Berdasarkan catatan dari cerita turun temurun dan dihubungkan dengan tahun kelahiran Willem Iskandar (1840)-seorang tokoh Mandailing yang kelak jadi tokoh pendidikan tingkat nasional-, yang dalam garis keturunan di kerajaan Pidoli Lombang merupakan keturunan ketujuh dari Raja Baginda Soaloon (Raja di Pidoli Lombang). Sementara Puti Bulan Tasingik (Tersingit) yang kelak menjadi Raja Perempuan di Batahan adalah putra dari Sutan Kumala bin Baginda Soaloon. Artinya Puti Bulan Tasingik ini adalah cucu dari Raja Pidoli Lombang, Baginda Soaloon.
Rentang kekuasaan Raja Perempuan di Batahan itu diperkirakan antara 1725-1750. Sebelum itu, pemerintahan di Batahan masih belum berbentuk kerajaan. Kepemimpinan di Batahan masih didasarkan pada kepemimpinan tradisional berdasarkan kelompok pendatang yang kemudian menetap di Batahan. Dua kelompok besar yang ada masing-masing adalah rombongan dari Indrapura dan rombongan dari Aceh. Sebenarnya ada kelompok-kelompok kecil yang sudah duluan ada dan datang kemudian, namun karena jumlahnya tidak signifikan maka mereka memilih untuk membaurkan diri dengan rombongan Indrapura atau rombongan Aceh.
Dua nama pemimpin Batahan yang pernah tercatat pada masa sebelum Raja Perempuan itu adalah Orang Kaya Bungsu dan Sutan Muda. Yang disebut pertama terindikasi sebagai puak Indrapura dan yang kedua adalah kelompok Aceh. Dokumen mengenai nama mereka ini dapat dilihat di sebuah buku lama dengan judul ONZE KENNIS VAN SUMATRA'S WESTKUST , OMSTREEKS DE HELFT DER ACHTTIENDE EEUW, halaman 516. Tahun peristiwanya adalah 1693.
BATAHAN berada di bawah kekuasaan dua penguasa: Orang Kaja Boengsoe dan Soetan Moeda. Berdasarkan kontrak tahun 1693, hal itu terjadi wilayah ini melekat pada Perseroan. Satu atau dua hari dari pantai terdapat empat tambang emas "kaya", yang dikerjakan oleh masyarakat Rau. dari Batahan adalah Batta.
Sistem pemerintahan resmi yang pernah berkuasa di Batahan yang berkaitan dengan Belanda bermula ketika Batahan menjadi kekuriaan Batahan. Tercatat yang menjadi Kepala Kuria pertama adalah Sotu gelar Majo Dirajo (sekira 1841-1846). Dari era Raja Perempuan hingga terbentuknya kekuriaan ini, Batahan dipimpin oleh beberapa orang Raja, diantaranya yang dikenal adalah Sutan Gagar Alam.
Kepala Kuria yang pernah memimpin Batahan berturut-turut sejak era Sotu gelar Majo Dirajo adalah Abdur Rahman, kemudian M. Basir gelar Sutan Mulia Rajo, selanjutnya Abdul Muluk gelar Sutan Bandaro Rajo, diteruskan oleh M. Tahar gelar Sutan Amir, lalu digantikan oleh M. Yunus Sutan Maharajo Adat (1932) kemudian sempat digantikan oleh pelaksana tugas Onder Voorzitter dari Datuk Kubangan, setelah itu ada Hasan Rancak gelar Sutan Marah Alam Dunia. Semua kepala Kuria ini selain dari Onder Voorzitter juga berpredikat sebagai Tuongku.
Dibawah Kepala Kuria, ini beberapa Datuk-datuk Pengulu Kaum/ Kepala Kampung. Yang pernah tercatat diantaranya adalah Naratab atau Datuk Bukik di Pasar Batahan; Ibrahim atau Datuk Parhimpunan di Kampung Kapas; Buang Sati atau Datuk Ambosa di Bintungan Bejangkar; Abdul Yakin alias Datuk Bonsu di Sitodung; Datuk Malompah di Batu Sondat; Datuk Baru di Banjar Aur; Datuk Manuncang di Singiang dan Datuk Mudo di Kubangan.
Setelah itu ada masa transisi di era kemerdekaan Republik Indonesia. Sistem pemerintahannya disebut sebagai Komite Nasional. Bertindak sebagai ketua adalah Amirudin, dengan delapan orang anggota, masing-masing adalah Zainal Bahri, Marajan, Jabarudin, M. Daud Nasution, Marah Muhammad, Karnan Nazir, Basrah dan Abdul Manaf.
Setelah bentuk pemerintahan berubah menjadi Kedewanan Negeri Batahan, Komite Nasional yang berjumlah sembilan orang termasuk ketuanya, bertransormasi menjadi Dewan Negeri Batahan. Semua anggota Komite Nasional masuk menjadi anggota Dewan Negeri Batahan ini, dengan struktur tambahan seorang sekretaris. Ketua pertama Dewan Negeri Batahan ini adalah Zainal Bahri (1946-1951) dengan sekretaris Karnan Nazir (menjadi sekretaris terlama hingga 1958). Tiga orang ketua Dewan Negeri yang pernah memimpin sampai 1979 itu adalah Zainal Bahri (1946-1951), Marajan (1951-1952) dan Jabarudin (1952-1979).