"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/10/07

Understanding and Addressing CSAT and AHT Issues in Contact Centers

Introduction

In contact center operations, CSAT (Customer Satisfaction Score) and AHT (Average Handling Time) are critical metrics for measuring the success of customer service. When these metrics fall below expectations, it indicates inefficiencies that can affect both customer experience and operational costs. This article explores common reasons why CSAT and AHT targets may not be achieved and provides solutions to improve them.


Why CSAT May Not Be Achieved

  1. Poor Communication Skills

    • Agents may lack clarity, making it difficult for customers to understand their solutions. Inconsistent or robotic responses can also lead to dissatisfaction.
  2. Insufficient Agent Training

    • Agents who do not have adequate product or service knowledge may provide incorrect information, leading to frustration. Additionally, poor training in soft skills can make it challenging to handle escalations smoothly.
  3. Long Wait or Hold Times

    • Excessive wait times, frequent transfers, or unresolved issues can significantly reduce customer satisfaction. Delays in connecting with agents or holding for long periods negatively impact the overall experience.
  4. System and Process Issues

    • Technical downtimes or complex processes can slow down the resolution of customer inquiries, causing frustration. Inconsistent customer data can lead to prolonged interactions or repeated queries.
  5. Product Issues

    • Frequent defects or discrepancies between marketing promises and actual product performance also contribute to customer dissatisfaction.

Solutions to Improve CSAT

  1. Enhanced Training Programs

    • Regular and comprehensive training in communication, product knowledge, and handling difficult situations can help agents perform better.
  2. Empowering Agents

    • Allowing agents to make quick decisions on the spot can lead to faster resolutions and higher customer satisfaction.
  3. Improving System Reliability

    • Investing in better technology to reduce downtime ensures agents can resolve issues more efficiently.
  4. Reducing Hold Times

    • Analyzing call patterns and adjusting staffing during peak hours can help reduce long wait times and ensure prompt service.
  5. Proactive Management of Product Issues

    • Notifying customers of potential issues before they call and training agents to offer preemptive solutions can manage customer expectations better.
--

Why AHT May Not Be Achieved

  1. Inefficient Processes

    • Overly complicated workflows and manual processes can unnecessarily extend handling times.
  2. Lack of Agent Knowledge

    • When agents spend too much time searching for information or escalating cases, it leads to higher AHT. This is often due to limited system familiarity or insufficient access to resources.
  3. Complex Customer Issues

    • Some problems are inherently complex and take more time to resolve. When the issue isn't clearly defined at the start, this further prolongs the call.
  4. Overemphasis on First Call Resolution (FCR)

    • While resolving issues in one call is ideal, over-prioritizing FCR can cause agents to spend too much time on a single interaction, impacting overall AHT.

Solutions to Improve AHT

  1. Simplifying Processes

    • Streamlining workflows and automating repetitive tasks can reduce handling times and increase efficiency.
  2. Improved Knowledge Management

    • Creating a comprehensive and easily accessible knowledge base ensures agents can quickly find the information they need.
  3. Efficient Handling of Complex Issues

    • Triage calls based on complexity and route them to specialized teams to ensure timely and accurate resolutions.
  4. Balancing FCR with AHT

    • Train agents to find a balance between resolving issues effectively and not overextending call times unnecessarily. Recognizing when follow-ups are necessary is key.

Conclusion

Achieving a balance between CSAT and AHT requires continuous improvements in agent training, process simplification, and technology. While maintaining high service quality, optimizing workflows and empowering agents can ensure these critical metrics are consistently met.

2024/09/30

Cerbung bagian VIII: Rahasia Freeman dan Keluarga Stark

Indahnya sore itu mulai terasa sejak kami tiba di rumah Freeman. Undangan yang sempat membuatku ragu, kini menjelma menjadi pertemuan yang tak terduga. Rumah besar bergaya kolonial di pinggir kota tampak hidup, seakan menyimpan cerita-cerita lama di balik setiap sudutnya. Aku dan keluargaku disambut hangat oleh Freeman dan isterinya yang tersenyum ramah. Senyuman Freeman seolah mengisyaratkan bahwa hari ini bukan sekadar jamuan makan, tapi juga pertemuan yang akan membawa aku ke masa lalu yang tak pernah aku duga.

Sebelum melangkah masuk lebih dalam, aku menoleh ke arah meja makan di luar. Di sana, seorang chef muslim asal Makassar tengah sibuk mengolah ikan bakar khas bumbu Makassar yang aromanya menggoda. Aku belum pernah menyangka akan merasakan kelezatan nusantara di tanah Amerika, apalagi diundang oleh seorang mantan militer Amerika seperti Freeman untuk menikmatinya. Chef itu sudah 15 tahun di Amerika, membangun reputasi dari dapur-dapur kecil hingga terkenal sebagai penyaji hidangan eksotis dari Timur. Menariknya, istri Freeman adalah orang Vietnam, jadi mereka sudah terbiasa dengan berbagai hidangan Asia Tenggara, termasuk masakan bercita rasa Indonesia.

Langkah kami menuju ruang tamu membawa kehangatan tersendiri. Foto-foto yang terpajang di dinding seakan menjadi penjaga masa lalu Freeman. Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah foto tua. Freeman, tampak lebih muda dan berpenampilan militer, berdiri di samping seorang pria kulit putih dengan pakaian yang sama. Yang mengejutkan adalah tulisan samar di latar belakang foto itu: RM Rindu Alam. Aku mengenali tempat itu, sebuah restoran legendaris di Puncak, Bogor. Di foto tersebut, Freeman tampak menggendong seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahun, dengan senyuman tipis yang penuh teka-teki.

Aku terdiam sesaat, merenungkan latar belakang foto itu. Freeman, yang dulunya adalah prajurit militer, tampak begitu dekat dengan sosok prajurit Amerika yang berdiri di sampingnya. Seolah foto itu mengandung rahasia yang belum terkuak. Saat aku tengah larut dalam pikiran, tiba-tiba sebuah tepukan di pundakku mengejutkanku. Freeman berdiri di belakangku, tersenyum dengan sorot mata yang tenang. "Tertarik dengan foto itu?" tanyanya, seolah sudah membaca rasa penasaranku.

Malam itu, sambil menikmati hidangan ikan bakar yang kaya bumbu, Freeman mulai bercerita tentang masa lalunya yang tak pernah terbayang dalam benakku. Pria dalam foto itu, katanya, adalah Abraham Stark, seorang Kolonel di Atase Militer Amerika di Jakarta. "Dan anak kecil yang kugendong itu," Freeman melanjutkan, "adalah Jaloe. Kami biasa memanggilnya si Jalu." Aku tertegun. Bagaimana bisa Jaloe yang kutemui dalam peristiwa mencekam beberapa waktu lalu ternyata memiliki keterkaitan yang begitu dekat dengan Freeman? Dan lebih mengejutkan lagi, Jalu lahir di Indonesia.

Inilah sisi lain dari Freeman yang tak pernah aku ketahui. Hubungan antara dia dan keluarga Stark dimulai di Vietnam, saat perang berkecamuk. Abraham Stark adalah komandannya ketika mereka terlibat dalam operasi militer yang keras dan penuh darah. Setelah perang usai, mereka tetap menjalin hubungan dekat, bahkan setelah keluarga Stark pindah ke Indonesia. "Kami sering berlibur ke Puncak," lanjut Freeman, "dan di sanalah Jalu dilahirkan. Anak itu tumbuh di bawah bayang-bayang ayahnya yang keras."

Saat Abraham Stark memutuskan untuk menetap kembali di Amerika setelah 8 tahun di Indonesia, Freeman ikut serta dalam kepindahan itu. Keluarga Stark memulai bisnis kecil-kecilan, dan Freeman dipercaya untuk membantu mereka menjalankan usaha. Namun, hubungan Freeman dengan anak-anak Stark, Joel dan Jaloe, mulai memburuk seiring berjalannya waktu. “Joel selalu merasa bahwa aku terlalu dekat dengan ayahnya,” Freeman menghela napas, “dan itu yang membuatnya penuh kebencian. Jaloe, di sisi lain, lebih lembut, tapi terperangkap dalam bayang-bayang kakaknya.”

Obrolan kami berlanjut hingga malam, menyusuri jejak-jejak masa lalu yang penuh teka-teki. Freeman mengungkapkan bahwa Joel dan Jaloe tak pernah benar-benar memaafkannya atas kedekatannya dengan ayah mereka. "Aku mencoba menjauh, tapi takdir selalu membawaku kembali," katanya dengan nada berat. Aku bisa merasakan ada kepedihan yang tersimpan di balik senyuman tenangnya.

Untuk sesaat, kami terdiam. Isteriku dan anak-anak tengah bercengkerama dengan istri Freeman, sementara aku masih mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Rasa ingin tahuku tentang hubungan Freeman dan keluarga Stark semakin dalam, tapi aku juga tak ingin terlalu jauh masuk ke dalam konflik batin mereka. Ada batas yang harus aku jaga.

Ruang tamu mulai terasa hangat oleh obrolan ringan dan gelak tawa anak-anak. Freeman menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih, namun ia menahan diri. Mungkin karena hari sudah terlalu malam, atau mungkin ia merasa tak semua cerita harus diungkap sekaligus. Namun, satu hal yang aku tahu, pertemuan ini bukanlah akhir dari cerita panjang yang melibatkan Freeman dan keluarga Stark.

Waktu berjalan begitu cepat. Sebelum aku sadar, malam sudah semakin larut. Kami berpamitan, membawa pulang lebih banyak dari sekadar makanan lezat. Kami membawa cerita-cerita lama yang tak hanya menghiasi pikiran, tapi juga hati. Kisah Freeman dan Stark, serta hubungan yang begitu kompleks, kini menjadi bagian dari pemahamanku tentang hidup dan perjalanan manusia.

Aku merasa perjalanan hidup Freeman, yang penuh liku, memberikan pelajaran tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan cinta yang tak selalu bisa dipahami dengan sederhana. Dan malam itu, di tengah kebersamaan, aku merasa sedikit lebih dekat dengan rahasia-rahasia yang disimpan oleh dunia ini.

Yang mengejutkan adalah, saat kami hendak melangkah keluar, Freeman berbisik padaku, "Mungkin suatu hari nanti kau akan tahu, mengapa semua ini terjadi." Dan dengan itu, kami melangkah pulang, dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, menunggu jawaban yang entah kapan akan terungkap. Pertanyaan lain yang masih menggelayut di pikiranku adalah, kenapa tidak ada foto si Joel di dinding rumah mereka.

2024/09/28

Cerbung Bagian VII: Jejak di Dua Dunia- Kembali ke Akar

Siang itu, kantor co-working space terasa lebih semarak dari biasanya. Banner besar dengan tulisan “Welcome Founder” terpampang di ruang depan, seolah menjadi penanda pentingnya hari ini. Semua staf terlihat sibuk memastikan semuanya berjalan lancar. Ini adalah momen yang sudah ditunggu selama berminggu-minggu; kedatangan sang founder untuk townhall meeting dan makan siang bersama tim.

Selama empat bulan terakhir, komunikasi kami hanya dilakukan melalui layar. Tapi kali ini, founder hadir secara fisik, membuat pertemuan ini terasa lebih nyata. Ketika beliau tiba, kami bersalaman. Rasanya seperti reuni kecil di tengah kesibukan proyek besar ini. Kehadirannya mengingatkan kami betapa pentingnya momen kebersamaan untuk membangkitkan semangat tim.

Townhall dimulai tepat waktu. Founder berdiri di depan ruangan, dengan karisma yang tidak berkurang sedikit pun meski waktu dan jarak sempat memisahkan. “Terima kasih atas kerja keras kalian semua,” katanya, memulai pembicaraan dengan nada penuh apresiasi. Namun, seketika wajahnya menjadi lebih serius. “Ada kabar penting—launching kita harus ditunda satu bulan.”

Oh, kabar yang tidak kami harapkan. Meskipun demikian, kami paham bahwa keputusan itu diambil demi kebaikan. Founder menjelaskan bahwa masih ada beberapa kontrak penting dengan partners lokal yang belum rampung, terutama dalam hal warehouse dan delivery. Selain itu, strategi Go To Market harus benar-benar matang agar peluncuran di Amerika ini berdampak signifikan. “Lebih baik terlambat, tapi sukses,” katanya dengan tegas.

Waktu bergulir cepat, dan setelah townhall selesai, aku dipanggil untuk meeting satu lawan satu dengan founder. Kami duduk di ruang kecil di sudut kantor. Dengan suara pelan tapi penuh makna, founder memberitahuku bahwa sudah waktunya aku merekrut seorang Head of Operations lokal. Rekrutmen ini akan melanjutkan apa yang sudah aku bangun di sini. “Kamu masih diperlukan di Singapore,” katanya, “jadi setelah launching, kamu akan kembali ke Asia Tenggara.”

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap detailnya. Pekerjaan ini memang menantang, tapi aku tahu inilah tanggung jawab yang harus kuemban. “Baik, saya akan segera memulai proses rekrutmen,” jawabku. Ada sedikit kelegaan, karena meskipun tugas di sini masih banyak, setidaknya aku tahu perjalanan karirku selanjutnya sudah lebih jelas.

Nasib anak-anakku menjadi bagian penting dari pertimbanganku. Selama ini, kami tidak mendaftarkan mereka ke sekolah formal di Amerika, hanya mengambil kursus. Keputusan itu kini terasa benar, karena dengan rencana kepulanganku ke Asia Tenggara, mereka bisa melanjutkan homeschooling yang sudah kami mulai dari Jakarta. Lebih fleksibel dan bisa diadaptasi sesuai jadwal pergerakan keluarga.

Istri dan anak-anakku tentu harus kuajak bicara tentang kabar ini. Sore harinya, setelah pekerjaan di kantor selesai, aku pulang dengan membawa banyak hal yang perlu dibicarakan. Setiba di rumah, aku menceritakan keputusan penting itu kepada isteri dan anak-anak. Poin-poin utama disampaikan dengan hati-hati, agar mereka mengerti mengapa perubahan ini harus terjadi.

Sebaliknya dari yang kuperkirakan, respons mereka sungguh positif. Isteriku tersenyum, dan anak-anak langsung bersorak kegirangan. "Horeeee! Kita balik ke Asia Tenggara!" seru mereka sambil melompat-lompat. Ternyata, mereka merindukan kehidupan di sana lebih dari yang kuduga.

Momen itu menghangatkan hatiku. Keputusan yang tadinya terasa berat kini menjadi lebih mudah dijalani, karena dukungan keluarga yang tak tergoyahkan. Isteriku, seperti biasa, selalu menjadi sandaran terkuat dalam setiap keputusan besar. Meski perpindahan ini akan membawa tantangan baru, aku tahu kami akan melaluinya bersama.

Aku duduk di ruang tamu, memandangi wajah-wajah ceria anak-anakku yang mulai berfantasi tentang kembalinya mereka ke Jakarta, ke rumah lama, ke taman bermain yang mereka rindukan. Rasa syukur mengalir dalam diriku, bahwa meski hidup ini penuh dengan perubahan, keluarga selalu menjadi jangkar yang membuat setiap keputusan terasa lebih ringan.

Nanti, di hari-hari mendatang, kami akan mempersiapkan kepulangan ini dengan hati yang lapang. Meski perjalanan ini belum selesai, aku tahu kami sedang menapak jalan yang benar. Di balik setiap tantangan, selalu ada kebersamaan yang membuat segalanya terasa lebih indah.