Kalau saja saya membuat tulisan
ini di masa pemerintahan Orde Baru dulu, mungkin langsung diciduk oleh aparat
keamanan. Media yang memuatnya pun akan dibredel. UU Subversif langsung
dijadikan alasan. Tapi untunglah di masa kita sekarang kebebasan berpendapat
sudah terus dihargai oleh Negara. Credit poin buat government.
Menurut saya, sepanjang
argumentasi yang disampaikan benar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka
pendapat bagaimanapun dan tentang apapun perlu diappresiasi sebagai
penghormatan terhadap kemanusiaan. Kenapa? Karena jalan pikiran manusia itu
unik dan tidak bisa dipaksakan untuk diseragamkan maka menghormati jalan
pikiran seseorang, berarti menghormati pula nilai-nilai kemanusiaan itu
sendiri.
Lalu, apa argumentasi saya
sehingga membuat tulisan yang mungkin terdengar frontal ini? Sederhana saja.
Saya minta para pembaca sekalian mengembalikan kata ‘Pemerintah’ pada kata dasarnya, maka keluarlah kata ‘perintah’.
Kata ‘Perintah’ memiliki makna perkataan yg bermaksud menyuruh melakukan
sesuatu; suruhan. Maka ‘pemerintah’ adalah orang atau sekelompok orang atau
lembaga yang melakukan pekerjaan menyuruh
melakukan sesuatu kepada pihak lain. Pemerintah itu inginnya mengeluarkan
perintah terus.
‘Pemerintah’ bisa saja tidak melakukan kewajiban seperti apa yang
harus dilakukan oleh yang diperintahnya. Kata pemerintah memunculkan dikotomi
yang tajam antara ‘yang memerintah’ dengan ‘yang diperintah’. Relasinya seperti
yang ‘berkuasa penuh’ dengan ‘tuna-kuasa’, seperti relasi ‘penjajah’ dan ‘terjajah’.
Maka dalam sudut pandang ini, pemerintah pasti selalu merasa benar dan pandai,
sementara pihak yg satunya adalah salah dan bodoh.
Hubungan seperti itu jelas tidak
sehat dan menimbulkan ekses lain. Yang memerintah atau yang mengeluarkan
perintah akan jadi jumawa dan merasa paling benar sehingga akan semakin sok kuasa. Sementara yang diperintah
terus menerus akan merasa tertindas, perasaan inferiority complex bisa menjadi penyakit kronis.
Karena jumlah yang diperintah
jauh lebih banyak daripada yang memerintah, maka orang-orang yang berpenyakit inferior di suatu negeri itu jauh lebih
banyak pula. Akibatnya kontribusi kemajuan bangsa dari orang-orang yang
inferior tentu saja sulit diharapkan. Di pihak lain, pemerintah yang sok
dengan kuasanya akan bersikap semena-mena, karena rakyat mereka anggap hanyalah
objek yang bisa disuruh-suruh, yang bisa diperintah terus.
Oleh karena itu, bagi kita yang
selama ini terus di’dubbing massal’untuk
menggunakan kata ‘pemerintah’ sebagai ganti predikat terhadap penyelenggara,
pengurus, atau aparatur negara saatnyalah mulai sekarang merubah kata itu. Kita
mulai dari lingkungan kita, hingga suatu saat diharapkan kata ‘pemerintah’
secara total diganti dengan ‘pengurus negara’ di semua level.
Gagasan ini terlihat sederhana
dan sepele, tetapi tidak dalam jangka panjang. Terus menggunakan kata ‘pemerintah’
hanya akan membuat bangsa ini mandeg bahkan mundur ke era seperti zaman penjajahan
dulu. Tentu kita semua sebagai anak bangsa yang cinta bangsa dan tanah air
Indonesia tidak mau hal itu terjadi. Maka mulailah merubah kata ‘pemerintah’
itu. Karena seperti kata pepatah, change your word, change your world. Merubah
kata, akan merubah dunia. Para penggiat NLP (Neuro Linguistics Program)
meyakini bahwa mengganti kata akan merubah makna, akan merubah pikiran, dan
selanjutnya akan merubah tindakan.
Demikian argumentasi saya menulis
judul ini sebagai Saya Anti ‘Pemerintah’.
Yang coba saya tolak adalah makna terselubung dalam kata ‘pemerintah’ itu,
bukan anti pada pengurus Negara yang saat ini dikepalai oleh Presiden Soesilo
bambang Yudhoyono. Mereka tetap kita dukung sampai akhir masa jabatannya. Jadi
saya tidak menghasut kan kan pak Beye? Hehehe. Merdeka!
Salam anak negeri.
Bandung, 18 November 2011
Temukan juga disini : kompasiana
dan di: http://hminews.com/opini/saya-anti-%E2%80%98pemerintah%E2%80%99/
Temukan juga disini : kompasiana
dan di: http://hminews.com/opini/saya-anti-%E2%80%98pemerintah%E2%80%99/