"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2014/01/17

Sungai, Sampah, dan Kita.



Saya bersama keluarga sempat tinggal selama 3 tahun di lokasi yg dekat dengan pinggir sungai kecil di Bandung (2008-2011). Lokasinya tidak jauh dari Pasar Induk di kota itu. Mohon maaf jika saya harus ceritakan ini. Satu hal kebiasaan yg tidak baik dari warganya yang kami saksikan ketika itu adalah membuang sampah ke sungai. Tiap hari mereka melakukan itu. Sampahnya semakin menumpuk. Mungkin warga setempat akan merasa 'aman' pada saat musim kemarau. Tapi akan menjadi masalah besar ketika musim penghujan. 

Apakah warga tidak paham kalau kebiasaan membuang sampah itu akan berakibat buruk? Sungai akan tersedimentasi (terjadi pendangkalan). Air sungai tercemar berat. Aliran air jadi mandeg, dan berakibat banjir. Yang ujung-ujungnya juga merugikan masyarakat itu sendiri. Ah, entahlah! 'Gak mungkin juga mereka tidak paham,' pikir saya.Tapi, kalau paham, kenapa mereka masih terbiasa saja dengan kebiasaan buruk membuang sampai ke sungai itu? Nah, inilah masalahnya. 'Kebiasaan ini harus dirubah,' tekad saya.

Terus terang sangat gemas melihatnya. Tapi segemas-gemasnya kami tetap harus menghargai dan menghormati sesama warga. Lagi pula kami ini pendatang disitu. Karena pendatang, maka menegur langsung tentu bukan pilihan yang bijak. Melarang langsung warganya buang sampah ke sungai, bisa saja akan menjadi masalah buat saya dan keluarga. Bisa-bisa kami dimusuhin dan diusir. Hehe.. .  

Yang perlu kami lakukan adalah 'berbuat' sesuatu yang menurut kami baik. Mudah-mudahan. Ya, kami sedang belajar mendidik keluarga sendiri. Memberi contoh buat anak pertama kami juga. Sukur-sukur pula dapat 'menginspirasi' warga setempat. 

Setiap pagi, sambil berangkat kerja ke arah Jl. Buahbatu, saya selalu membawa sampah yang sudah dikemas rapi di kantong plastik. Itu adalah sampah domestik kami. Saya bawa dengan diikatkan di bagian samping motor. Rata-rata ada 2 kantong plastik berukuran sedang yang saya buang setiap paginya. Saya menitipkan sampah tersebut di TPS Tegallega yg lokasinya memang searah dengan kantor tempat saya bekerja.  

Terpaksa jauh membuang sampah tersebut, karena di lingkungan sekitar tempat kami tinggal belum ada fasilitas penyimpanan sampah sementara yang memadai. Ada juga beberapa tong sampah yang dikordinir RT/RW setempat, tapi sampahnya sering melimpah kurang terurus. Itulah alasan saya kenapa sampah-sampah domestik rumah tangga kami itu dibuang jauh. Meskipun ada pengeluaran tambahan sedikit. Saya dan keluarga secara batin merasa lebih plong. Seribu atau dua ribu rupiah saya sodorkan ke petugas kebersihan di sudut lapangan itu setiap kali menitipkan sampah tersebut.

Dengan melakukan hal itu setiap pagi, ada juga tetangga yang mulai penasaran. Awalnya mereka tidak menyangka yang saya bawa itu adalah sampah. Malah ada yang menyangka itu adalah barang dagangan. 

Meski melihat kebiasaan kami yang 'berbeda' ini, waktu itu belum ada tetangga yg melakukan hal yg sama. Tidak satu pun yang meniru. Mereka tetap saja membuang sampai ke sungai. Hingga kami pindah dari sana pun, kebiasaan warga membuang sampai ke sungai itu belum berhenti juga. Mereka terus melakukannya. Duh! Kami sendiri berusaha konsisten saja.

Meskipun 'upaya' sederhana yang kami lakukan itu tidak seberapa dampak langsungnya terhadap kebersihan lingkungan. Namun setidaknya bisa menjadi sumbangan kecil bagi alam yg lebih baik. Semoga. Lebih dari itu, kami sebenarnya sedang belajar melakukan perubahan, mulai dari diri sendiri. Mulai dari keluarga sendiri.

***
Setelah tidak lagi menetap di daerah sana, kami sempat bersilaturrahmi lagi ke sana tahun lalu. Satu hal yang membuat kami bahagia adalah, si pemilik rumah yang kami kontrak dulu sudah merubah kebiasaanya. Kami lihat si bapak pemilik rumah itu sedang menyiapkan kemasan sampahnya untuk disangkutkan ke motornya. Dia akan buang keluar. Wah, ini yang saya dan keluarga lakukan selama 3 tahun dulu. Artinya, mereka sudah tidak buang sampah lagi ke sungai. Saya memang tidak sempat memperhatikan warga yang lain. Tapi kami positive thinking saja, semoga yang melakukan ini bukan si bapak saja. Mudah-mudahan warga lainnya juga ikut 'berubah' ke kebiasaan yang lebih mencintai lingkungan itu. Aamiin


Photo ilustrasi: powered by google

2014/01/14

WAWASAN SASTRA: Kepengarangan dan Konstruksi Sosial

Tahun 2000, yakni 38 tahun setelah polemik yang bersumber kepada satu dalil itu, bahwa kualitas ”kesucian” seorang pengarang terletak kepada orisinalitasnya, muncul buku Hidup Matinya Sang Pengarang yang disunting oleh Toeti Heraty. Isinya, berbagai pemikiran mengenai kepengarangan, yang pada mulanya memang menunjukkan posisi pengarang sebagai sosok genius dan agung, yang difungsikan sebagai sumber pencerahan bagi masyarakatnya, tetapi yang segera disusul dengan munculnya tesis kemandirian teks, menggusur sama sekali maksud dan tujuan pengarang. Maka dalam hal ini pembaca seolah bertiwikrama menjadi Mahapembaca, yang sambil ”membunuh” pengarang mendapat hak sepenuhnya melakukan pembermaknaannya sendiri. Kenapa bisa begitu?

Esai Roland Barthes yang juga diterjemahkan dalam buku ini, Kematian Sang Pengarang, menyampaikan bahwa sebetulnya pengarang dalam konteks yang kita bicarakan, bukan pendongeng tradisional, adalah tokoh modern yang dihasilkan masyarakat Barat pada saat keluar dari Abad Pertengahan, dipengaruhi empirisme Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan pribadi Reformasi tempat diketemukannya kehormatan individual atau manusia pribadi. Dalam sastra, pribadi pengarang menjadi sangat penting, sebelum digugurkan pendapat bahwa pengarang modern lahir pada waktu yang sama dengan teksnya; ia bukan subjek dari mana buku itu berasal dan setiap teks ditulis secara abadi kini dan di sini, yang dalam istilah linguistik disebut performatif, yakni hanya terdapat pada orang pertama dan dalam waktu kini, ketika tindak bicara tidak mempunyai isi lain dari tindak pengucapannya.

Menurut Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda, beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan, yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu) tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang. Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.

Namun, kita harus hati-hati dalam menafsir kata ”pengarang” ini karena menurut Michel Foucault dalam Siapa Itu Sang Pengarang? yang juga diterjemahkan di sini, di antara ulasannya yang panjang lebar, bahwa ”… akan sama kelirunya jika kita menyamakan pengarang dengan pengarang sebenarnya, kalau kita menyamakannya dengan pembicara fiktif; fungsi-pengarang dilaksanakan dan beroperasi dalam analisis itu sendiri, dalam pembagian dan jarak.” Nah, apakah ini berarti wacana yang menciptakan pengarang, dan pengarang tidak menciptakan apa-apa, karena fungsi bagian dari wacana?

Sampai di sini, untuk sementara disimpulkan bahwa (1) plagiarisme sebagai bentuk kebersalahan timbul dari mitos kesucian pengarang yang ditentukan oleh orisinalitasnya; (2) meski secara filosofis dominasi pengarang atas teks sudah terhapus, tidak berarti bahwa plagiarisme menjadi halal karena mengakui ketidakmungkinan untuk jadi asli tidaklah sama dengan pemberian izin untuk mengutip tanpa menyebutkan sumbernya; (3) plagiarisme sebagai masalah etis, meski moralitasnya merupakan tanggung jawab pelaku terhadap dirinya sendiri, layak diterjemahkan secara legal dan sosial, sejauh terdapat pihak yang karenanya mendapat kerugian dan ketidakadilan dalam segala bentuk; (4) setiap bentuk kebersalahan dalam konteks ini tentunya diandaikan dapat ditebus kembali.

Seno Gumira Ajidarma. Wartawan
Diambil dari link ini.

MERANTAULAH...

Syair indah dari imam Syafi'i ini terasa so inspiring ketika dibacakan Rhenald Kasali malam ini (14 Januari 2014) di Rumah Perubahan TVRI dengan bintang tamu, tokoh perubahan 'Hasnul Suhaimi'. Putera Minang yang kini menjadi CEO XL Axiata.

MERANTAULAH...

Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak kerana diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang

Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika sahaja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan.

(Diwan Imam Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i)