"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2013/10/24

Arti mAh pada ukuran Power Bank

Seiring kebutuhan kita akan portable charger yang kian meningkat, powerbank dihadirkan dalam beberapa kapasitas, dari ribuan mAh hingga puluhan ribu mAh. Sebenarnya apa itu mAh. Berikut arti mAh pada powerbank charger.

Secara singkat, mAh sendiri merupakan kepanjangan dari Milli Ampere per Hour, atau dalam Bahasa Indonesia berarti mili amper per jam. mAh adalah besarnya aliran arus listrik per 60 menit, atau setara dengan per jam. Mili Ampere setara dengan seper seribu (0, 001) Ampere, yakni satuan arus dalam istilah kelistrikan.  


Dalam dunia powerbank, mAh menunjukkan kapasitas tenaga yang dapat disimpan dan diberikan untuk mensupplai tenaga sebuah gadget. Jika baterai atau powerbank tersebut dapat diisi ulang, mAh ini akan menunjukkan seberapa lama alat tersebut mampu bertahan dalam penggunaan yang terus-menerus.


Itu artinya, semakin besar mAh berarti semakin besar pula kapasitas baterai atau powerbank, dan semakin besar mAh tentu semakin lama pula daya tahan baterai atau powerbank tersebut. Jika sobat masih bingung, bayangkan saja bahwa mAh itu adalah liter, dan baterai atau powerbank adalah embernya. Jadi semakin besar ember, semakin banyak pula daya tampungnya jika dihitung secara literan.

Dalam perhitungan ringan, misalnya sobat memiliki gadget dengan kebutuhan arus 50 mA, maka dengan baterai 1500 mAh, gadget sobat akan mampu bekerja selama 30 jam, dengan asumsi tidak ada daya yang terbuang. Akan tetapi hal ini jarang terjadi, dan dengan baterai sebesar itu, daya tahan gadget umumnya kurang dari 30 jam.

Itulah sekilas informasi sederhana seputar arti mAh pada powerbank charger. Satu hal yang harus sobat pahami bahwa bahasa pemasaran memang sangat menggiurkan namun realitanya tidak selalu sama. Jadi, tidak selalu powerbank yang memiliki mAh besar benar-benar tahan lama, karena memang kualitas baterai isi ulangnya berbeda-beda. Semoga bermanfaat. Salam.

Dikutip dari: Klik Disini

2013/10/22

Relokasi Contact Center Atau Multi-sites

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Contact Center yang beroperasi di Jakarta adalah tingginya turn over karyawan. Kenapa? Banyak sebabnya. Secara umum, alasan karyawan contact center (agent) resign dari tempat bekerjanya adalah karena mendapatkan pekerjaan baru. Pekerjaan yang dianggap lebih 'baik' baginya. Bisa lebih baik karena remuneration package, atau bisa juga karena tawaran posisi yang lebih tinggi, atau ingin mendapatkan suasana kekeluargaan yang hangat, persahabatan yang akrab, dan lain-lain. Dan banyak lagi alasan lain yang dikemukan oleh karyawan yang akan resign tersebut.

Ya, hal di atas lumrah terjadi di DKI Jakarta. Ini karena DKI Jakarta menyimpan sejuta peluang, kota dengan sejuta lowongan pekerjaan. Banyak pilihan bagi pencari kerja. Tentu sedikit berbeda dengan kota-kota besar lainnya, apalagi kota diluar pulau Jawa yang lowongan pekerjaannya relatif lebih terbatas. Di luar DKI, pencari kerja akan berpikir beberapa kali untuk segera resign karena belum tentu segera mendapatkan pekerjaan lagi. 

Atas pertimbangan itulah, kini beberapa perusahaan yang memiliki organisasi Contact Center mulai melakukan relokasi Contact Centernya keluar DKI. Atau ada juga perusahaan yang menambah site baru untuk operasi Contact Centernya di luar DKI, dengan melakukan penyusutan jumlah karyawan di site DKI. 

Memiliki Contact Center dengan Multisites di luar DKI memang banyak positifnya. Selain dapat menekan angka turn over secara keseluruhan, dapat pula diterapkan sebagai DRC (Disaster-Recovery Center) dengan customized beberapa fungsi yang ada atau dengan menerapkan system Overflow pada saat satu site ‘kepenuhan’ calls.  

Sebelum menerapkan kebijakan multisites atau relokasi, diperlukan kajian yang mendalam mengenai pros and cons-nya. Pertimbangannya harus komprehensif. Mulai dari sisi financial sampai dengan detail operasional. Mulai dari perhitungan anggaran rekrutmen dan penggajian karyawan hingga biaya pembelian atau penyewaan infrastruktur. Semua pertimbangannya harus benar-benar matang karena akan berdampak kepada cash-flow perusahaan secara signifikan. 

Jika dilihat dari masing-masing keunggulannya, antara relokasi, tetap di DKI atau multisites, memiliki kekuatan yang berimbang. Bagaimanapun, Contact Center yang berada di DKI masih memiliki prestise-nya sendiri karena berada di pusat bisnis Negara selain dapat menekan biaya penyewaan infrastruktur ‘canggih’ dari vendor, sementara Contact Center dengan multisites akan dapat lebih menjamin ketersambungan dengan pelanggan secara terus menerus bahkan pada saat satu atau beberapa sites dalam keadaan emergency. 

Akhirnya, pilihan kembali kepada kebijakan Top Management untuk mengambil langkah yang tepat, yang sesuai dengan visi misi perusahaannya di jangka pendek, menengah dan panjang.

Baca juga artikel terkait lainnya:
Relokasi Contact Center atau Multi-sites
Proses dan Sikap Layanan seorang Agent Contact Center
Pengertian FCR dan Repeated Calls di Contact Center
Perbedaan Call Center dan Contact Cente
Tentang AHT (Average Handling Time) 

2013/10/21

Tokoh Muda Politik

Di awal-awal masa reformasi 1998 yang lalu, kita melihat beberapa tokoh muda nasional yang 'menjanjikan' untuk ikut kelak membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebut saja diantara tokoh muda itu adalah Anas Urbaningrum, Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Andi Alfian Mallarangeng, Eep Saefullah Fatah, Indra Jaya Piliang, Anies Baswedan, dan lain-lain.

Mereka umumnya berasal dari organisasi-organisasi kemahasiswaan / kepemudaan. Saat itu, beberapa diantaranya, ada yang masih 'menahan' diri untuk tetap tinggal di kampus menjadi akademisi, namun ada juga yang mulai-mulai bersinggungan dengan politik praktis.

Seiring berjalannya waktu, muncul pula beberapa tokoh muda lainnya. Ada Aria Bima, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi, dan lain-lain. Untuk nama-nama terakhir ini bukan berarti saya menyebut mereka lebih junior dari tokoh-tokoh muda yang disebutkan pada awal masa reformasi tadi. Namun gema secara nasionalnya memang terdengar agak belakangan. (At least in my observation:))

Memperhatikan sepak terjang mereka di organisasi / komunitasnya memang sangat memesona. Ada semangat perubahan yang terlihat nyata di setiap mereka tampil. Spirit seorang pemuda! Gesit, spontan, dan agresif. Mereka pandai berorasi, argumentatif dalam diskusi, juga cakap dalam menulis.

Waktu pun berlalu.
15 tahun  masa reformasi telah bergulir. Coba kita perhatikan lagi tokoh-tokoh muda itu kini.

Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng belum sempat memberikan kontribusi perubahan lebih lama dan lebih banyak di DPR / Pejabat Menteri, malah menjadi tersangka oleh KPK. Kita tetap menerapkan azas praduga tak bersalah hingga status hukumnya final.

Budiman Sudjatmiko di DPR RI mewakili PDI-P masih terus berjuang membawa perubahan ke alam yang lebih demokratis. Alih-alih memperjuangkan nafas demokrasi ke seluruh elemen bangsa, bung Budiman masih perlu berjuang terlebih dahulu melawan arus 'demokrasi terpimpin' ala Megawati Soekarno Putri di internal partainya.

Fadli Zon, kini makin menguatkan posisinya di partai politik. Ia menjadi salah satu tokoh penting di DPP Partai Gerindra, sekaligus menjadi orang kepercayaan Prabowo Subianto. Mantan mahasiswa teladan UI ini memang tidak duduk di kursi DPR RI (saat ini). Namun, kehidupannya di dunia politik praktis bukanlah satu atau dua tahun belakangan saja. Tokoh muda berdarah Minangkabau ini sebelum bergabung dengan Partai Gerindra, pada tahun 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur). Selain Fadli Zon, tercatat pula mantan aktivis 1998, Pius Lustrilanang, yang merapat ke barisan Prabowo Subianto tersebut.

Indra Jaya Piliang, yang bertahun-tahun menjadi analis politik yang cukup produktif di Indonesia bersama CSIS (Center for Strategic and International Studies) akhirnya berlabuh di Golkar (menjadi ketua Balitbang). Sempat menjadi Calon Walikota dari jalur independen di kota kelahirannya, Pariaman beberapa bulan yang lalu. Namun, keberuntungan belum berpihak padanya.

Aria Bima bergabung dengan Hatta Rajasa di PAN. Ikut pula meramaikan bursa pemilihan Cawalkot Bogor tahun ini (2013). Dan Menang!

Anies Baswedan tak kuat pula menolak ajakan Partai Demokrat untuk ikut konvensi Calon Presiden. Tampaknya akan 'serius' berpolitik praktis juga?

Ya, dunia politik memang menggoda. Menggiurkan. Terutama bagi aktivis yang sudah terbiasa akan terms 'kekuasaan' di organisasi tempatnya tumbuh dan berkembang. Tak ada yang salah dengan godaan itu. Jika pilihan para tokoh muda itu adalah berpolitik praktis, ya berpolitiklah dengan elegant, jujur, dan berdedikasi hanya untuk bangsa. Hanya untuk kesejahteraan warga. Bukan untuk kepentingan pribadi, aliran dan kelompoknya saja.

Kalau pilihannya pun tetap bertahan di kampus seperti Eep S Fatah, Effendi Gazali, Burhanuddin Muhtadi dan lain-lain, berkontribusilah sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Membangun Indonesia dengan pendidikan. Mewujudkan Indonesia cerdas.

Berpolitik praktis atau tidak itu adalah pilihan mereka masing-masing. Tidak ada concern kita untuk itu. Yang akan menjadi concern adalah apakah mereka berkontribusi positif (membawa manfaat) atau tidak dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita UUD 1945?

Kita harap jawabannya: 'YA!'