"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2011/11/18

Saya Anti ‘Pemerintah’!


Kalau saja saya membuat tulisan ini di masa pemerintahan Orde Baru dulu, mungkin langsung diciduk oleh aparat keamanan. Media yang memuatnya pun akan dibredel. UU Subversif langsung dijadikan alasan. Tapi untunglah di masa kita sekarang kebebasan berpendapat sudah terus dihargai oleh Negara. Credit poin buat government. 

Menurut saya, sepanjang argumentasi yang disampaikan benar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pendapat bagaimanapun dan tentang apapun perlu diappresiasi sebagai penghormatan terhadap kemanusiaan. Kenapa? Karena jalan pikiran manusia itu unik dan tidak bisa dipaksakan untuk diseragamkan maka menghormati jalan pikiran seseorang, berarti menghormati pula nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Lalu, apa argumentasi saya sehingga membuat tulisan yang mungkin terdengar frontal ini? Sederhana saja. Saya minta para pembaca sekalian mengembalikan kata ‘Pemerintah’  pada kata dasarnya, maka keluarlah kata ‘perintah’.

Kata ‘Perintah’ memiliki makna perkataan yg bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; suruhan. Maka ‘pemerintah’ adalah orang atau sekelompok orang atau lembaga yang melakukan pekerjaan menyuruh melakukan sesuatu kepada pihak lain. Pemerintah itu inginnya mengeluarkan perintah terus.

Pemerintah’ bisa saja tidak melakukan kewajiban seperti apa yang harus dilakukan oleh yang diperintahnya. Kata pemerintah memunculkan dikotomi yang tajam antara ‘yang memerintah’ dengan ‘yang diperintah’. Relasinya seperti yang ‘berkuasa penuh’ dengan ‘tuna-kuasa’, seperti relasi ‘penjajah’ dan ‘terjajah’. Maka dalam sudut pandang ini, pemerintah pasti selalu merasa benar dan pandai, sementara pihak yg satunya adalah salah dan bodoh.

Hubungan seperti itu jelas tidak sehat dan menimbulkan ekses lain. Yang memerintah atau yang mengeluarkan perintah akan jadi jumawa dan merasa paling benar sehingga akan semakin sok kuasa. Sementara yang diperintah terus menerus akan merasa tertindas, perasaan inferiority complex bisa menjadi penyakit kronis.
Karena jumlah yang diperintah jauh lebih banyak daripada yang memerintah, maka orang-orang yang berpenyakit inferior di suatu negeri itu jauh lebih banyak pula. Akibatnya kontribusi kemajuan bangsa dari orang-orang yang inferior tentu saja sulit diharapkan. Di pihak lain, pemerintah yang sok dengan kuasanya akan bersikap semena-mena, karena rakyat mereka anggap hanyalah objek yang bisa disuruh-suruh, yang bisa diperintah terus.

Oleh karena itu, bagi kita yang selama ini terus di’dubbing massal’untuk menggunakan kata ‘pemerintah’ sebagai ganti predikat terhadap penyelenggara, pengurus, atau aparatur negara saatnyalah mulai sekarang merubah kata itu. Kita mulai dari lingkungan kita, hingga suatu saat diharapkan kata ‘pemerintah’ secara total diganti dengan ‘pengurus negara’ di semua level.

Gagasan ini terlihat sederhana dan sepele, tetapi tidak dalam jangka panjang. Terus menggunakan kata ‘pemerintah’ hanya akan membuat bangsa ini mandeg bahkan mundur ke era seperti zaman penjajahan dulu. Tentu kita semua sebagai anak bangsa yang cinta bangsa dan tanah air Indonesia tidak mau hal itu terjadi. Maka mulailah merubah kata ‘pemerintah’ itu. Karena seperti kata pepatah, change your word, change your world. Merubah kata, akan merubah dunia. Para penggiat NLP (Neuro Linguistics Program) meyakini bahwa mengganti kata akan merubah makna, akan merubah pikiran, dan selanjutnya akan merubah tindakan.

Demikian argumentasi saya menulis judul ini sebagai Saya Anti ‘Pemerintah’. Yang coba saya tolak adalah makna terselubung dalam kata ‘pemerintah’ itu, bukan anti pada pengurus Negara yang saat ini dikepalai oleh Presiden Soesilo bambang Yudhoyono. Mereka tetap kita dukung sampai akhir masa jabatannya. Jadi saya tidak menghasut kan kan pak Beye? Hehehe. Merdeka!

Salam anak negeri.
Bandung, 18 November 2011
Temukan juga disini : kompasiana
dan di: http://hminews.com/opini/saya-anti-%E2%80%98pemerintah%E2%80%99/ 

2011/11/15

Gandhi dan Walk the Talk


Picture is powered by google
Diceritakan pada suatu ketika ada seorang ibu yang mulai gusar dengan kebiasaan anaknya yang terus memakan permen. Sudah berkali-kali si ibu menasihati si anak agar tidak terus mengkonsumsinya. Si Ibu melarang karena khawatir gigi anaknya akan cepat berlubang dan rusak. Namun si anak tidak terlalu menghiraukan nasihat ibunya itu dan tetap saja meneruskan kesukaannya.

Hingga suatu ketika si ibu berniat minta nasihat ke seorang bijak yang dia kenal dan juga tokoh yang sangat dikaguminya, Mahatma Gandi. Ya, si ibu menemui tokoh besar india yang luar biasa itu. Dia membawa anaknya serta. 

Sampai di tempat tuan Gandhi berada, si ibu menceritakan maksud dan tujuan dari kedatangannya. Setelah mendengar semua cerita dari si ibu, tuan Gandhi hanya berucap, ‘Datanglah kembali, seminggu lagi’. Hanya itu saja kalimat dari pengajar gerakan a-himsa itu. Tidak ada kalimat lain yang disampaikannya. Karena hormatnya, si ibu menuruti, bersama sang anak ia kembali pulang ke rumahnya. 

Minggu depannya, si ibu kembali datang ke tempat Gandhi. Kemudian Gandhi menghampiri si anak dan menasihatinya. Setelah menerima nasihat dari Gandhi si ibu dan anak pun pulang. Benar saja, setelah menerima nasihat tersebut kebiasaan makan permen si anak berhenti total. Tentu saja si ibu sangat senang melihat perubahan dari anaknya itu. Namun ia bertanya-tanya dalam hati, ko bisa ya nasihat tuan Gandhi yang hanya sekali itu saja bisa merubah kebiasaan si anak.

Dengan rasa penasaran yang sangat, si ibu kembali menemui tuan Gandhi dan bertanya, ‘Wahai tuan guru, apa kiranya kalimat yang tuan guru nasihatkan ke anak saya?”. Tuan Gandhi menjawab dengan tenangnya, ‘Saya hanya minta, Nak, jangan makan permen lagi ya karena bisa merusak gigimu’. Ha, ekspresi si ibu semakin terlihat bingung. Terus si ibu menanyakan, “Kenapa kalau hanya dengan satu kalimat nasihat itu saja saya harus menunggu selama seminggu? Tuan Gandhi menjawab, “Ketika pertama kali ibu datang, saya masih suka mengkonsumsi permen juga. Sehingga saya meminta ibu untuk kembali menemui saya seminggu kemudian. Dan selama seminggu itu saya menghentikan kebiasaan saya makan permen”. 

Wow, luar biasa! sebuah kisah yang sangat inspiratif telah diajarkan oleh founding father India itu kepada dunia. Cerita ini demikian hebatnya sehingga sudah menjadi menu wajib bagi guru-guru kepemimpinan dalam menyampaikan contoh role-model leadership pada setiap trainingnya, atau istilah yang sering disampaikan oleh para trainer ilmu kepemimpinan masa kini adalah walk the talk. Laksanakan apa yang Anda ucapkan. Selaraskan ujaran dan tindakan. Back up your talks with real actions!

Kalimat yang berdaya ubah dahsyat terhadap sikap dan pandangan orang lain adalah kalimat lisan yang dibuktikan dengan tindakan. Walk the talk, seperti kisah di atas. Jika seorang pemimpin pandai berkata-kata, namun tindakan tidak menampilkan kesesuaian dengan perkataannya itu, percayalah, pemimpin seperti ini hanya sedang berjalan menuju pinggir jurang degradasi.

Semoga kita semua bisa menjadi pemimpin yang walk the talk, di level manapun kita berada. Amin. 

Bandung, 15 November 2011
*Dimuat juga di http://hminews.com

2011/11/14

Beralihlah, Dari Ego Menuju Geo


Seorang bijak berkata bahwa dewasa itu adalah sikap. Sama sekali tidak terpaut dengan usia. Boleh jadi mereka yang usianya sudah tua namun belum dewasa, atau sebaliknya, seseorang yang relatif masih muda usianya tapi begitu dewasa sikapnya.

Sebenarnya dewasa itu seperti apa? Pasti akan kita temukan banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Diantara jawaban yang saya temukan, kalimat berikut ini adalah favorit saya: ‘Orang yang semakin dewasa mulai mengalihkan perhatiannya dari dirinya sendiri ke orang lain! Ada perubahan sikap yang mulai terlihat bagi yang dewasa, terkait perhatian dan kepentingan. 

Semakin dewasa, semakin tidak memikirkan diri sendiri. Perhatiannya sudah tidak mementingkan diri sendiri lagi (ego), tapi bergeser terhadap memikirkan, mengusahakan, dan melayani kepentingan orang lain atau alam sekitarnya (geo). Sikap seperti ini jugalah yang disamakan dengan sikap kepahlawanan. Kepahlawanan itu tidak hanya memikirkan kepentingan orang lain, namun juga rela mengorbankan resources-nya untuk kepentingan orang lain yang lebih banyak. 

 Bagi yang memiliki sikap kepahlawanan ini sudah pasti kedewasaan menjadi identitas mereka. Identitas yang tidak perlu menuntut klaim. Karena klaim yang dilakukan oleh seseorang atas sikap atau hal kepahlawanan yang pernah dilakukannya hanyalah menunjukkan kekerdilan jiwanya.Sementara jiwa yang kerdil tak akan beroleh kebahagiaan. Berbeda dengan jiwa besar, jiwa dewasa, jiwa pahlawan, yang pasti akan berujung pada kebahagiaan. Kebahagian dalam melayani, membantu, dan berbagi. 

Berbagi bisa dengan cara apa saja. Bagi yang mampu secara ekonomi, dapat berbagi dengan hartanya. Bagi yang mampu secara ilmu, dapat berbagi dengan ilmu pengetahuanya. Bagi yang mampu secara tenaga, dapat berbagi dengan tenaganya. Demikian juga bagi yang memiliki kemampuan-kemampuan lainya. 

Kemampuan yang dimiliki oleh orang dewasa ini, mereka anggap adalah benar-benar ‘titipan’ Tuhan Yang Maha Pemberi. Dengan demikian, kewajiban untuk membagikannya adalah perintah yang tidak dapat dikompromikan. Apalagi dalam ajaran agama yang kita yakini, bahwa memberi adalah cara terbaik untuk dapat menerima. Semakin banyak memberi semakin banyak menerima, demikianlah sinyalemen dari the power of giving.

Karena orang dewasa sudah siap mengalihkan kepentingan dirinya (ego) menuju kepentingan orang lain atau  lingkungan dan alam sekitarnya (geo), maka the secret of giving itu sudah terbuka selebar-lebarnya bagi mereka. Semakin mereka melayani geo, semakin pula geo melayani ego. Sehingga janji Allah atas ganjaran bagi yang banyak bersedekah atau berinfak dalam surat al-Baqarah: 261 yang artinya sebagai berikut ini adalah sebuah kebenaran yang nyata.

"Perumpaan orang yang menginfaqkan hartanya pada jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki, Allah maha luas , lagi maha mengetahui." (QS. SURAH-AL-BAQARAH: 261).

Mudah-mudahan kita semua dapat menarik manfaat dari tulisan singkat ini, terutama bagi penulis sendiri. Amiin

*Pictures in this blog are powered by google
Bandung, 14 November 2011