"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2012/10/10

Nilai Berharga Seikat Bunga

Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum.

Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata,

"Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak,karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"

Penjaga kuburan itu menganggukkan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.

Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan
itu sambil berkata, 
" Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"O, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.

"Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar.

"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang.

Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih.
Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka
dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, Nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan.

"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. 
Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu.
Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal.

Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.

Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Renungan :
Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena
mengasihani diri sendiri akan membuat kita
terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang
mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu
dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong
diri sendiri.


*kiriman dari sales.lifeexcellent@gmail untuk milis trainersclub.

Gantungkan Cita-citamu Setinggi Langit

Semboyan di atas dicetuskan oleh Presiden Soekarno - presiden pertama Republik Indonesia – dan menjadi populer sampai sekarang ini. Semboyan tersebut nyatanya memang sejalan dengan kecenderungan orang-orang modern yang membangun cita-cita dengan mengacu pada figur orang-orang terkemuka di dunia. Demikian juga dalam dunia usaha, para pendamba kesuksesan mengambil tokoh-tokoh idolanya dari sosok-sosok seperti Bill Gates, Donald Trump, Ciputra, Bob Sadino dan lain-lain. 
Di seminar-seminar, tokoh-tokoh bisnis diundang dan dijadikan narasumber yang bercerita tentang kisah perjuangan dan kesuksesan masing-masing. Peserta sangat senang, terbius bahkan tersihir ketika mendengar kisah-kisah perjuangan dan kisah-kisah sukses para narasumber tersebut. Sebagai pendamba kesuksesan, mereka jadi terobsesi, dan dengan serta merta semangat mereka pun terbangkitkan menyala-nyala, ingin segera meniru dan mengikuti jejak sang idola.
Tapi, pada kenyataannya, banyak orang kesulitan untuk mengimplementasikan apa yang mereka dapatkan dari sang narasumber, yang nota bene berpredikat sebagai konglomerat, pengusaha besar atau bisnismen sukses. Kenapa? Karena sesungguhnya, para peserta seminar bukan termotivasi karena tertarik dengan beratnya penderitaan serta kerasnya perjuangan para narasumber, tapi mereka lebih tergiur dengan dengan kondisi tokoh-tokoh sukses yang saat sekarang sudah menjadi kaya, hidup nyaman serta dihormati orang banyak. 
Selain itu, kisah-kisah perjuangan dan kerja keras sang narasumber sekian puluh tahun silam, sudah menjadi masa lalu yang tidak lagi nyata. Sama seperti sebuah dongeng kepahlawanan yang meski pun seru mendebarkan, namun serasa tidak pernah terjadi. Para pemula tidak bisa melihat dan mencontoh kerja keras panutannya di masa lampau, karena sekarang orang-orang itu sudah tidak lagi bekerja keras secara fisik. Paling-paling hanya rapat, telpon sana telpon sini, tanda tangan dan kasih instruksi. Apa yang bisa dicontoh dari mereka? 
Nah, kalau mau realistis, lupakan nama-nama besar yang menjadi narasumber kesuksesan itu. Lupakan Bill Gates, Donald Trump, Ciputra, Bob Sadino atau siapa pun. Kita tidak perlu menjangkau bintang-bintang di langit. Karena untuk saat ini, hal itu akan sama halnya dengan "Si Pungguk Merindukan Bulan". Cukup lihat sebatang pohon kelapa, lihat seberapa tinggi buahnya, lalu cobalah mulai memanjat. Kalau masih takut, belajar dulu dari orang sekitar. Banyak kok yang pintar panjat kelapa.

Dengan analogi yang sama, kalau mau berwirausaha secara realistis yang dimulai dari sebuah perjuangan, kita tidak memerlukan narasumber yang hidupnya sudah serba glamor sekarang. Tak ada yang bisa dipelajari secara real.

Sebaliknya, coba saja datang ke sebuah pasar tradisional. Di sana banyak pelaku usaha yang benar-benar kasat mata, yang sungguh-sungguh kerja keras. Mulai dari kelas emperan, gerobakan, warungan, pemilik kios, grosiran sampai toko besar. Kenalanlah dengan mereka, ajak ngomong, tanya suka-dukanya, tanya berapa penghasilan mereka dan kalau perlu ikut bantu pekerjaan mereka.

Kalau Anda saat ini mungkin seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta, jangan terkejut kalau melihat bahwa penghasilan seorang pedagang kelontong di pasar dalam satu hari, ternyata hampir sama dengan penghasilan Anda di kantor selama sebulan.

Itu semua nyata. Penghasilannya nyata, pekerjaannya juga nyata, dan suka-dukanya pun nyata, bukan kisah masa lalu. Kalau kita memang serius ingin berwirausaha, tentu layak sekali kita belajar dari mereka. Karena mereka pelaku yang nyata. Yang masih berada dalam tataran berjuang meraih masa depan yang lebih cerah. Dan kita dapat menyaksikan dan merasakan sendiri serta mencontoh langsung apa-apa yang dialami dan apa yang harus dikerjakan.

Bung Karno memang benar dengan semboyannya: "Gantungkan cita-citamu setinggi langit". Namun untuk kita yang ingin meriintis perjuangan sebagai wirausahawan, semboyan itu dapat kita lengkapi menjadi: "Gantungkan cita-citamu setinggi langit, lalu mulailah memanjat pohon kelapa..!" (rh).

Rusman Hakim
Pengamat, Praktisi dan Konsultan Kewirausahaan
Email: rusman@media-wirausaha.com, rusmanjh@yahoo.com

2012/09/26

Telaga Hati vs Garam Kehidupan


Seorang pemuda yang tampak sedang gundah gulana duduk termenung di sudut pasar kampung itu. Seseorang yang memperhatikannya dari tadi mendekati dan bertanya, ‘Ada masalah apa kiranya dek, hingga terlihat sangat muram begitu?’.

Karena tidak merasa akan ada orang yang memperhatikan dan bertanya kepada dirinya, si pemuda tampak sedikit terkejut. Dia melihat sosok yang bertanya tadi,  ternyata seorang pria tua yang tampak dari gayanya adalah seorang musafir yang kebetulan berhenti di pasar tersebut.

‘Ah bapak, kaget saya pak’ kata si pemuda. ‘Iya pak, saya sedang menghadapi masalah yang cukup pelik pak, berat sekali rasanya’ lanjutnya. ‘Emang kenapa?’ Tanya pak tua tersebut. ‘Rumit dan berat pak masalah  saya’.  dan terimakasih banget kalo bapak bersedia mendengar curhat saya pak’, timpal si pemuda.  Belum sempat si pak tua mengiyakan atau menidakkan kesediaannya untuk mendengar cerita si pemuda tersebut, langsung saja si pemuda mengadukan masalahnya.

‘Oops, tunggu dulu dek’, kata si pak tua. ‘Mohon maaf sekali, bukannya bapak tidak mau mendengar, tapi bapak ingin segera melanjutkan perjalanan pulang ke rumah karena sebentar lagi senja menjelang. Sekedar titip pesan saja, jika masalah adek masih belum selesai hingga esok pagi, bapak bisa sarankan adek untuk  menemui seseorang di puncak bukit kedua ke arah Barat kampung ini. Siapa tahu ada seseorang yang bisa membantu adek di sana’, jelas si pak tua.

Keesokannya, ternyata si pemuda  masih risau dan galau juga akan masalah yang dihadapinya. Ingat pesan si pak tua kemarinnya, maka ia putuskan untuk berangkat ke puncak bukit yang diarahkan oleh si pak tua tersebut. Berangkatlah si pemuda naik bukit, dengan harapan masalahnya bisa diselesaikan.

Bayang-bayang pohon berada persis di bawahnya barulah sampai si pemuda tersebut di puncak bukit. Sayup-sayup adzan Dzuhur terdengar dari mushola kampung bawah. Ditemuinya ada sebuah pondok kecil nan asri bertengger tepat membelakangi pinggir telaga tenang di puncak bukit tersebut.

Dihampirinya pondok nan asri itu, tidak terlihat tanda-tanda ada penghuninya. Sempat terpikirkan oleh si pemuda mungkin saja tidak ada penghuninya, tapi pondoknya terlihat sangat bersih dan terawat. Sedang asyik mengamati pondok, si pemuda terkaget bukan kepalang karena ada yang menyentuh pundaknya dari arah belakang. Begitu menoleh ke belakang, ternyata sosok yang mengagetkannya itu tidak lain tidak bukan adalah pak tua yang ditemuinya di pasar kemarinnya. Ya, pak tua tersebut memang pemilik pondok asri di bukit nan hijau itu. Pak tua baru saja mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Dzuhur.  

‘Akhirnya kamu datang juga’, kata si pak tua. ‘Iya pak, saya minta bantuan agar saya tetap tenang menghadapi semua masalah pak’ kata si pemuda setengah merengek cengeng.

Karena pak tua bertindak sebagai tuan rumah, ia mempersilakan si pemuda masuk pondoknya. Mereka sholat berjamaah. Selesai sholat, pak tua menyiapkan 2 buah gelas kosong.

Pas banget, saya memang sangat haus’, si pemuda berbisik sendiri melihat pak tua menyiapkan gelas tersebut. Sesaat kemudian pak tua mengambil teko berisi air dan sebuah guci tanah liat tempat menyimpan semacam butiran putih. ‘Mungkin isinya gula pasir,’ pikir si pemuda. 

Pak tua menuangkan air ke satu gelas hingga penuh, dan langsung meminumnya. Dan mempersilakan si pemuda juga untuk menuangkan air minum untuk dirinya sendiri. Setelah si pemuda mendapatkan gelasnya penuh terisi air, dan segera siap melenyapkan rasa dahaganya di siang  yang cerah itu. Namun, belum juga tangannya setinggi dada dengan mendekatkan gelas ke mulutnya. si pak tua menyuruhnya berhenti. 

Tahan dulu dek, ini ada bubuk bagus untukmu’, lalu si pak tua merogoh isi guci tanah liat yang dibawanya tadi dan mengeluarkan tangannya dengan genggaman penuh bubuk putih.’ Kemudian dimasukkannya ke dalam gelas si pemuda, diaduknya sebentar dengan sendok batang kelapa yang memang dari tadi ada di tatakan dekat mereka duduk lesehan di pondok itu. ‘Silakan diminum dek,’ pintanya ke si pemuda.

Dan, byyuuuurrr, si pemuda refleks menyemburkan minumannya, karena merasakan rasa aneh, asin sangat dan campur pahit di minuman dengan bubuk putih itu. ‘Apa ini pak?’ sergap si pemuda ke pak tua. Dengan tenangnya pak tua menjawab, ‘Segelas air dengan segenggam garam!’.

Ya Tuhan, ini bapak tega sekali kasih saya minum air segelas dengan segenggam garam begitu’, keluh si pemuda’.  Tanya pak tua, ‘Gimana rasanya dek?’. ‘Ya pake tanya-tanya lagi, bukannya minta maaf’, pemuda memberondong pak tua dengan omelannya. ‘Jelas-jelas asin campur pait banget’, omelannya dalam hati’.

Tidak selesai di situ, pak tua tampaknya memberikan suatu pelajaran yang bernilai buat si pemuda. Disuruhnya pemuda ke belakang pondok untuk mengambil beberapa karung garam yang tersusun di kolong pondok, dan memintanya menuangkan garam-garam itu ke dalam telaga yang memang berada di belakang pondok. Setelah itu disuruhnya pemuda mengaduk-aduk telaga yang cukup luas itu dengan pengayuh perahu yang tertancap di pinggir telaga jernih tersebut.

Setelah merasa cukup teraduk, pak tua meminta si pemuda mengambil air telaga itu segelas penuh, dan menyilakan pemuda untuk meminumnya. ‘Wooww segeeer sekali pak, rasanya dingin menenangkan, sangat alami, tidak terasa asin sedikitpun’ kata si pemuda.

‘Nah demikianlah pelajaran kehidupan untuk mu di siang ini dek’, kata pak tua. ‘Garam itu adalah masalah kehidupan, dan wadah itu adalah luasnya hatimu, sementara airnya adalah keadaan keseharianmu. Ketika masalah kehidupanmu hanya segenggam, tapi kau simpan dalam hati yang hanya seluas gelas, maka rasanya sangat asin dan campur pahit. Tapi kalaupun ‘garam’ atau masalah kehidupanmu berkarung-karung, tapi kau bisa menyiapkan hatimu seluas telaga atau lebih untuk menampung masalah itu maka air kehidupanmu tetap saja terasa jernih dan enak.’

‘Kini kembalilah ke kampung mu, ke kehidupan nyata mu, biarlah berkarung-karung garam kehidupan itu datang, kau akan tetap bisa menikmati air kehidupanmu dengan enak karena keluasan wadah hatimu. jadi bukan banyak garamnya yang jadi masalah, tapi keluasan hati kitalah yang jauh lebih penting. Sementara itu saja dulu bekal dariku’, tutup pak tua di penjelasannya yang sangat filosofis itu.

Si pemuda pun turun bukit dan kembali ke kampungnya. Sejak itu si pemuda berubah menjadi pemuda yang periang, selalu semangat dan penuh percaya diri dalam mengarungi kehidupannya.
***

Semoga kisah penuh hikmah ini dapat menginspirasi kita untuk bisa memiliki keluasan telaga hati tak berbatas. Semoga Allah menguatkan. Aamiin.
Jakarta, Sept 26, 2012.
Picture is powered by google