EMPATI dan simpati saya untuk Joko Widodo. Dia tidak suka meninggi,
tapi diminta untuk berani memperlihatkan prestasi. Dia orang yang apa
adanya, tapi diminta untuk tampil serba bisa. Dia tidak suka menyerang,
tapi diminta untuk ‘menembak’ lawan.
Dia didorong-dorong
untuk tampil bukan sebagai Joko Widodo, tapi sebagai sesosok yang
diiinginkan oleh tim pemolesnya. Walhasil, pemirsa melihat tampilan yang
dipaksakan. Apakah orang-orang tidak melihat Jokowi tertekan?
Bukan tertekan oleh Prabowo, tapi oleh pihak-pihak yang menyeret-nyeretnya jadi capres.
Jokowi
‘diharuskan’ untuk tidak ragu untuk menunjukkan prestasinya. Maka
berkali-kali ia berungkap ‘ini sudah saya buktikan ketika saya menjadi
walikota, ketika menjadi gubernur’.
Ungkapan-ungkapannya,
‘Itu gampang. Tidak ada masalah’, sebetulnya usaha meyakinkan diri.
Semacam kata-kata sugesti, begitu. Tapi tentu saja jadi terdengar naïf
dan dipaksakan.
Ia pun harus berulang-ulang menyebut dan
menunjukkan kartu sehat dan kartu pintar yang dia bawa di saku jasnya.
Tapi, untuk keperluan presentasi, kartu itu terlalu kecil untuk bisa
dilihat secara jelas. Dan karena itu sebetulnya tak perlu dia tunjukkan
berkali-kali.
Jokowi menyampaikan programnya tentang kartu
sehat, kartu pintar, tol laut, mengembangkan PKL dan pasar tradisional.
Saking ingin meyakinkan publik, Jokowi lupa menjelaskan aspek yang
paling inti dari itu semua: Darimana duitnya? Dari APBN.
Tapi
APBN-nya defisit. ‘Gampang. Tak ada masalah’. Tapi ternyata menjelaskan
gampangnya itu tak gampang. Dan tak gampang pula difahami pemirsa.
Mencapai pertumbuhan 7persen pada saat resesi dunia, yang tumbuh hanya
3persen, ‘gampang’, ‘Ga ada masalah’.
Perizinan usaha dan investasi di daerah dan pusat harus dipercepat, dengan layanan
online.
Tapi ketika ditanya bagaimana menghadapi ASEAN Economic Community yang
sudah disetujui Indonesia, Jokowi bilang perizinan harus diperketat.
Jangan ‘gampang’ mengeluarkan izin.
Tapi jangan salahkan Jokowi. Dia sudah berusaha tampil sebatas – bahkan melebihi – kemampuannya.
Tak
arif untuk membandingkannya dengan Prabowo, yang tampil penuh sebagai
dirinya sendiri, dengan kejelasan logika. Sama, Prabowo juga mengatakan
perlu membangun ini-itu, dengan tujuan mendorong perkonomian Indonesia
secara cepat. Dari mana duitnya? Dari kebocoran anggaran negara sebesar
7200 trilyun pertahun! Angkanya sangat absah karena bersumber dari KPK.
Dengan menutup kebocoran 1000 trilyun rupiah saja, Prabowo
memperlihatkan target-targetnya sangat realistis.
Empati
dan simpati saya untuk Jokowi. Para pendukungnya mengelu-elukannya,
menyemangatinya, tapi sebenarnya mereka sedang menekan dan memaksa
Jokowi tampil di luar kemampuannya.
Sikap pendukung
seperti inilah, yang juga sifat sebagian pendukung Prabowo, yang sering
jadi masalah dalam politik Indonesia, baik bila calonnya menang atau
kalah.
Kalau menang, mereka akan merasa jadi kelompok
penguasa yang menyingkirkan pihak lain yang tak sejalan. Kalau kalah,
mereka akan sulit menerima, dan akan mencari-cari alasan bahwa pihak
mereka telah dicurangi. Dan karena itu menggugat, menuntut pemilu ulang,
dan sebagainya.
Pendukung kedua belah pihak punya potensi untuk
tidak mau menerima kekalahan. Tapi sifat kepemimpinan Prabowo akan lebih
mampu mengendalikan para pendukungnya.
Jokowi pun mungkin
mampu. Tapi mengingat dia lebih di bawah kendali para petinggi partai
dan purnawan militer, sulit membayangkan Jokowi bisa mengendalikan para
jenderal dan keluarga raja yang marah dan kecewa.
Omong-omong,
bagaimana prediksi perbandingan suara antar kedua capres setelah debat
kedua tadi malam? Jokowi-JK naik sekian persen? Atau turun?
Prabowo-Hatta naik segerobak persen?
Sebetulnya acara belum layak disebut ‘debat’. Lebih pantas dibilang presentasi kedua calon dan sedikit tanya jawab.
Mungkin
pihak dan pendukung salah satu kubu merasa optimis setelah debat capres
kedua ini. Dan pihak lainnya merasa khawatir. Saran saya: Pihak yang
optimis jangan terlalu optimis dan pihak yang khawatir jangan terlalu
berkecil hati.
Konstituen atau massa pemilih di Indonesia
lain dengan pemilih di Amerika Serikat. Ini hanya menyebut satu contoh
negara. Masyarakat pemilih di Amrik itu massa pemilih rasional. Mereka
memilih calon presiden mereka berdasarkan pertimbangan rasional. Kalau
melihat programnya bagus, realistis dan masuk akal, mereka akan pilih.
Karena itu, pergerakan angka suara pemilih di sana sangat dinamis
seiring tampilan debat para calon. Putaran pertama Obama kalah oleh
Hillary. Tapi makin kesini potensi suara makin banyak ke Obama.
Sebabnya, program yang diusung Obama lebih rasional dan penjelasannya
lebih bisa diterima khalayak. Yang tadinya senang kepada kecerdasan
Hillary, setelah debat kesekian, bisa beralih ke Obama – karena
pertimbangan rasional.
Bahkan, Hillary sendiri akhirnya
berkampanye untuk Obama di putaran akhir, karena mengakui program Obama
lebih unggul. Di Indonesia, sikap ini pasti dianggap pengkhianatan.
Itu
Amrik. Indonesia lain. Masyarakat pemilih Indonesia itu mayoritas
emosional. Kalau sudah senang kepada satu calon, sekurang apa pun calon
itu akan mereka abaikan; mereka maafkan. Dan sesepele apapun kekurangan
lawan, akan mereka persoalkan. Pendeknya, kalau sudah tak senang ya tak
senang. Kalau sudah suka ya suka. Karena itulah slogan paling populer
adalah: “Pokoknya no 1, pokoknya no 2.”
Para pendukung
Prabowo mudah-mudahan bisa meneladani jiwa patriot idolanya, “Yang semua
kita lakukan ini untuk rakyat. Tak peduli siapa yang melakukannya,
kalau untuk kebaikan rakyat, kita dukung.” Itu Ucapan Prabowo.
Mudah-mudahan para pendukung kedua belah pihak bersikap dewasa – dalam semangat kebangsaan.
Siapapun
yang menang nanti, Prabowo atau Jokowi, ia menjadi Presiden Republik
Indonesia yang membutuhkan dukungan seluruh rakyat. Mari kita dukung.
Oleh Kafil Yamin
Sumber:
Klik Disini