmen untuk mengembangkan diri. Tetapi, untuk membangun budaya belajar dan pengembangan secara kolektif, Anda tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. Banyak orang yang mengira jika budaya belajar itu sangat mahal, menguras waktu yang banyak, dan harus memanggil ‘para guru’ tertentu. Keliru. Budaya belajar tidak dibangun oleh orang luar, melainkan oleh diri mereka sendiri didalam unit kerja Anda. Namun, mereka tidak akan pernah melakukannya jika sebagai pemimpinnya Anda tidak menunjukkan semangat pioneering. Maka mualih dengan menunjukkan komitmen Anda sendiri. Cepat atau lambat, mereka akan mengikuti irama yang Anda mainkan.

2. Mulailah dengan Anda sendiri yang berdiri di depan. Adalah ‘human nature’ untuk mengatakan;’Elu dulu deh, elu dulu…” Oleh sebab itu, pada pertemuan pertama, pembicaranya harus Anda sendiri. Anda beri contoh untuk berdiri di depan kelas itu seperti layaknya seorang trainer. Faktanya, Anda adalah seorang trainer bagi setiap orang yang Anda pimpin. Setelah itu, giliran mereka di sesi-sesi berikutnya. Saya sendiri sempat tertegun ketika di keesokan harinya koordinator yang kami tunjuk menyerahkan sebuah ‘jadwal training’ unit kerja kami selama setahun. Lengkap dengan pembicara utamanya, serta topik apa yang akan dibawakannya. Anda akan lebih terkesan lagi jika menemukan betapa orang-orang yang Anda pimpin itu memiliki kemauan, kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk saling berbagi pengetahuan. Tetapi, mereka tidak akan berani memulainya jika pemimpinnya tidak memulai dengan memperlihatkan komitmen dan contoh yang langsung didemonstrasikan. Jadi, mulailah dengan diri Anda sendiri yang berdiri di depan. Teori? Bukan. Ini adalah praktek yang saya terapkan.

3. Ajaklah para staf senior Anda untuk bersama-sama menunjukkan keteladanan. Salah satu faktor perusak dalam budaya belajar adalah para senior dan manager yang ogah-ogahan. Dengan otoritas yang Anda miliki, Anda bisa mengajak mereka untuk bersama-sama dengan Anda menunjukkan keteladanan itu. Anda dan para manager harus duduk di ruang sharing itu tidak peduli sesulit apapun keadaannya. Saya memang meminta mereka mengijinkan saya membawa laptop. Sebelumnya, saya membangun pemahaman bahwa, seseorang yang menempati ruang kantor paling besar bisa menelepon saya kapan saja sehingga saya harus selalu siap dengan data yang beliau minta. Mereka setuju dengan satu catatan; lap top hanya dibuka ketika saya benar-benar harus melakukannya. Setiap senior dan manager yang tidak bisa hadir, harus mendapatkan izin khusus dari saya. Dan saya sendiri hanya boleh tidak hadir dengan 3 alasan; (i) sedang tugas keluar kota, (ii) sakit parah, atau (iii) meninggal dunia. Mungkin Anda super sibuk. Tetapi mengalopkasikan waktu 2 jam sebulan untuk pertemuan sepenting itu bukanlah tuntutan yang berlebihan.

4. Ijinkan para junior menampilkan kemampuan dirinya secara orisinal. Kita sering melihat seseorang hanya sekedar dalam konteks pekerjaan. Gue atasan elu, dan elu adalah bawahan gue! Tetapi kita sering lupa, bahwa ada begitu banyak aspek hidup mereka yang kita tidak mengetahuinya. Maka dalam forum itu, ijinkan mereka untuk share APAPUN yang menjadi passion mereka. Sampai saat ini, saya masih terkesan dengan sharing tentang ‘Beternak Ikan Mas’ dari seorang data entry. Kekaguman saya belum hilang terhadap salah seorang staf cowok macho kami yang ternyata jago masak dan membikin kue. Saya masih ingat saat sesi dia seorang boss masuk ke ruangan dan bertanya;”What is going on here?” soalnya dinding kedap suara kami bukan sekedar gagal menahan suara tawa kami, melainkan juga meloloskan aroma sedap masakan yang sedang dibuatnya. Satu lagi. Apakah Anda sudah mengenal “Blue Ocean Strategy? Jika ya, darimana Anda tahu soal itu? Beberapa tahun lalu ketika banyak manager yang tidak mengenalnya, seorang staff saya berdiri di depan kelas, dan memberi kami ceramah tentang “Blue Ocean Strategy’. Hari ini pun masih banyak manager yang tidak tahu mahluk apa sih ‘BOS’ itu, bukan?

5. Buatlah kontes dengan hadiah yang menghibur. Hari gini kagak ada kontes? Yang bener aja! Coba lihat di televisi; apapun serba dikonteskan. Itulah yang kami lakukan dengan forum sharing itu. Para manager dan senior saya tugaskan untuk menjadi juri. Di akhir tahun, mereka memberi saya rekomendasi hasil penilaian terhadap setiap staff yang sudah menjadi pembicara dalam forum kami. Dari hasil penilaian para juri itu kemudian kami memutuskan siapa pembicara terbaiknya. Hadiahnya? Beberapa lembar voucher supermarket bernilai beberapa ratus ribu rupiah. Tidak ada budget? Jika Anda adalah seorang pemimpin yang menganggap bahwa budaya belajar itu penting; mengeluarkan beberapa lembar kertas bergambar Bung Karno dari dompet Anda sendiri tidak akan mengurangi kenyamanan yang Anda peroleh dari fasilitas dan bonus yang selama ini Anda nikmati.

Ada banyak cara untuk membangun budaya belajar di unit kerja kita. Bahkan sekalipun kita bisa mengundang pembicara belabel #1, #2, #3 dan seterusnya. Lagi pula, Anda tidak mungkin mengundang pembicara #2 ketika semua pembicara T-O-P-B-G-T sama-sama menggunakan label #1 dibelakang namanya, bukan? Tetapi, saya bisa katakan kepada Anda dengan seyakin-yakinnya bahwa Pembicara #1 yang sebenarnya itu adalah orang-orang yang ada di Unit Kerja Anda sendiri. Bukan pembicara bayaran seperti saya. Hebatnya lagi, Anda bisa mengundang The Truly Numero Uno Speakers itu hanya dengan modal Rp.50,000.- saja. Itupun tidak masuk ke kantong mereka, melainkan untuk membeli cemilan kecil yang bisa dimakan bersama-sama.

By: Dadang Kadarusman
illustration taken from: ilmusdm.wordpress.com