"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2013/01/11

Belajar Ikhlas dari Akar Pohon


Tat kala melihat sebuah pohon yang tumbuh subur, sering kita berkata, ‘Wah hebat ni pohon. Batangnya besar, daunnya rindang, dahannya kuat, bunganya bagus, atau buahnya yang lebat, buahnya yang manis, dan lain sebagainya. Semua yang tampak pada pohon itu kita sanjung.

Kita langka sekali memberikan sanjungan atau pun sekedar berkomentar kepada akarnya. Sadarkah kita bahwa akar adalah salah satu struktur tanaman yang sangat vital kegunaannya. Akar sebagai tempat masuknya mineral (zat-zat hara) dari tanah menuju ke seluruh bagian tumbuhan. Akar merupakan kelanjutan sumbu tumbuhan. Bahkan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan. Dengannya pohon menjadi tersangga kuat. Dengannya suplai makanan ‘organisasi’ pohon itu terpenuhi. Dengannya kebutuhan pohon akan kelangsungan hidupnya terjaga.

Tapi, akar tetaplah akar. Sedemikian penting pun peranannya, dia tidak pernah demonstrative. Semua hal dikerjakannya dengan kesungguhan. Dia tidak memerlukan sanjungan. Disanjung ataupun tidak, dia tetap bekerja, beramal salih. Dicuekin pemiliknya pun, akar tetap bekerja dengan penuh pengabdian.

Sifat akar seperti inilah yang perlu kita pelajari dalam hal keikhlasan. Pertanyaannya kemudian, sanggupkah kita meniru ikhlasnya akar. Keikhlasan yang tanpa tapi. Tangan kanan memberi, tangan kiri pun tak tahu. Insya Allah, kita terus berusaha.

Salam,

2012/12/27

Dakwah Bocah Amsterdam Menuntun Hidayah Seorang Nenek

Ada kisah menarik tentang semangat dakwah, yang disampaikan oleh DR. Muhammad Ratib an-Nabulsy saat Khuthbah Jumat tertanggal 2 Juli 2010. Sebuah kisah inspiratif terjadi di Amsterdam yang sangat menarik untuk disimak.

Berikut ini Penulis paparkan dengan terjemah bebas dan sedikit diringkas.
“Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yg berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah,

“Saya sudah siap, Ayah!”

“Siap untuk apa, Nak?”

“Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!”
“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian
Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri.

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah.

Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya?

Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi,tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah/arrisalah)

Source: Click here

2012/12/25

Petani dan Kandang Kambing.

Pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan sebuah cerita ringan yang [semoga] bermakna untuk perbaikan diri atau pun organisasi kita. Bermanfaat untuk perubahan. To change being better!

Tersebutlah ada seorang petani  dan keluarganya yang tinggal di sebuah kampung. Tempat tinggal masyarakat di kampung tersebut adalah rumah yang berbentuk panggung. Umumnya kolong rumah di sana dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pertanian, tapi ada juga yang dimanfaatkan sebagai kandang hewan ternak.

Tokoh cerita kali ini adalah seorang petani yang menjadikan kolong rumahnya sebagai kandang kambing yang diternaknya. Tidak banyak memang, namun lumayan cukup untuk memenuhi keperluan lauknya sepanjang tahun, bahkan di bulan haji terkadang bisa menjual 2 atau 3 ekor kambing.

Demikianlah kehidupan si petani ini. Dia dan keluarganya sudah terbiasa dengan suasana kandang kambing itu. Suara embiknya sudah menjadi irama biasa bagi pendengarannya. Bahkan bau khas kandang kambing pun sudah tidak bermasalah bagi indera penciuman mereka. Sudah biasa saja. Tidak ada yang mengganggu. Berbeda dengan keadaan pertama kali mereka menjadikan kolongnya sebagai kandang kambing. Dulu isteri dan anak-anaknya sering mengeluhkan akan bisingnya suara embik kambing di tengah malam, atau bau amisnya yang menyengat sepanjang hari. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Sudah terbiasa.

Pada suatu kesempatan, keluarga petani ini berkunjung ke rumah saudara mereka di kampung sebelah. Ada hajat pernikahan ponakan mereka di sana. Kebiasaan di kampung itu, bisa sampai tiga hari tiga malam pestanya.  Karena keluarga si petani itu bukanlah tamu, melainkan saudara, maka mereka ikut menjadi panitia hajat pernikahan tersebut. Menbantu ini dan itunya. Mereka larut dalam suasana bahagia. Pesta meriah. Tamu-tamu yang datang berpakaian dengan eloknya. Wangi parfum semerbak di setiap pojok.

Setelah selesai pestanya mereka pun kembali ke kampungnya.Tapi ada sesuatu yang lain yang mereka rasakan setelah kembali dari pesta pernikahan itu. Hanya baru di halaman rumahnya saja, mereka menciumi bau khas kambing yang mengganggu. Dan mereka tidak bisa tahan karenanya. Anak isteri petani itu mulai menggerutu. Kemudian, begitu masuk ke rumahnya, suara embik kambing pun bersahutan. Gerutuan anak isterinya pun bertambah. Tanpa menunggu waktu lama, anak dan isteri petani itu pun mengultimatum ayah mereka agar hari itu juga kandang kambing harus di pindah ke kebun belakang. Mereka tidak tahan dengan bau dan embiknya.

Ya begitulah akhirnya. Kangdang kambing pun digusur dari kolong rumahnya. Tiga hari yang mereka lalui di tempat pesta pernikahan itu telah merubah sensitifitas indera penciuman dan pendengaran mereka menjadi lebih 'normal'.

---

Moral lesson:

Mungkin di tempat yang kita betah sekarang ini (bisa rumah, bisa kantor, lingkungan, dll), ada ‘bising suara dan bau kambing’ yang sebenarnya tidak enak. Tapi karena kebiasaan, maka itu sudah dianggap wajar saja.

Kiranya ada baiknya kita berkunjung ke tempat lain yang ‘bagus dan wangi’ sejenak untuk kemudian kembali ke rumah kita dan bisa menata kembali segala sesuatunya agar lebih indah dan wangi.

Mungkin demikian ilustrasi dari benchmark dalam pengertian sederhana yang dicontohkan oleh seorang petani di atas. Semoga kita dapat memetik hikmahnya.

Terimakasih,