"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/27

Cerbung bagian VI: Jejak Keakraban di Tanah Perantauan

Udara pagi masih terasa segar ketika aku menaiki bus menuju kantor, meski mataku sedikit berat karena kurang tidur. Angin lembut meniup wajahku, menyingkap sedikit masker yang kugunakan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang kutempuh belakangan ini. Aku duduk di dekat jendela, menatap langit yang perlahan berubah warna, bersiap menyambut bos besar dari Singapura yang akan datang siang ini. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, tapi pikiranku sesekali melayang pada undangan Freeman untuk barbeque akhir pekan nanti.

Seiring bus melaju, pikiranku semakin dipenuhi rencana-rencana kantor. Pesawat yang ditumpangi bos dijadwalkan mendarat menjelang sore, dan tim sudah mengatur semuanya—dari jemputan bandara ke hotel, hingga memastikan bos bisa istirahat malam ini, menghilangkan jejak lelah akibat penerbangan panjang. Aku sedikit lega, malam ini tak ada agenda yang perlu disiapkan, hanya waktu untuk bersiap menghadapi pertemuan esok hari.

Tengah hari nanti, seperti biasa, aku berencana makan di stand makanan halal. Stand yang selalu menjadi tempat peristirahatan singkat di tengah hari-hariku yang sibuk. Aku teringat wajah ramah Halime, penjaga stand yang kukenal baik. Setiap kali, percakapan ringan kami selalu menyenangkan, terutama saat kami berbicara tentang Turki dan serial Dirilis Ertugrul. “Apa kabar bang Ertugrul?” gurauku, mengingat karakter legendaris itu. Halime tertawa dan menggelengkan kepala, “Pak Feri ternyata juga nonton ya?”

Aku tersenyum, mengangguk. Serial Turki yang penuh kisah heroik dan sejarah itu telah mengikat banyak hati, termasuk hatiku. Entah mengapa, selalu ada kesan mendalam ketika berbicara tentang para pahlawan masa lalu, yang seolah membawa kita menyusuri lorong waktu menuju kejayaan Islam di masa lampau. Halime tampak terkejut mengetahui aku mengikuti serial itu, mungkin karena kami jarang berbicara tentang hal-hal pribadi.

Di stand makanan halal, tak hanya muslim yang menjadi pelanggan. Yahudi yang menghindari babi dan alkohol, serta teman-teman vegetarian dari India, semuanya berkumpul di sini. Makanan halal menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai keyakinan, di tengah hiruk-pikuk kota ini. Harmoni yang terjalin begitu indah dalam sebuah tempat kecil, di mana perbedaan menjadi kekayaan, bukan batas.

Zuhur selesai, aku menuju stand itu lagi. Makanan yang kusediakan menjadi lebih dari sekadar pengisi perut; itu adalah bagian dari rutinitasku, sebuah pengingat akan identitas yang kugenggam erat, meskipun jauh dari rumah. Sore ini, aku harus pulang lebih cepat. Ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah: keluarga Ustadz Rahman, yang sudah mengundang keakraban meski baru beberapa pekan kami saling mengenal.

Rasanya luar biasa bisa menemukan seseorang seperti Ustadz Rahman di tanah yang jauh ini. Bukan hanya sebagai seorang pembimbing spiritual, tapi juga sebagai sahabat dalam makna yang lebih dalam. Hubungan yang dibangun atas dasar kalimat tauhid membuat kehadiran mereka terasa seperti keluarga, meski sebenarnya kami baru saling mengenal. Sore nanti, rumahku akan disinari oleh obrolan hangat dan cerita penuh hikmah dari beliau.

Aku bergegas pulang, meninggalkan kesibukan kantor dengan perasaan ringan. Sore ini, ketika Ustadz Rahman dan keluarganya datang, aku tahu kami akan berbagi cerita yang tak hanya sekadar obrolan biasa. Seperti pertemuan sebelumnya, pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik kata-kata beliau yang penuh makna, yang selalu membawa kedamaian dalam hati.

Hujan mulai turun perlahan saat aku hampir sampai di rumah. Setiap tetesnya terasa seperti doa yang jatuh dari langit, menyejukkan hati dan pikiran. Aku menanti pertemuan ini dengan penuh harap, berharap mendapatkan cahaya baru dari perbincangan kami nanti. Dalam keheningan, ada ketenangan yang muncul ketika aku membayangkan kehangatan yang akan dibawa Ustadz Rahman ke dalam rumahku.

Malam mulai turun ketika keluarga Ustadz Rahman tiba di rumahku. Wajah beliau menyambut dengan senyum penuh kearifan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang telah ditempuhnya sebagai seorang pengembara di jalan Allah. Kami duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan di negeri yang jauh ini, tentang tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai seorang muslim di tanah yang penuh dengan kebebasan.

Aku merasa bersyukur, bisa dikelilingi oleh orang-orang yang tidak hanya memahami agamaku, tapi juga menguatkan imanku. Kehadiran mereka memberiku rasa tenang, seolah dunia ini tidak terlalu asing, meskipun kami berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Dalam kebersamaan ini, aku merasa tidak sendirian, seolah Allah selalu mengirimkan orang-orang baik untuk menemani perjalananku.

Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Di meja makan, isteriku menyajikan rendang, menu andalannya setiap kali kami menjamu tamu. Bumbu Minang yang pekat dan kaya rempah itu, setiap suapannya selalu mengundang rasa syukur, membuat siapa pun yang menikmatinya merasakan kenikmatan citarasa nusantara yang khas. Ada sejumput kerinduan pada kampung halaman dalam setiap rasa, seolah setiap gigitan mengajak kami pulang ke akar budaya, ke tanah kelahiran yang selalu dirindukan.

 

Cerbung Bagian V: Pertemuan Takdir: Freeman dan Aku

Fajar baru saja menyentuh langit ketika aku bergegas menaiki bus menuju kantor. Seperti biasa, aku memilih duduk di dekat jendela, memandang jalanan kota yang perlahan mulai sibuk. Di dalam benakku, rencana esok hari berputar-putar. Bos besar dari Singapura akan datang untuk kunjungan, dan kabarnya ada pengumuman penting yang akan disampaikan kepada seluruh karyawan. Suasana kantor pasti akan lebih tegang dari biasanya, pikirku sambil merapikan masker yang masih melekat di wajahku.

Rasa penasaran menyelinap saat bus melewati kafe kecil di sudut jalan. Dari balik jendela, aku menangkap sosok yang sudah tak asing lagi: Freeman. Duduk di tempat yang biasa, dengan secangkir kopi di tangannya. Pandanganku melekat pada wajahnya, yang tampak tenang dan sedikit melamun. Tiba-tiba, sebuah pikiran konyol muncul di benakku. "Apa dia aktor yang sudah gak laku?" Aku menahan tawa kecil. Freeman, dengan segala karismanya, tetap menjadi misteri bagiku.

Empat puluh menit perjalanan terasa cepat. Bus berhenti di halte terakhir, tak jauh dari kantor kami. Kantor ini bukan milik perusahaan, hanya ruang sewa di coworking space yang sederhana. Jumlah karyawan kami tak lebih dari tiga puluh orang, maklum, perusahaan ini masih dalam tahap rintisan di Amerika. Meski kecil, semangat yang mengalir di dalamnya terasa besar. Setiap orang di sini punya impian yang besar untuk membuat perusahaan ini sukses.

Entah kenapa, suasana pagi ini terasa lebih ringan. Saat aku melangkah masuk ke dalam kantor, seorang office boy menyapaku dengan senyum ramah. "Good morning, sir!" katanya dengan aksen Filipina yang khas. Namanya John Santiago, tapi kami semua memanggilnya Santi. "Kalo di Indonesia, Santi identik dengan nama cewek ya," kataku suatu hari, dan sejak itu setiap kali aku memanggilnya, aku teringat akan lelucon kecil itu. Santi selalu bekerja dengan cekatan, memastikan kantor tetap rapi dan nyaman.

Memang, sebagian besar karyawan di kantor ini berasal dari Asia Tenggara. Headquarters kami di Singapura, jadi banyak dari kami yang ditugaskan sementara di sini, termasuk aku. Namun, perlahan perusahaan mulai merekrut karyawan lokal Amerika. Mereka akan menjadi tulang punggung tim di masa depan, setelah kami berhasil menginjakkan kaki dengan kuat di pasar ini.

Aku melirik jam tangan, dan waktu makan siang sudah hampir tiba. Seperti biasa, aku dan beberapa rekan kerja akan pergi ke foodcourt di belakang gedung samping kantor. Hanya butuh sekitar tujuh hingga delapan menit berjalan kaki. Tempat itu penuh dengan pilihan makanan, hampir tiga puluh tenant yang berjejer, tetapi hanya satu yang menjual makanan halal. Dan itu adalah stand langgananku.

Namanya Halime. Dia penjaga stand makanan halal itu, seorang part-timer asal Turki yang juga sedang berkuliah. Penampilannya selalu anggun, mengenakan hijab meskipun belum versi syar’i seperti gaya Timur Tengah yang lebih tertutup. Namun, ada sesuatu yang luar biasa dari caranya menjalani hidup, memadukan kecerdasan, keindahan, dan keyakinan. Setiap kali aku ke standnya, obrolan kami singkat tapi penuh kehangatan. Aku sudah cukup akrab dengannya, meski masih tetap menjaga formalitas.

Itu menjadi rutinitasku di sini. Menemukan tempat yang nyaman, wajah-wajah yang ramah, dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat hari-hariku di negeri asing ini terasa lebih ringan. Sore itu, setelah makan siang dan kembali bekerja, pikiranku mulai beralih ke akhir pekan. Rasa lelah mulai terasa, tapi aku tahu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum hari berakhir.

Saat aku sedang menyelesaikan beberapa laporan, sebuah pesan WhatsApp muncul di layar ponselku. Dari Freeman. Mataku sejenak terbelalak, sedikit terkejut karena aku tak mengira dia akan menghubungiku lagi dalam waktu dekat. Isinya undangan untuk akhir pekan ini, mengajak keluargaku barbeque bersama di rumahnya. Aku tersenyum kecil, meskipun sempat ragu. Hubunganku dengan Freeman memang belum terlalu dekat, tapi kurasa, menghabiskan waktu dengan keluarganya bisa jadi pengalaman yang menarik.

Namun, meski begitu, ada sesuatu tentang Freeman yang selalu membuatku bertanya-tanya. Dia seperti teka-teki yang tak mudah dipecahkan. Aku merasa ada lapisan-lapisan di balik sosoknya yang karismatik, sesuatu yang belum ia tunjukkan sepenuhnya. Mungkin, pertemuan akhir pekan nanti bisa memberikan lebih banyak jawaban. Atau mungkin, aku akan terus bertanya tanpa pernah benar-benar tahu.

Opsi untuk menolak undangan itu sempat melintas di pikiranku. Tapi, akhirnya aku memutuskan untuk menerima. Lagipula, apa salahnya menjalin pertemanan dengan orang baru di sini? Ditambah, istriku pasti akan senang diajak berkumpul di acara santai seperti itu. Barbeque keluarga bersama Freeman bisa menjadi pelarian kecil dari rutinitas pekerjaan yang monoton.

Tepat sebelum aku pulang, aku mengirimkan balasan singkat kepada Freeman. “Sure, we’d love to join. Looking forward to it!” Rasanya, akhir pekan ini akan menjadi sesuatu yang menarik.

Rasanya aneh saat aku duduk di dalam bus, memikirkan bagaimana Freeman bisa muncul lagi dalam hidupku. Mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam yang belum aku pahami. Bagaimanapun, pertemuan kami akhir pekan nanti bisa membuka pintu untuk lebih mengenalnya.

Entah bagaimana, aku merasa Freeman memiliki cerita panjang yang ingin dia bagikan, tapi belum waktunya. Setiap kali aku bertemu dengannya, ada misteri yang terselubung di balik senyumnya, seakan dia sedang menyimpan rahasia besar yang belum siap diungkapkan. Mungkin pertemuan di acara barbeque nanti akan memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam.

Akhirnya, bus sampai di halte terakhir. Aku melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Satu bagian dari diriku penasaran dengan apa yang akan terjadi di akhir pekan nanti, sementara bagian lain sibuk memikirkan pekerjaan dan persiapan kunjungan bos besar. Hari esok pasti akan penuh tantangan, tapi akhir pekan itu, di rumah Freeman, bisa jadi sebuah pelarian yang menenangkan.

Lampu jalanan mulai menyala ketika aku melangkah menuju area apartemen. Malam perlahan tiba, dan aku masih perlu menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan di apartemen nanti, setelah bercengkarama dengan anak dan isteri. Untuk pertemuan akhir pecan, di dalam hati, aku sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk Freeman, terutama tentang Joel dan Jaloe. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

2024/09/26

Cerbung Bagian IV: Cahaya Di Balik Jeruji

Menjelang siang yang berangin dingin, langkahku terasa berat memasuki lembaga pemasyarakatan itu. Aku mengenakan masker, menutupi sebagian wajahku. Itu bagian dari prosedur lapas, demi ‘keamanan’ pengunjung luar seperti diriku. Suara pintu besi yang berderit, suasana suram di lorong panjang dengan penjagaan ketat, semua terasa asing bagiku. Namun, ada satu hal yang membuatku tetap tenang: pertemuanku dengan Ustadz Rahman di Islamic Center beberapa waktu lalu. Hari ini, ia menunggu di dalam, mengajakku untuk melihat sendiri bagaimana bimbingan rohani diberikan kepada para tahanan, termasuk Joel dan Jaloe, yang beberapa hari lalu nyaris mengubah hidupku.

Ustadz Rahman menyambutku dengan senyuman penuh ketulusan. Di sini, di balik tembok penjara ini, ia memikul tugas mulia: menjadi cahaya kecil yang menuntun para tahanan menuju jalan kebenaran. “Lapas ini adalah dunia yang keras, tapi hati manusia selalu punya ruang untuk cahaya,” katanya sambil berjalan di sampingku. Kami melewati beberapa sel yang dijaga ketat, di mana suara langkah kaki terdengar jelas menggema.

Hari ini, Ustadz Rahman akan memberikan bimbingan rohani seperti biasa. Bersama para agamawan dari berbagai keyakinan, mereka rutin bertemu dengan para tahanan, terutama mereka yang terlibat kasus berat seperti pembunuhan dan narkoba. Di ruangan kecil penuh cahaya matahari yang menyelinap dari jendela jeruji, para tahanan mulai berkumpul. Di sini, waktu terasa lambat, tapi kehidupan terus berjalan.

Aku memperhatikan dari kejauhan saat Ustadz Rahman berbicara dengan seorang tahanan yang sedang duduk di sudut ruangan. Mereka terlihat tenggelam dalam percakapan mendalam. "Ini Abdoel," bisik Ustadz Rahman ketika memperkenalkannya kepadaku nanti. Abdoel adalah salah satu tahanan yang rajin menjalankan shalat di tengah ruangan selnya. Bagiku, ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, meski di baliknya tersimpan beban masa lalu yang kelam.

Melalui percakapan dengan Abdoel, Ustadz Rahman mengetahui lebih banyak tentang Joel dan Jaloe, dua sosok yang saat ini sedang menunggu vonis mereka dibacakan setelah beberapa pekan persidangan ke depan. Abdoel bercerita dengan tenang, seperti seorang sahabat yang mengenal karakter keduanya. "Mereka bersaudara," ucap Abdoel pelan, "tapi beda sekali. Joel itu keras kepala, merasa dirinya tak bisa dikalahkan oleh apapun. Sedangkan Jaloe, lebih tenang, seperti orang yang sedang mencari jawaban."

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan kehidupan di balik tembok ini. Joel yang sudah hampir 38 tahun, tampak mendominasi adiknya dengan kepribadian kuat dan tak kenal kompromi. Sementara Jaloe yang masih 28 tahun, menyimpan kebisuan yang penuh tanda tanya. Kata Abdoel, beberapa kali Jaloe terlihat memerhatikan ketika ia shalat. Tatapan itu bukan tatapan kosong, melainkan tatapan seseorang yang sedang berusaha memahami sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Di ruang tahanan ini, waktu menjadi guru yang paling tegas. Namun, bagi Joel, waktu seolah tak berarti. Ia tak pernah mendengar khutbah atau ceramah agama yang disampaikan agamawan. "Dia merasa semua ini sia-sia," ujar Abdoel. “Dia hanya ingin keluar dari sini dan melanjutkan hidup seperti dulu.” Namun, hidup seperti dulu bukanlah jalan yang tersedia baginya. Kegelapan yang ia pilih mungkin akan menghantui langkahnya selamanya.

Sementara itu, Jaloe adalah cerita yang berbeda. Di balik ketenangannya, ada percikan harapan yang tumbuh. Abdoel bisa merasakannya. “Jaloe pernah bertanya kepadaku tentang doa. Dia ingin tahu, apakah doa bisa mengubah nasib seseorang?” Abdoel bercerita sambil menundukkan kepala, seolah kata-kata Jaloe itu membekas dalam benaknya. Jaloe adalah seseorang yang sedang berjuang mencari makna hidup, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.

Ada rasa iba yang menyelinap dalam dadaku, memikirkan dua saudara ini. Meski bersaudara, mereka begitu berbeda. Joel yang keras dan tak mau kalah, mungkin belum menyadari bahwa kemenangan sejati bukanlah soal siapa yang bertahan paling kuat, tapi siapa yang menemukan kedamaian dalam dirinya. Jaloe, di sisi lain, tampak seperti seseorang yang sedang berada di ambang perubahan besar, meskipun masih dilingkupi kebisuan.

Waktu terus berjalan di dalam lembaga pemasyarakatan ini, tapi Joel dan Jaloe tetap menunggu vonis yang akan segera dibacakan. Hukuman 20 tahun penjara sudah menanti mereka. Namun, lebih dari itu, mungkin yang sedang menunggu adalah takdir yang lebih besar. Joel mungkin akan terus bergulat dengan kemarahannya, sementara Jaloe perlahan meraba-raba jalan menuju penemuan spiritual yang ia dambakan.

Seperti yang dikatakan Ustadz Rahman, penjara ini adalah tempat di mana banyak orang terjebak dalam kegelapan, tetapi juga tempat di mana cahaya bisa menemukan jalan masuk, meski melalui celah-celah kecil. Aku pun teringat pada sebuah kutipan lama yang pernah kudengar, “Kadang-kadang, kita harus tersesat dulu sebelum bisa menemukan jalan pulang.” Joel dan Jaloe, bagaimanapun, sedang menjalani perjalanan mereka masing-masing, dan hanya waktu yang akan menjawab ke mana perjalanan itu akan membawa mereka.

Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruang bimbingan rohani dengan hati yang penuh renungan. Di luar sana, kebebasan tampak begitu jelas, tapi di balik tembok ini, ada kehidupan yang terus berjuang mencari arti. Ustadz Rahman memandangku dan tersenyum tipis, seolah ia tahu apa yang sedang kupikirkan. “Setiap jiwa punya jalannya sendiri untuk pulang,” ucapnya lembut. Aku pun mengangguk, merasakan makna mendalam dari kata-katanya.