|
Doc: m.salingsilang.com |
Terkait dengan judul tulisan ini, kalau mendengar berita dari
Negara Jepang sepertinya sudah tidak asing lagi. Jika perdana menteri atau
pejabat lainnya di Negara itu sudah merasa tidak mampu memegang amanat yang diembannya,
maka dengan sikap ksatria pasti mereka mengundurkan diri dari posisinya. Pada
saat mengundurkan diri pun, mereka masih dengan bersikap ‘jantan’ berbicara di depan
publik (media) dan menyampaikan alasan pengunduran dirinya. Sehingga, publik
bisa paham dengan keputusan si pejabat, dan pada akhirnya akan membawa suasana
yang kondusif terhadap pejabat baru dan organisasi yang ditinggalkannya itu.
Tidak ada sak wasangka dibalik itu. Semuanya dibuat terang benderang.
Fenomena tersebut tentu saja sangat bertolak belakang dengan
sikap yang diambil oleh para pejabat di negeri kita, Indonesia. Meskipun sudah
dirundung berbagai masalah, krisis kepercayaan dari public (rakyat), atau sudah dianggap tidak capable lagi, pejabat kita tampaknya lebih memilih bersikukuh
mempertahankan jabatannya, daripada mempertimbangkan kebaikan organisasinya. Malah
kalau bisa, menjabat terus seumur hidup dengan cara apapun yang masih bisa
dilakukan, meskipun terkadang statusnya sudah tersangka (untuk beberapa kasus
dugaan korupsi).
Semangat mempertahankan jabatan ini sudah begitu
membudayanya di diri pejabat-pejabat kita. Hampir tidak pernah kita dengar sekalipun
ada pejabat yang mundur dari posisinya sebagai bentuk tanggung jawab moral atas
suatu masalah yang sedang terjadi dan melibatkan dirinya.
Sebut saja misalnya, Menteri perhubungan di masa
pemerintahan SBY-JK dulu. Entah berapa kali terjadi musibah transportasi
nasional yang merenggut nyawa yang tidak sedikit. Tapi tetap saja pak menteri
itu bersikukuh dengan jabatannya. Atau Menteri Pemuda dan Olahraga yang tidak
pernah berhasil membawa olahraga prestasi Indonesia ke posisi yang lebih
pantas. Atau menteri perumahan rakyat yang masih belum berhasil juga mewujudkan
cita-cita papan nasional. Atau menteri Pendidikan Nasional yang benar-benar
belum berhasil mewujudkan akses pendidikan gratis bagi warganya. Atau bahkan
Presiden dan para anggota kabinet lainnya yang belum bisa juga mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, tampaknya zaman memang sudah berubah. Sekira empat
bulan yang lalu, kita dikejutkan dengan berita pengunduran diri seorang
pejabat. Dia adalah wakil bupati kabupaten Garut, Dicky Chandra. Pejabat yang
juga seorang selebritis nasional itu menyebutkan alasannya bahwa, "Karena
saya tidak mampu membantu Bupati. Saya terlalu banyak kelemahan, dari sisi
pengalaman saya juga kurang. Kalau bicara tidak sejalan," kata Dicky
Chandra usai bertemu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di rumah dinas
Gubernur, Gedung Pakuan Bandung, Jawa Barat, Rabu 7 September 2011
(linked news).
Orang awam sekalipun, ketika melihat Dicky Chandra
menyampaikan kalimat tersebut di hadapan media, bisa menyimpukan bahwa ‘pasti’
ada sebab lain. Di raut muka Dicky Chandra memang terlihat seperti ada beban
yang berat. Bahkan pada beberapa saat, Dicky Chandra terlihat menangis dengan
keputusannya itu. Tapi, tentu bukan hal yang baik bagi kita (masyarakat) untuk
menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Biarlah ia menjadi tetap misteri. Disinilah
bedanya dengan apa yang sering terjadi di Jepang sana seperti disebutkan di
awal tulisan ini. Karena penyebab pengunduran Dicky Chandra ini masih sangat
tidak jelas, maka ada banyak tanya yang muncul di sana. Dan jelas ini akan
menjadi problem tersendiri bagi pejabat yang menggantikan atau organisasi yang
ditinggalkan.
Berselang tidak lebih dari 4 bulan dari berita tentang Dicky
Chandra tersebut, tepatnya pada hari ini, kita terkejut lagi. Beritanya datang dari
orang nomor dua di DKI Jakarta, Prijanto. Seperti di beritakan oleh banya media
massa, Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menyatakan undur diri dari jabatannya.
Akhir masa baktinya bersama Gubernur DKI Fauzi Bowo sedianya baru berakhir pada
Oktober 2012. Keterangan resmi mengenai pengunduran diri Prijanto dikeluarkan
oleh perwakilan bidang Humas Pemprov DKI Jakarta, Minggu (25/12/2011), kepada
para wartawan.
"Saya menyayangkan pengunduran diri Wakil Gubernur Prijanto," kata
Fauzi, dalam siaran pers yang diterima.
Meski demikian, Fauzi Bowo menyatakan tetap menghormati keputusan yang diambil
oleh Prijanto. Ia meyakini bahwa pengambilan keputusan untuk mengundurkan diri
dari jabatannya sudah benar-benar dipikirkan oleh
Prijanto.
Sama dengan berita tentang Dicky Chandra, maka berita
tentang pengunduran diri Prijanto inipun juga menyisakan banyak tanya di
pikiran masyarakat. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Apa sebab utamanya? Apa
iya karena ditekan oleh pihak tertentu? Apakah ini disengaja untuk meninggalkan
Fauzi Bowo? Apakah ini permainan politik tingkat atas? Entahlah.
Selain cerita diatas memang masih ada berita pengunduran diri dari pejabat lain yang juga menghebohkan. Misalnya pengunduran diri mantan anggota DPR dari fraksi PKS, Arifinto yang terkena kasus 'menonton' adegan asusila di saat rapat DPR berlangsung. Namun ini agak berbeda dari tema Dicky dan Prijanto. Demikian juga berita pengunduran sang fenomenal, Briptu Norman, dari korps BRIMOB.
---
Dengan beberapa kasus di atas (Dicky Chandra, Arifinto, dan Pijanto), memang sudah memperlihatkan adanya
perubahan budaya di kalangan pejabat di Negara kita. Dari sisi kemauannya untuk
mundur kita kasih credit point. Namun, dari sisi lain masih banyak hal yang
perlu dijelaskan lagi. Dan, masyarakat kita dituntut harus lebih cerdas lagi dalam
menyikapi setiap pemberitaan yang ada. Bagaimana menurut Anda?