"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2014/06/18

Satu City Car Sudah Hilang dari Jalan Raya

Alhamdulillah, sudah lebih dalam setengah tahun belakangan ini saya konsisten menggunakan kendaraan umum ketika berangkat dan pulang kerja. Awalnya bus TransJakarta yang jadi pilihan, namun sekarang saya beralih ke moda kereta (commuter line) Jabodetabek. Faktor kecepatan adalah alasannya.



Ko bisa beralih kendaraan umum? Apa tidak lebih capek? Awalnya iya. Lama-lama jadi terbiasa.

Apa tidak kesal berdesak-desakan? Awalnya iya. Lama-lama jadi terbiasa.

Apa tidak gengsi? Untuk pertanyaan ini, jawaban saya adalah tidak sama sekali. Jangankan saya yang masih manager pemula ini, beberapa kenalan saya yang sudah level VP hingga Direktur pun mulai banyak juga yang menggunakan jasa ‘commuter line’ ini. Zaman sudah berubah!



Tidak mudah memang untuk merubah kebiasaan dari ‘kenyamanan’ berkendera pribadi ke moda transportasi umum. Apalagi melihat kondisi transportasi umum di Jabodetabek yang masih jauh dari harapan. Tapi kebiasaan itu harus kita mulai. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?



Secara umum, orang bisa dan mau melakukan perubahan atau kebiasaan baru jika mengetahui dan sudah menghitung kelebihan dan kekurangan kebiasaan baru itu. Sederhananya, manfaat apa yang bisa didapat dengan kebiasaan baru itu. Jika keuntungan dan hal positifnya memang jauh lebih banyak, maka kemungkinan besar orang akan bersedia melakukannya. Bahkan mungkin akan merasa butuh untuk melakukannya.

Untuk membantu Anda semua pemilik kendaraan pribadi yang masih ragu untuk beralih ke kendaraan umum, berikut ini saya tuliskan beberapa keuntungan (berdasarkan pengalaman) yang dapat diperoleh dengan beralih ke moda transportasi umum ini:

Lebih hemat. Ketika membawa mobil pribadi dulu (jenis city car), setidaknya saya menghabiskan seratus ribuan rupiah setiap harinya untuk biaya bensin, bayar tol, dan parkir yang tiga ribu sejam itu. Sekarang tidak sampai lima belas ribu rupiah, saya sudah bisa PP rumah-kantor-rumah dengan kereta include biaya parkir motor di stasiun kereta.
Mobil menjadi lebih awet. Praktis, kendaraan pribadi saya hanya digunakan pada hari Sabtu, Ahad, atau waktu libur saja. Ini jelas menguntungkan.
Banyak kenalan. Berangkat dan pulang kerja dengan commuter line, ada saja kenalan baru yang saya dapatkan. Tidak jarang berujung pada pertemanan. Jika hoki, bisa berlanjut pada kerjasama (bisnis, komunitas, hingga hobby).
Lebih leluasa dalam berkomunikasi. Untuk Anda yang mengendarai kendaraan sendiri tentu paham maksud saya ini. Anda pasti akan kerepotan bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain jika menggunakan alat komunikasi texting ketika mengendarai. Ini berbeda jauh ketika Anda naik kendaraan umum. Anda bebas mengeksplore alat komunikasi dan atau gadget Anda lainnya.
Membantu pemerintah mengurangi kemacetan. Setiap hari ada begitu banyak mobil-mobil pribadi yang ‘parkir’ di garasi rumah masing-masing. Bayangkan jika mereka semua tidak mau naik kendaraan umum, pasti ada ribuan mobil ‘tambahan’ yang ikut memacetkan kota ini.
Membantu pemerintah mengurangi polusi udara dan polusi suara (kebisingan). Pemerintah terbantu, warga pun senang.
Hemat enerji dan ramah lingkungan. Ada ratusan liter BBM yang dapat Anda selamatkan setiap bulannya.
Dan lain-lain…

Tentu beberapa poin keuntungan yang saya sebutkan di atas akan menjadi lebih terasa ‘kebenarannya’ ketika semakin banyak pemilik kendaraan pribadi yang beralih ke kendaraan umum. The more, better…

Bagaimana? Tertarik? Yuk mulai dari besok pagi. Saya sudah memulainya. Apakah Anda juga?

*picture is powered by google

2014/06/17

Kuat Mental!


Untuk menjadi orang ‘besar’, apalagi sampai sekaliber presiden (atau calon presiden seperti Prabowo dan Jokowi) itu memanglah butuh ketahanan mental yang luar biasa. Tidak cukup mental yang biasa saja. Harus luar biasa. Betapa tidak? Coba perhatikan. Dalam masa kampanye ini, setiap hari omongan masyarakat terus tertuju kepada mereka. Mulai dari ‘omongan’ yang positif hingga negatif. Mulai dari pujian hingga tuduhan, cemoohan, sindiran, bahkan fitnah. Mereka tidak terpengaruh. Mereka tetap tegak berdiri.

Sebagai contoh, lihat misalnya Prabowo. Setiap hari kita temukan di banyak media (utamanya jejaring media sosial) tulisan yang begitu ‘menyudutkan dan tendensius’. Mulai dari issu pelanggaran HAM berat, cercaan sebagai jenderal psikopat, antek Orde Baru, anti Cina, melindungi koruptor, hingga kenyinyiran orang akan ‘kegagalannya’ dalam berkeluarga adalah diantara ‘tuduhan-tuduhan’ itu. Namun Prabowo bergeming. Mentalnya memang luar biasa.

Atau lihat juga Jokowi misalnya. Banyak yang menuduhnya sebagai anak yang tidak jelas siapa bapaknya, diragukan keislamannya, capres boneka, mencla-mencle, dikendalikan jenderal bermasalah, petugas partai, prestasi palsu, menipu dengan pencitraan, dll. Namun Jokowi bergeming. Beliau bisa mengabaikan itu semua. Semua ‘omongan’ orang itu tidak dipedulikan. Yang penting, tetap maju. Tetap bertahan ditengah badai ‘tuduhan’ itu. Mentalnya juga luar biasa.

Setidaknya itu yang kita lihat dari penampakan luar mereka. Tampak masih sehat dan bahagia dengan segala kondisinya.

Apa yang terjadi jika capres-capres ini tidak kuat mental? Bisa-bisa stress. Bisa-bisa depresi. Tapi itu tidak terjadi kepada mereka. Hebat!

Nah kalau Anda juga ingin menjadi orang besar seperti mereka dalam hal mental, mulailah latih diri Anda dari sekarang. Indikasi keberhasilan dari latihan mental ini sederhana saja. Coba cek diri Anda, kalau masih mudah tersinggung dan menjadi begitu reaksioner hanya karena perkataan orang lain, itu artinya Anda masih harus belajar banyak kepada mereka. Kalau Anda begitu reaksionernya ketika ada yang menyudutkan ‘jagoan’ Anda melalui ‘perang status’ di jejaring media sosial ini, artinya Anda tidak belajar banyak dari jagoan Anda itu. J
 
Selamat berlatih mental… 
 --
Temukan juga disini

2014/06/16

Catatan Debat Dedua; 15 Juni 2014

EMPATI dan simpati saya untuk Joko Widodo. Dia tidak suka meninggi, tapi diminta untuk berani memperlihatkan prestasi. Dia orang yang apa adanya, tapi diminta untuk tampil serba bisa. Dia tidak suka menyerang, tapi diminta untuk ‘menembak’ lawan.

Dia didorong-dorong untuk tampil bukan sebagai Joko Widodo, tapi sebagai sesosok yang diiinginkan oleh tim pemolesnya. Walhasil, pemirsa melihat tampilan yang dipaksakan. Apakah orang-orang tidak melihat Jokowi tertekan?

Bukan tertekan oleh Prabowo, tapi oleh pihak-pihak yang menyeret-nyeretnya jadi capres.

Jokowi ‘diharuskan’ untuk tidak ragu untuk menunjukkan prestasinya. Maka berkali-kali ia berungkap ‘ini sudah saya buktikan ketika saya menjadi walikota, ketika menjadi gubernur’.

Ungkapan-ungkapannya, ‘Itu gampang. Tidak ada masalah’, sebetulnya usaha meyakinkan diri. Semacam kata-kata sugesti, begitu. Tapi tentu saja jadi terdengar naïf dan dipaksakan.

Ia pun harus berulang-ulang menyebut dan menunjukkan kartu sehat dan kartu pintar yang dia bawa di saku jasnya. Tapi, untuk keperluan presentasi, kartu itu terlalu kecil untuk bisa dilihat secara jelas. Dan karena itu sebetulnya tak perlu dia tunjukkan berkali-kali.

Jokowi menyampaikan programnya tentang kartu sehat, kartu pintar, tol laut, mengembangkan PKL dan pasar tradisional. Saking ingin meyakinkan publik, Jokowi lupa menjelaskan aspek yang paling inti dari itu semua: Darimana duitnya? Dari APBN.

Tapi APBN-nya defisit. ‘Gampang. Tak ada masalah’. Tapi ternyata menjelaskan gampangnya itu tak gampang. Dan tak gampang pula difahami pemirsa. Mencapai pertumbuhan 7persen pada saat resesi dunia, yang tumbuh hanya 3persen, ‘gampang’, ‘Ga ada masalah’.

Perizinan usaha dan investasi di daerah dan pusat harus dipercepat, dengan layanan online. Tapi ketika ditanya bagaimana menghadapi ASEAN Economic Community yang sudah disetujui Indonesia, Jokowi bilang perizinan harus diperketat. Jangan ‘gampang’ mengeluarkan izin.

Tapi jangan salahkan Jokowi. Dia sudah berusaha tampil sebatas – bahkan melebihi – kemampuannya.

Tak arif untuk membandingkannya dengan Prabowo, yang tampil penuh sebagai dirinya sendiri, dengan kejelasan logika. Sama, Prabowo juga mengatakan perlu membangun ini-itu, dengan tujuan mendorong perkonomian Indonesia secara cepat. Dari mana duitnya? Dari kebocoran anggaran negara sebesar 7200 trilyun pertahun! Angkanya sangat absah karena bersumber dari KPK. Dengan menutup kebocoran 1000 trilyun rupiah saja, Prabowo memperlihatkan target-targetnya sangat realistis.

Empati dan simpati saya untuk Jokowi. Para pendukungnya mengelu-elukannya, menyemangatinya, tapi sebenarnya mereka sedang menekan dan memaksa Jokowi tampil di luar kemampuannya.

Sikap pendukung seperti inilah, yang juga sifat sebagian pendukung Prabowo, yang sering jadi masalah dalam politik Indonesia, baik bila calonnya menang atau kalah.

Kalau menang, mereka akan merasa jadi kelompok penguasa yang menyingkirkan pihak lain yang tak sejalan. Kalau kalah, mereka akan sulit menerima, dan akan mencari-cari alasan bahwa pihak mereka telah dicurangi. Dan karena itu menggugat, menuntut pemilu ulang, dan sebagainya.
Pendukung kedua belah pihak punya potensi untuk tidak mau menerima kekalahan. Tapi sifat kepemimpinan Prabowo akan lebih mampu mengendalikan para pendukungnya.

Jokowi pun mungkin mampu. Tapi mengingat dia lebih di bawah kendali para petinggi partai dan purnawan militer, sulit membayangkan Jokowi bisa mengendalikan para jenderal dan keluarga raja yang marah dan kecewa.

Omong-omong, bagaimana prediksi perbandingan suara antar kedua capres setelah debat kedua tadi malam? Jokowi-JK naik sekian persen? Atau turun? Prabowo-Hatta naik segerobak persen?

Sebetulnya acara belum layak disebut ‘debat’. Lebih pantas dibilang presentasi kedua calon dan sedikit tanya jawab.

Mungkin pihak dan pendukung salah satu kubu merasa optimis setelah debat capres kedua ini. Dan pihak lainnya merasa khawatir. Saran saya: Pihak yang optimis jangan terlalu optimis dan pihak yang khawatir jangan terlalu berkecil hati.

Konstituen atau massa pemilih di Indonesia lain dengan pemilih di Amerika Serikat. Ini hanya menyebut satu contoh negara. Masyarakat pemilih di Amrik itu massa pemilih rasional. Mereka memilih calon presiden mereka berdasarkan pertimbangan rasional. Kalau melihat programnya bagus, realistis dan masuk akal, mereka akan pilih. Karena itu, pergerakan angka suara pemilih di sana sangat dinamis seiring tampilan debat para calon. Putaran pertama Obama kalah oleh Hillary. Tapi makin kesini potensi suara makin banyak ke Obama. Sebabnya, program yang diusung Obama lebih rasional dan penjelasannya lebih bisa diterima khalayak. Yang tadinya senang kepada kecerdasan Hillary, setelah debat kesekian, bisa beralih ke Obama – karena pertimbangan rasional.

Bahkan, Hillary sendiri akhirnya berkampanye untuk Obama di putaran akhir, karena mengakui program Obama lebih unggul. Di Indonesia, sikap ini pasti dianggap pengkhianatan.

Itu Amrik. Indonesia lain. Masyarakat pemilih Indonesia itu mayoritas emosional. Kalau sudah senang kepada satu calon, sekurang apa pun calon itu akan mereka abaikan; mereka maafkan. Dan sesepele apapun kekurangan lawan, akan mereka persoalkan. Pendeknya, kalau sudah tak senang ya tak senang. Kalau sudah suka ya suka. Karena itulah slogan paling populer adalah: “Pokoknya no 1, pokoknya no 2.”

Para pendukung Prabowo mudah-mudahan bisa meneladani jiwa patriot idolanya, “Yang semua kita lakukan ini untuk rakyat. Tak peduli siapa yang melakukannya, kalau untuk kebaikan rakyat, kita dukung.” Itu Ucapan Prabowo.
Mudah-mudahan para pendukung kedua belah pihak bersikap dewasa – dalam semangat kebangsaan.

Siapapun yang menang nanti, Prabowo atau Jokowi, ia menjadi Presiden Republik Indonesia yang membutuhkan dukungan seluruh rakyat. Mari kita dukung.

Oleh Kafil Yamin
Sumber: Klik Disini