"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2011/12/21

Telkomsel Kompasiana Blogshop Bandung 2011

Inilah para peserta Telkomsel Kompasiana Blogshop, di Green Cafe Jl. Diponegoro 26 Bandung (18 Desember 2011)
Sesaat sebelum opening, beberapa peserta menyiapkan laptop masing-masing
Menulis diiringi oleh live music, dan ditemani oleh juice-juice segar.. wow nikmatnya :p
Saya dan mas Mujiyanto (blogger dari Yogyakarta)

”Kepala Negara Tanpa Ibu Bangsa”

“Kamu ngeh gak sih kalau umr (upah minimum regional) itu sama dengan penjajahan yang harus dihapus oleh ketentuan alinea pertama Pembukaan UUD’45? Bagaimana kita bisa selamat dan sentosa seperti yang dijanjikan oleh paragraf selanjutnya? Kalau kebutuhan hidup kita hanya disuplay dengan standar minim bukan oleh standar layak seperti yang dijanjikan dalam konstitusi? Terang saja minim jugalah kemampuan otak dan hati bangsa ini: para akar rumput sampai kepada Beye menuntut kenaikan gaji” celoteh Rusdi seorang wartawan sambil bergaya plesetan  menunjuk ke kepalanya sendiri lalu telunjuknya diarahkan ke dada kami satu persatu.

”Hahahaaa” terbahak Kartini dan kawan seprofesi yang ada disitu.

”Tidak terlalu heran jika index pembangunan manusia Indonesia tahun ini makin merosot ke posisi 124 dari sebelumnya urutan 111  sudah berada dibawah Palestina yang menempati urutan ke 97” lanjut Rusdi dengan suara makin rendah...

”Ayo serbu makan sebuanyaknya agar bisa bekerja optimal ” Sambil terus cekikian para kuli tinta itu menuju deretan tata meja sangat menawan ada berbagai aneka kue kecil, makanan-minuman dan bunga-bunga rangkaian berukuran besar. Di salah satu ruang hotel berbintang lima saat break makan siang meliput seminar ekonomi tentang proyeksi ekonomi Indonesia 2012 ”Ekonomi Indonesia ’Megap-Megap’ Bukan Akibat Krisis Ekonomi di EU-AS Melainkan...”
 
Malamnya dibilik sewaan ditempat tidur Kartini berguling ke kanan-kekiri tangannya menyapu peluh yang mulai mengganggu tidurnya. Dia beranjak meraih kipas angin kecil didekatnya diarahkan ke wajah sekalian mengusir denging suara nyamuk dari telinga.  Kantuk dan udara panas silih berganti menyerang, Kartini bangun lalu duduk dipinggiran dipan. Diusap keringat yang membasahi anak-anak rambut disepanjang dahi dan leher, tercium bau apek tubuh dan bau keringat dari bantalnya. Ketika isaknya terdengar kedua tangan berpindah menyusuti air berlinangan dari kedua sudut matanya.
 
”Ooh betapa miskinnya ternyata hidupku ini menjadi rakyat di negara Republik Infrastruktur (RI). Sejak merdeka kepala negara RI rupanya hanya tahu membangun gedung-gedung dan  jalan-jalan ketimbang membangun rakyat seperti aku ini” Matanya menyapu keseluruh ruang tempat tinggalnya, ”Kandang untuk binatang kesayangan para elit yang sering kuwawancarai jauh lebih baik kondisinya ketimbang tempat indekosku” Kartini membatin.
 
Kartini adalah generasi era reformasi, tentang era orla dan era orba dia hanya tahu dari ”katanya”. Nama yang melekat pada dirinya memberi andil sangat besar kepada pengembangan intelektualnya. Nama itu telah mendorong keinginan tahu Kartini tentang cita-cita Raden Ajeng (RA) Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No 108/ Thn 1964 Tgl 2 Mei. Kiat RA Kartini, ”jika ingin memajukan bangsa kuncinya adalah para ibu mesti menjadi pembangun karakter anak-anak bangsa sejak dini di rumah. Sedangkan sekolah hanya bertugas mencerdaskan anak-anak itu”
 
Terngiang lagi suara Rusdi, “Kamu ngeh gak sih kalau umr (upah minimum regional) itu sama dengan penjajahan?”
 
Isak makin memilukan menyuarakan batin Kartini.
Klop!  ucapan Rusdi dan uu negara itu mengukuhkan uneg-uneg ketidak adilan yang sering menerobos lalu menimbulkan rasa sakit dalam dada Kartini, tentang perampokan hak-hak hidupnya secara konstitusional yang  betul-betul baru disadari kemarin siang. 
 
Dikibaskan kepalanya,
”Harus tetap smangat...” gerutunya menguatkan diri.
 
Tentang dirinya dia menulis dalam buku harian demikian:
Kedua orang tuaku tidak memiliki alasan lebih penting kecuali Raden Ajeng (RA) Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional Indonesia adalah Puteri Bupati Jepara, kabupaten asal kami. Maka beliau berdua memberi nama aku: Kartini. Setiap tanggal 21 April perayaan Hari Kartini aku ”sangat sangat sangat” bergembira bahkan merasakan seakan-akan hari itu adalah hari jadiku. Nama ”Kartini” disebut dimana-mana oleh murid-murid sekolah dasar hingga pidato Presiden Republik Indonesia.
 
Seluruh cerita, berita dan tulisan yang mengulas tentang Kartini banyak yang kubaca.  Ketika aku tersandung gundah-gulana surat-surat RA Kartini dalam kumpulan buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane adalah sahabat pelipur lara  kubaca di depan cermin bak pembaca sajak ternama.

Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang ”anak gadis modern” gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk mesyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia. Bernyala-nyala hati saya, gembira akan zaman baru... ” surat RA Kartini kepada Nona Zeehandelaar, Jepara tertanggal 25 Mei 1899.
 
Dan aku akan segera menjawab, ” Aku! Aku! Akulah gadis itu, Ibuuu....”
 
Dari surat-surat beliau yang dibukukan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang aku mengetahui bahwa kebobrokan moral: gila hormat, berkuasa, perselingkuhan, minuman keras dan candu. Saat ini populer dengan tebar pesona, kkn, selingkuh, miras dan narkoba sudah mewabah dalam era kehidupan RA Kartini.
 
Sebelum aku belajar psikologi aku sudah tahu dari surat-surat Ibuku itu bahwa kebobrokan itu datangnya dari para pemilik rahim yaitu kaum ibu yang tidak melaksanakan masa emas 3 tahun pertama kehidupan putra-putrinya :  Perempuanlah yang menaburkan bibit rasa kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali dalam hati sanubari manusia; rasa kebaktian dan kejahatan itu kebanyakannya tetaplah ada pada manusia itu selama hidupnya.
Sekolah mencerdaskan pikiran sedang kehidupan di rumah tangga membentuk watak anak itu!”
Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga , dan kepada ibu itulah dipertanggungkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu: yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis itu pendidikan yang sempurna jagalah agar ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu. (Kepada Tn Anton dan Nyonya, 14 Okt 1902)
 
                                           ***
Di negeri ini ada dimanakah pendidikan yang dimaksud oleh Ibuku itu  dan ada dimanakah sekolah seperti gagasan para Founding Mothers yang lain?
Organisasi PIKAT: Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya gagasan Maria Walanda Maramis Pahlawan Pergerakan Nasional SK Presiden RI No 012/TK/Tahun 1969, Tgl 20 Mei 1969 membangun sekolah-sekolah putri tersebar dari Kema kota pelabuhan kecil di Sulawesi Utara hingga ke Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Ujungpandang, Balikpapan, Sangu-Sangu, Kotaraja, Jakarta, Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi , Magelang.
 
Begitu juga sekolah Keutamaan Istri berdiri tahun 1904 di Bandung menyebar ke Garut, Tasikmalaya, Purwakarta dan ke kota-kota lain gagasan dari Raden Dewi Sartika Pahlawan Pergerakan Nasional SK Presiden RI No 252/Thn 1966, Tgl 1 Des 1966.
Menjelang subuh hawa dingin menyelinap menidurkan mata sembab Kartini. Dia tak bergeming meskipun kemudian suara adzan bersahut-sahutan dari mesjid dan surau di kawasan padat di sekitar tempat tinggalnya disusul  suara ribut induk semang dan para penghuni rumah kos saling menyerobot masuk ke kakus dan ke kamar mandi.  

Baru ketika hawa panas menerobos masuk sekitar pukul 9 pagi, Kartini menggeliat tangannya mengusapi peluh dan terbangun untuk merasakan lagi kehidupan miskin membentang didepannya dan harus diarungi. Jika tak pandai-pandai menjaga diri penyakit hepatitis yang menunjuk Indonesia diperingkat ke 3 dan penyakit tbc diurutan ke 5 dunia siap melahap tubuh kekar Kartini.
  
Dalam catatan buku harian Kartini,  tentang Presiden Soekarno yang mengukuhkan RA Kartini menjadi Pahlawan Pergerakan Nasional RI, dia menuliskan begini: Aku sangat kagum kepada Presiden Pertama RI  yang telah mengangkat Ibuku menjadi Pahlawan Nasional.
 
Sekaligus aku merasa iba terhadap Presiden Soekarno sebagai seorang pejuang gigih  sekaligus Bapak Proklamator, jangan-jangan keputusannya menikah dengan banyak wanita berbagai usia: wanita dari kalangan politisi, akademik sampai dengan menikahi wanita Jepang yang dikabarkan pekerja kelab malam. Adalah usahanya dalam menemukan sosok istri seperti RA Kartini yang memiliki cita-cita menjadi ibu yang cakap dan berpikiran: peradaban dan kepintarannya pasti akan diturunkannya kepada anak-anaknya; anak-anaknya perempuan yang akan menjadi ibu pula, anak-anaknya laki-laki yang akhir kelaknya mesti menjadi penjaga kepentingan bangsanya. Kpd Tuan Anton dan Nyonya 4 Okt 1902.
 
Pemerintahannya berakhir dengan kudeta melengserkan dia, wafat mengenaskan akibat puluhan tahun tak menemukan Ibu Bangsa yang sanggup mengimbangi tugas-tugas membangun bangsa Indonesia.
 
Dalam kliping pidato Presiden Soeharto di Hari Ibu setiap tanggal 22 Des, jelas sekali bahwa  Presiden mewanti-wanti bahwa, fungsi ibu terhadap pendidikan anak-anak tidak bisa digantikan oleh siapapun! Dalam pemerintahan orde baru jugalah UU Pernikahan RI No 1 Thn 1974 disahkan. Namun dalam pemerintahan orde baru itulah Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) termasuk kurikulum budi pekerti dihapuskan. Ini kan kebijakan yang bertolak belakang dengan Hak-Kewajiban dalam Pasal 24 (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya....
 
Idem ditto dengan Presiden RI pertama. Presiden RI kedua hidupnya berakhir dengan tragis, beramai-ramai diturunkan oleh rakyat dari jabatan Presiden. Bahkan setelah wafat pun masih tetap dituntut pertanggung jawaban dengan tuduhan memiskinkan rakyat.  Saya percaya ini adalah akibat  istrinya Ibu Tien Soeharto, ketimbang menjabarkan jurus-jurus membangun keluarga khususnya hubungan ibu dan anak, beliau populer dengan sebutan Ibu ”Ten Persen” dituduh memperoleh komisi dari pemenangan proyek-proyek nasional sebesar 10%.
 
 Lalu bagaimana dengan istri-istri presiden eraku, era Reformasi? Khususnya Istri Presiden SBY yang berhasil memasuki periode kedua pemerintahan?  Hampir seluruh media di Indonesia mengutip bocoran Wikileaks tentang istri Presiden RI, Ibu Ani Yudhoyono menjadi: broker proyek nasional memperkaya keluarganya....
 
Aku yakin ibuku adalah arif-bijaksana jika dia yang menjadi  ibu negara pasti  keterpurukan moral dan terhambatnya etos kerja rakyat tak seburuk seperti saat ini. Ibu berbicara banyak kepada kami putra-putrinya.
 
Termasuk komentar-komentarnya ketika melihat kekerasan orang tua terhadap anak di sinetron-sinetron ditelevisi. Ibu bilang bahwa anak-anak tidak mengerti kondisi orang tua, seharusnya orang tualah yang menyesuaikan diri terhadap anak-anak. Dalam kondisi apapun orang tua harus memberikan rasa aman dan nyaman. Dengan demikian mudah mengarahkan anak-anak kepada tata susila dan mengikuti keteladanan sehari-hari yang dicontohkan oleh kedua orang tua itu sendiri.
 
Hatiku merasa tentram kepada ibu dan bapak yang lebih mengkritisi perilaku para orang tua segenerasinya dan tidak menyalahkan kami generasi muda. 
 
Tampaknya Ibu Negara dan para istri menteri belum membaca kumpulan surat-surat Pahlawan Pergerakan Nasional RA Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Belum mengetahui sejaran perjalanan para Founding Mothers. Sekaligus tidak menyimak pengalaman pahit para pendahulu.  Jelas sekali dari aktivitasnya sebagai Ibu Masyarakat dan Ibu Bangsa tidak mencerminkan bahwa mereka telah melaksanakan tugas-tugas keibuannya dengan baik terhadap putra-putrinya sendiri. Oleh sebab itu mereka tidak mampu memberikan nilai tambah kepada pembangunan generasi muda yang lahir dari setiap rahim para ibu Indonesia.
                                       ***                                        
Kartini memasang helem di kepala bersama motornya meluncur ke Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat di Kebayoran Baru. Sebetulnya dia enggan datang ke diskusi ahli tentang permukiman seperti ini, sangat membosankan. Sementara jumlah orang tak berumah makin banyak. Pertemuan semacam ini tidak ada yang baru kecuali membahas teknis teknis dan teknis lagi. Dan yang paling menjengkelkan tak jarang diselipkan tawa-tawa terkekeh: perumahan sebagai sarana-prasarana domestik tempat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan pembangunan jati diri bangsa di pelesetkan kepada rumah kedua untuk menyimpan istri-istri muda.
 
 ”Salamualaikum” sapa pria muda bergegas menghampiri Kartini.
 
Tentang pria muda itu Kartini menulis begini: mas Heru meminta kepastian tahun ini orang tuanya ingin melamar aku. Tapi aku belum menjawab, menikah berarti mewujudkan cita-cita Ibuku: ”Ibu Kita Kartini”
Menikah itu asalnya memang suruhan Tuhan dan menjadi tujuan hidup yang semurni-murninya” begitu isi suratnya kepada Ny Van Koln Agts 1901.
 
Aku harus dapat menjamin bahwa anak-anak yang akan kulahirkan mempunyai kehidupan dan masa depan bagus. Memimpin hati anak-anak. Membentuk watak anak-anak. Mencerdaskan otak muda. Aku harus menjadi ibu  yang cakap dan berpikiran, Indonesia pasti mendapat pekerja yang cakap memajukannya! Kecerdasan dan kepintaranku harus kuturunkan kepada anak-anakku. Anak-anak kami yang perempuan harus menjadi ibu pula. Dan anak-anak kami yang laki-laki mesti menjadi penjaga kepentingan bangsa ini.
 
Aku sayang mas Heru aku cinta dia. Namun kepastian tentang jaminan kehidupan baik untuk anak-anak kami itu kulihat belum dimiliki oleh mas Heru. Jika tahun depan kami menikah tak mungkin aku bisa melakukan semua cita-citaku itu. Aku harus berhenti bekerja dan harus menjadi ibu. Masalah berhenti bekerja inipun belum kami bicarakan dan tidak ada tanda-tanda mas Heru akan memulai pembicaraan itu.

Sebagai sarjana dan wartawan politik, kekasihku ini, secara tidak dia sadari beretorika terus di depanku. Bahwa bekerja menjadi wartawan adalah proses menuju cita-citanya menjadi Bupati di kampung halaman dan bla bla blaaa...
 
Meskipun sudah berusaha kugiring kepada pembicaraan: bagaimanakah ”bentuk ” keluarga kami dalam sepuluh tahun pertama tugasku menjadi ibu dari anak-anak yang lahir nanti? tetap saja mas Heru belum mengerti.

Upah minimum regional DKI hanya sekitar Rp 1.290 juta per bulan plus- plus sampai ditangan hampir Rp 2 juta seperti yang kuterima sekarang. Ngekos di daerah padat penduduk seperti yang kutempati saat ini dekat dengan kantor agak ngirit ditranspor satu kamar tidur dengan satu dipan dan satu lemari sebulan sewanya sudah Rp 500 ribu. Sebagai pegawai tetap gaji mas Heru bisa lebih tinggi dikit dari yang kuterima tetapi pasti tidak mencukupi jika kami jadi berkeluarga.
 
Yang jelas aku tak mau mengulang-ulang kesalahan generasi sebelum aku, aku tidak akan mau hidup bersama di rumah orang tua mas Heru, maupun tinggal bersama di rumah ayah-ibuku.
 
Saat ini aku juga masih harus mengirim uang ke Jepara setiap bulan Rp 300 ribu kadangkala ya Rp 200 ribu saja untuk ayah dan ibu untuk bersuka ria disetiap akhir minggu.  Tak terbayang perihnya hati ini apabila kiriman itu mesti berhenti...
 
Dan tak terbayang pula hancurnya hatiku ini apabila nanti melihat wajah muram mas Heru ketika menjadi suamiku, akibat tak dapat memberikan kehidupan lebih baik dari yang  kujalani saat ini. Atau bahkan rontok idealisme lalu menjadi wartawan amplop. ”Hanya yang halal saja yang boleh menghidupi kami!” jerit Kartini mengenyahkan bayangan yang tak dikehendaki dari benaknya.
 
Kartini dan Heru memasuki ruang seminar, seperti biasa sepi yang hadir ya orang itu-itu saja. 

” Bangunan pisik permukiman yang selaras dengan dinamika sosial dan bermula di permukiman apartemen sewa terpadu pembangun karakter bangsa sejak dini untuk para keluarga muda yang dibangun oleh pemerintah Jepang. Adalah penangkal terjadinya ”urban bias” di kota-kota dan kehidupan masyarakat desa di Jepang. Tokyo berpenduduk 30 juta pada siang hari, disiplin dapat diterapkan.
Singkatnya: tata manusia menentukan tata ruang dan tata kota, adalah dasar meningkatnya pendapatan perkapita berstandar akademik-universal. Inilah kunci sukses pemerintah Jepang Moderen paska PD II menjadi bangsa tersejahtera dan memiliki harapan hidup terlama dunia survei PBB thn 2000-2011 berturut-turut” pemakalah mengakhiri paparannya dilayar meninggalkan gambar permukiman apartemen dikelilingi oleh pohon-pohon bunga sakura sedang bermekaran.
 
” Terima kasih Bu presentasinya sangat inspiratif . Pertanyaan saya Bu, dari mana kita bisa segera memulai membangun permukiman inovatif untuk generasi muda seperti itu sesegera mungkin? Sementara jumlah rumah standar lokal setiap tahun yang tidak berhasil dibangun oleh pemerintah hingga saat ini jumlahnya sudah lebih 14 jutaan, Bu. Terima kasih ”
 
” Terima kasih. Indonesia membutuhkan dana pembangunan lebih besar dari pembangunan permukiman ini sendiri, Pak.  Mengingat KSNPP-kebijakan strategi nasional perumahan dan permukiman- RI Thn 2000-2020 yang sudah kita semua ketahui bahwa tempat tinggal adalah: pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan pemantapan jati diri bangsa. Berarti pendidikan dan budaya yang harus disemaikan sejak dini dari dalam rumah untuk generasi orang tua baru dan generasi putra-putrinya, termasuk pula pemerintah harus memenuhi kebutuhan manusia yang sama urgensinya untuk disemaikan budayanya sejak dini yaitu: sandang, pangan, lingkungan hidup, pendidikan-kesra dan keamanan nasional.
 
”Menteri Negara Perumahan Rakyat dalam kondisi darurat harus segera menyampaikan kepada Presiden RI segera bertindak tegas dan segera menentukan haluan kebijakan luar negeri bebas aktif mewujudkan pembangunan holistik nasional-global melalui entry dari pembangunan permukiman.
 
Mutlak! RI harus bekerja sama berdasarkan kepada patnership-stategis untuk memperoleh pendanaan, alih ilmu pengetahuan saintek dan membangun industri nasional-global sekaligus kepastian pasar luar negeri menerima produk-produk Indonesia .  Silakan pilih  berpatnership-strategis dengan AS, Rusia atau Cina kah?
 
Berparnership-stategis dengan AS bisa hidup antara lain layaknya rakyat Jepang, Korea Selatan, Taiwán dan Singapura.  Dengan Rusia bisa hidup layaknya rakyat Kuba dan berstrategis partnership dengan Cina bisa hidup layaknya kehidupan di Korea Utara”

“Apabila tetap memilih kerja sama patnership-komprehensif dengan banyak bangsa dengan kiat diplomasi Indonesia saat ini: Thousands Friends Zero Enemy, kondisinya akan terus seperti ini. Hanya dapat pertemanan saja,  tidak ada kepastian kerja-sama membangun secara win-win solution. Liberalisasi yang diberlakukan saat ini mulai tampak datanya lebih banyak menguntungkan our friends ”  

“ Luar biasa, Karti. Aku perlu wawancara, dia mengerti sekali pembangunan mikro sampai makro” tiba-tiba Heru seperti meloncat dari kursi bergegas ke depan.
 
Kartini agak tidak mengerti paparan tentang kerja sama patnership-komprehensif dan partnership-strategis semacam bahasa politik yang sering diucapkan oleh Heru. Tapi dia merasa ada kelegaan semoga bangunan permukiman apartemen sewa terpadu yang gambarnya masih terpampang di layar paparan juga menarik perhatian Heru si bakal calon Bupati masa depan #
Sebuah fiksi- cerpen oleh: Anni Iwasaki
---
Mengucapkan Selamat Hari Ibu 22 Desember 2011
Add FB: anni iwasaki; twitter: @anni_iwasaki; search google: anni iwasaki or pusjuki.   

 

2011/12/15

The Power of F.E.R.I

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan kerja mengenai value ataupun spirit dalam mengelola bawahan. Bahasa kerennya ‘Subordinate Management’ (Baca: Pengelolaan Bawahan/ Team). Ada banyak gagasan dan semangat mengenai value tersebut yang saya terima dari rekan-rekan kerja tadi. Semuanya hebat. Banyak yang mengutip para pakar manajemen kepemimpinan (dalam dan luar negeri). Ada juga yang mencoba mencari-cipta sendiri.

Kemudian, tiba  saatnya giliran saya yang menyampaikan value yang saya gunakan dalam mengelola team/ bawahan. Mungkin pada awalnya, begitu mendengar penjelasan saya, rekan-rekan tersebut mengira saya sok narsis. Kenapa? Karena saya mengajukan gagasan value berikut ini: The Power of F.E.R.I. Kekuatan FERI? Dan kebetulan F.E.R.I adalah sama dengan nama depan saya. Tentu tidak mengherankan jika mereka berfikir saya narsis. Namun saya punya penjelasan lain.

The Power of F.E.R.I. (baca: ef, e, er, i) bukanlah merujuk pada personal saya pribadi. Ia bermakna: Daya dari makna huruf F.E.R.I. Lalu, apa saja makna keempat huruf tersebut?

F: Freedom.
Kebebasan. Itu spirit yang sangat humanis yang wajib dimiliki oleh semua karyawan, karena itu hak mereka. Sehingga jelas itu akan saya utamakan dalam team. Tapi semua ada aturannya. Kebebasan yang bertanggung jawab adalah maksud saya dengan value ini. Terutama dalam menyusun rencana aksi dalam menghadapi tantangan berorganisasi, selain saya bisa memberikan instruksi langsung, juga sering saya lakukan pemberian ‘kebebasan’ kepada karyawan dalam menyampaikan inisiatif. Tidak jarang ide-ide segar dari karyawan sangat membantu organisasi untuk tetap runs well dan mencapai performa puncak.

E: Enthusiastic.
Antusias. Value ini diperlukan untuk menjadi pemantik api semangat dalam bekerja. Banyak ide segar yang ingin dikeluarkan oleh seorang karyawan pada saat meeting menjadi tidak ditanggapi oleh forum karena yang menyampaikannya tidak memperlihatkan antusiasme sedikit pun. Demikian sebaliknya, kadang ide yang biasa-biasa saja, namun karena dikemas dengan antusias oleh sang penggagas, ia menjadi menarik attensi forum dan menjadi boom.

Antusiasme ini (harus) saya lakukan setiap saat dalam berinteraksi di keorganisasian. Demikian pun pada bawahan/ team, mereka harus juga memperlihatkan antusiasme yang sama atau lebih. Karena antusiasme menunjukkan berapa serius kita dalam bekerja.

R: Rely on each other.
Saling mengandalkan, inter-dependent. Value ini harus dipahami secara teliti. Ia bermakna saling mengandalkan bukan dalam perspektif negative. Dalam kacamata negative, value ini terlihat mematikan semangat mandiri dan kinerja personal. Bukan. Samasekali bukan itu maksudnya. Value yang saya terapkan ini adalah spirit dalam team-work. Bahwa dalam organisasi, kita bukan pribadi yang terpisah dari yang lain. Semua personal yang terlibat saling terkait, saling terandalkan dengan fungsi masing-masing, saling tergantung sama lain. Karena tidak ada Mac Gyver dalam team yang bisa bekerja sendiri tanpa bantuan personal atau divisi lain.

Makna dasar yang coba saya sampaikan adalah semangat berkerja sama dalam menyelesaikan masalah atau tantangan yang dihadapi. Dengan kerjasama team, pekerjaan berat menjadi ringan, yang rumit menjadi sederhana. Karena ‘TEAM’ adalah Together Everyone Achieves More.

I: Internalization.
Internalisasi atau penghayatan nilai-nilai tertentu adalah sangat krusial. Karena kami bekerja di dunia service, maka semangat utama yang harus dan selalu kami junjung tinggi adalah pemenuhan kepuasan pelanggan (Customers Satisfaction). Penghayatan akan nila-nilai kepuasan pelanggan adalah syarat mutlak untuk menjadi karyawan yang berdedikasi di perusahaan. Dalam prakteknya, apapun yang dilakukan dalam organisasi atau perusahaan tersebut harus selalu refers to fulfill the customers’ needs; satisfaction.

Demikianlah empat value yang saya yakini baik dan bisa diterapkan dalam mengelola team/ bawahan agar team senantiasa efektif. Karena team yang efektif akan berdampak pada efisiensi dalam pengelolaan dan membuat organisasi menjadi solid dalam menghadapi tantangan apapun. Dan pada ujungnya mengantarkan organisasi pada goal yang ditetapkan.
*** 

Jika pembaca merasa artikel ini bermanfaat, sila saja digunakan atau disebarluaskan asal tetap menuliskan source-nya dan tidak mengklaim sebagai tulisan sendiri.