"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2014/01/14

WAWASAN SASTRA: Kepengarangan dan Konstruksi Sosial

Tahun 2000, yakni 38 tahun setelah polemik yang bersumber kepada satu dalil itu, bahwa kualitas ”kesucian” seorang pengarang terletak kepada orisinalitasnya, muncul buku Hidup Matinya Sang Pengarang yang disunting oleh Toeti Heraty. Isinya, berbagai pemikiran mengenai kepengarangan, yang pada mulanya memang menunjukkan posisi pengarang sebagai sosok genius dan agung, yang difungsikan sebagai sumber pencerahan bagi masyarakatnya, tetapi yang segera disusul dengan munculnya tesis kemandirian teks, menggusur sama sekali maksud dan tujuan pengarang. Maka dalam hal ini pembaca seolah bertiwikrama menjadi Mahapembaca, yang sambil ”membunuh” pengarang mendapat hak sepenuhnya melakukan pembermaknaannya sendiri. Kenapa bisa begitu?

Esai Roland Barthes yang juga diterjemahkan dalam buku ini, Kematian Sang Pengarang, menyampaikan bahwa sebetulnya pengarang dalam konteks yang kita bicarakan, bukan pendongeng tradisional, adalah tokoh modern yang dihasilkan masyarakat Barat pada saat keluar dari Abad Pertengahan, dipengaruhi empirisme Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan pribadi Reformasi tempat diketemukannya kehormatan individual atau manusia pribadi. Dalam sastra, pribadi pengarang menjadi sangat penting, sebelum digugurkan pendapat bahwa pengarang modern lahir pada waktu yang sama dengan teksnya; ia bukan subjek dari mana buku itu berasal dan setiap teks ditulis secara abadi kini dan di sini, yang dalam istilah linguistik disebut performatif, yakni hanya terdapat pada orang pertama dan dalam waktu kini, ketika tindak bicara tidak mempunyai isi lain dari tindak pengucapannya.

Menurut Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda, beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan, yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu) tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang. Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.

Namun, kita harus hati-hati dalam menafsir kata ”pengarang” ini karena menurut Michel Foucault dalam Siapa Itu Sang Pengarang? yang juga diterjemahkan di sini, di antara ulasannya yang panjang lebar, bahwa ”… akan sama kelirunya jika kita menyamakan pengarang dengan pengarang sebenarnya, kalau kita menyamakannya dengan pembicara fiktif; fungsi-pengarang dilaksanakan dan beroperasi dalam analisis itu sendiri, dalam pembagian dan jarak.” Nah, apakah ini berarti wacana yang menciptakan pengarang, dan pengarang tidak menciptakan apa-apa, karena fungsi bagian dari wacana?

Sampai di sini, untuk sementara disimpulkan bahwa (1) plagiarisme sebagai bentuk kebersalahan timbul dari mitos kesucian pengarang yang ditentukan oleh orisinalitasnya; (2) meski secara filosofis dominasi pengarang atas teks sudah terhapus, tidak berarti bahwa plagiarisme menjadi halal karena mengakui ketidakmungkinan untuk jadi asli tidaklah sama dengan pemberian izin untuk mengutip tanpa menyebutkan sumbernya; (3) plagiarisme sebagai masalah etis, meski moralitasnya merupakan tanggung jawab pelaku terhadap dirinya sendiri, layak diterjemahkan secara legal dan sosial, sejauh terdapat pihak yang karenanya mendapat kerugian dan ketidakadilan dalam segala bentuk; (4) setiap bentuk kebersalahan dalam konteks ini tentunya diandaikan dapat ditebus kembali.

Seno Gumira Ajidarma. Wartawan
Diambil dari link ini.

MERANTAULAH...

Syair indah dari imam Syafi'i ini terasa so inspiring ketika dibacakan Rhenald Kasali malam ini (14 Januari 2014) di Rumah Perubahan TVRI dengan bintang tamu, tokoh perubahan 'Hasnul Suhaimi'. Putera Minang yang kini menjadi CEO XL Axiata.

MERANTAULAH...

Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak kerana diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang

Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika sahaja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan.

(Diwan Imam Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i)

2013/12/31

Tanggal Berapa Anda Lahir dalam Kalender Islam?

Catatan ini merupakan salah satu ajakan yang saya terima dari seorang ustadz untuk senantiasa mencintai kehidupan dengan nuansa dien-Islam. 'InsyaAllah. Sedikit-sedikit dan perlahan saja', ajaknya. Mudah-mudahan Allah SWT menguatkan kita untuk senantiasa istiqomah dalam mempelajari dan menerapkan ilmu-ilmu Islam. Selain itu, catatan kali ini juga terinspirasi oleh gegap gempitanya ucapan selamat tahun baru 2014 yang akan dirayakan oleh manusia penghuni planet Bumi malam nanti. Termasuk juga oleh sebagian besar umat Islam.

Betapa tidak terinspirasi, pada saat menghadiri renungan awal tahun 1435 H sekira dua bulan yang lalu di masjid dekat kantor, saya dan juga para hadirin lainnya begitu tersentak atas pertanyaan sederhana ustadz ketika itu.

Pertanyaannya seperti ini:
-Tanggal berapa Anda lahir?
-Tanggal berapa hari pernikahan Anda?
-Tanggal berapa anak pertama anda lahir? Anak kedua, dst?
-Tanggal berapa Anda wisuda? dst.

Sebagian besar hadirin dapat menjawabnya dengan seketika. Spontan. Tidak perlu mengingat lama. 18 Februari, 27 November, 13 Desember, dan lain-lain.

Selanjutnya sang ustadz mengajukan pertanyaan yang sama, tapi hadirin harus menjawabnya dalam perhitungan kalender Islam. Ya, kalender Hijriyah. Sontak semua terdiam. Hening. Tak ada yang ingat. Atau bisa jadi tak ada yang ingin mengingatnya. Duh!

'Nah, inilah masalah kita', ujar pak ustadz. Mengingat kejadian penting dalam hidup kita atau pun kejadian penting dalam level nasional dan internasional pada kalender / penanggalan Masehi itu tidak salah. Boleh, toh sudah menjadi 'konsensus' internasional. Tapi jangan lupa, bahwa Islam juga memiliki penanggalannya sendiri. Sungguh ironis, jika kita mengaku Islam tapi lupa kalau kita punya penanggalan Islam. Serta lebih ironis lagi jika pura-pura melupakannya.

Sekarang kita coba yuk, apakah sahabat masih ingat nama-nama bulan dalam kalender Hijriyah? Lupa? Tidak masalah. Tapi janji ya, mulai sekarang kita akan terus mengingat dan menghapalkannya.

Yuk, kita ingat kembali. Total dalam satu tahun Hijriyah, ada 12 bulan. Sama saja dengan jumlah bulan pada penanggalan Masehi atau Miladiyah. Setiap bulannya (Hijriyah) terdiri dari dari 29 atau 30 hari. Hanya ada dua kemungkinan. 29 atau 30, pasti itu saja. Tidak akan kita temukan adanya jumlah hari 28 ataupun 31 dalam 1 bulan Hijriyah. Inilah salah satu perbedaan Hijriyah dengan Masehi. Perbedaan berikutnya adalah sistem perhitungannya. Tahun Masehi didasarkan pada proses berputarnya bumi terhadap matahari (solar). Sedangkan penanggalan Hijriyah berdasarkan perputaran bulan (lunar).

Berikut ini adalah nama- nama bulan dalam kalender Hijriyah:
1. Muharram
2. Shafar
3. Rabi'ul Awal
4. Rabi'ul Akhir (Rabi'ussani)
5. Jumadil Awal
6. Jumadil Akhir (Jumadissani)
7. Rajab
8. Sya'ban
9. Ramadhan
10.Syawal
11. Dzulqa'idah
12. Dzulhijjah

Mudah-mudahan dengan tulisan singkat ini membuat kita cinta pada penggunaan kalender Islam. Tipsnya, catatlah kejadian-kejadian yang menurut kita penting dalam dua versi. Misalnya tanggal lahir anak pertama adalah 27 November 2007, itu bertepatan dengan 17 Dzulqa'idah 1428 H.Dan lain-lain.

Di sini saya sertakan juga aplikasi konversi tanggal masehi ke tanggal Hijriyah. Sehingga sahabat semua dapat mengetahui tanggal-tanggal dalam Hijriyah pada tahun berapapun (lebih kurang dalam 100 tahun). Dengan menggunakan aplikasi ini tidak perlu repot lagi harus menyimpan kalender cetak bertumpuk-tumpuk. Aplikasinya sendiri sudah saya simpan pada halaman depan blog ini dengan judul menu 'ISLAMIC CALENDAR CONVERTER'.

Petunjuk Pencarian:
Sahabat tinggal klik pada tanggal, bulan, dan tahun yang diinginkan (Masehi-nya), dan tanggal Hijriyah-nya pun akan muncul otomatis setelah menekan tombol 'CONVERT', seperti terlihat pada gambar di samping.

Jika sahabat juga berminat mencoba silakan langsung meluncur ke tautan berikut.


Terimakasih telah berkenan menyimak.
Semoga bermanfaat!