"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2014/08/04

Raja Perempuan, Batahan and Me

Inilah alasan kenapa saya (dan juga sebagian besar warga Batahan) tidak dapat menggunakan marga ataupun suku di belakang namanya.

Catatan ini saya dapatkan dari catatan lama papa, Fahmi Husin, yang memang sejak muda dulu mulai mengumpulkan data-data ini.

Berikut ini penjelasannya:
Tersebutlah ada seorang raja yang bernama Baginda Soaloon (Raja Pidoli Lombang) (lahir sekitar 1679-1700). Beliau memiliki tiga anak: Sutan Kumala, Namora Anda dan ST. Mandailing.
Sutan Kumala (yang merupakan anak pertama dari Baginda Soaloon) memiliki dua anak, yakni Mangaraja Tinanting Bulan dan Puti Bulan Tersingit (beliau ini yang kemudian menjadi raja perempuan di Hulu negeri Batahan).

Dari keturunan Mangaraja Tinanting Bulan lahirlah Sutan Kumala Porang yang memiliki dua anak (Mangaraja Umum dan Mangaraja Tinanting). Mangaraja Tinanting memiliki enam orang anak, salah satu diantaranya adalah Ali Sati gelar Sutan Iskandar, yang lebih dikenal dengan nama Willem Iskandar yang lahir di Pidoli Lombang, Maret 1840. Willem Iskandar ini kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan modern di Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia. (http://akhirmh.blogspot.com/2011/04/willem-iskander-dan-lahirnya-tokoh.html)

Melihat garis keturunan di atas artinya Willem Iskandar itu adalah ‘level’ cicit dari Puti Bulan Tersingit (Raja Perempuan Negeri Batahan). Jika dengan asumsi satu generasi dipisahkan oleh rentang usia 30 tahun, maka Raja Perempuan itu berusia 90 tahun lebih tua dari Willem Iskandar. Jadi kira-kira tahun 1750 adalah masa kelahiran Raja Perempuan tersebut.

Puti Bulan Tersingit menikah dengan ST. Iskandar. Mereka memiliki tiga orang anak. Dua laki-laki dan satu wanita. Masing-masing bernama Sutan Cagar Alam, Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam, dan Siti Bulan (meninggal sebelum dewasa).

Dari anak pertama Puti Bulan Tersingit, yaitu Sutan Cagar Alam, lahirlah sembilan orang anak (laki-laki dan perempuan). Berturut-turut namanya adalah, Sutan Seri Alam, Mhd. Natal, Marah Hayat, Marah Akhmad, Harun Arrasyid, Sautan, Siti Nurhana, Siti Nurhani (yang diceritakan murtad dari agama Islam), dan Siti Nurlan.

Dari anak kedua Puti Bulan Tersingit, yaitu Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam, lahirlah 2 orang anak laki-laki yang bernama Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi dan Sutan Muhammad Basyir gelar Sutan Mulia Raja.

Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi menikah dengan Sari Beganti (yang dikenal dengan panggilan nenek kusuik). Mereka memiliki dua orang anak yang bernama Fatimah Nuri dan Abdul Mutholib.
Fatimah Nuri memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Hasan Rancak gelar Sutan Marah Alam Dunia. Puterinya bernama Fatimah Yamas. Dari Fatimah Yamas lahirlah tujuh orang anak. Berturut-turut namanya adalah Sutan Nadirsyah, Sutan Wirsyah, Cicik, Siti Bulan, Nur Siti, Sutan Sayful Alamsyah dan Sutan Asmudin.

Dari keturunan Abdul Mutholib, yaitu saudara laki-laki Fatimah Nuri tersebutlah ada tiga orang anak. Nama-namanya adalah Siti Saleha, Binu Asyiah dan Siti Nurbaya.

Siti Saleha memiliki seorang anak, Afdansyah. Afdansyah memiliki seorang puteri bernama Siti Rohati.
Binu Asyiah memiliki dua orang anak, masing-masing bernama Zainal Abidin (kakek kami) dan Nurpani (ibu dari ayahketek Safni).

Siti Nurbaya memiliki empat orang anak perempuan. Masing-masing bernama Siti Nurmilan, Siti Nurlian, Siti Nurlan dan Nazarni.

Dari Zainal Abidin lahirlah lima orang putera-puteri yang masing-masing bernama Dahri, Zairuddin, Ainuddin, Ali Asnur dan Ikhwan.

Saya sendiri, Feri Susanto, adalah anak ke empat dari ‘umak’ Dahri binti Zainal Abidin bin Binu Asyiah binti Abdul Mutholib bin Sutan Muhammad Ayoeb gelar Sutan Mangkubumi bin Sutan Bainun gelar Sutan Lembang Alam bin Puti Bulan Tersingit (Raja Perempuan) binti Sutan Kumala bin Baginda Soaloon (Raja Pidoli Lembang).

Dalam hitungan generasi, saya dan saudara seangkatan adalah keturunan kedelapan dari Raja Perempuan negeri Hulu Batahan (Puti Bulan Tersingit) dan keturunan kesepuluh dari Raja Pidoli Lembang (Baginda Soaloon).

Namun karena papa kami, Fahmi Husin, adalah memiliki seorang ayah dan ibu dari ranah minang (Bagindo Husin, Lubuk Alung, Pariaman dan Djasmaniah dari Gasan, Tiku bagian Selatan) maka jika ditarik kesukuannya maka jelas kami tanpa suku. Tidak berhak menggunakan suku minang karena budaya Minang menganut matrilineal. Sementara dilihat dari garis keturunan ibu memang kami adalah dari Pidoli Lombang, tapi karena ayah kami adalah minang (dari bapaknya) maka kamipun tidak dapat menggunakan marga dari Pidoli Lombang.

*Lain kesempatan saya akan sampaikan garis keturunan dari pihak papa.
Semoga bermanfaat...

BEBERAPA AYAT TENTANG SYUKUR



Dan jika Kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya Kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Annahl [16];18).

Di ayat lain:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebutnya-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS.Aldhuha [93];11).

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"(.QS.IBrahim 14 :7)

“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Maha kaya (tidak membutuhka sesuatu) lagi Mahamulia” (QS An-Naml [27]: 40)

Relevan dengan pembahasan 'syukur' adalah 'ni'mat'. Maka sungguh tidak terhitung ni'mat yang kita telah terima dari Allah SWT. Jika kita merasa bahwa ni'mat itu hanya sedikit dan bahkan merasa kekurangan terus, itu tandanya bibit-bibit kufur ni'mat sudah menjangkiti hati. Na'udzubillah. FABIAYYI ALAA 'IRAABIKUMAA TUKADZDZIBAANN" Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan".

Berulang kali Allah memberi peringatan kepada kita, seperti yang tertera dalam surat Ar-rahman di atas. Bahkan tidak hanya sekali dua kali, tapi sampai 30 kali Allah SWT mempertanyakan sikap syukur kita dalam surat yang sama itu: Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan"?

Semoga Allah SWT menguatkan hati-hati kita untuk senantiasa menjadi pribadi-pribadi yang pandai bersyukur. Aamiin.

2014/06/25

Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?

Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab (perhitungan) terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat (melihat) dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu:

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak ( posisi Bulan-Bumi-Matahari segaris lurus), ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi (tidak kenal baca tulis) dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika  ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahl ihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebu tbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu iron ibesar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpaduyang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zamantengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi  di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Diambil dari Link Ini