"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2010/02/19

Cara Bijak Melampiaskan Marah

KOMPAS.com - Melalui latihan, penghuni LP Cipinang jadi lebih mudah mengendalikan hasrat marahnya. Begitu hasil penelitian Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc, di rumah tahanan itu. Lalu apa yang harus diperbuat bila berpura-pura tidak marah juga bisa menghasilkan ledakan yang bakal merepotkan orang di sekitarnya?

Pepatah Arab kuno mengatakan, kemarahan diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Adagium itu mungkin tak sepenuhnya benar, meski bukan berarti keliru. Yang jelas, kemarahan erat berkait dengan kepribadian serta pengalaman batin seseorang. Faktor eksternal sebagai pemicu, tentu saja sangat sangat menentukan bagaimana orang mengekspresikan kemarahannya.

Seperti emosi-emosi lain yang terberi, yaitu sedih, gembira, dan kecewa, amarah juga merupakan emosi normal manusia. Masalahnya adalah bagaimana kita mengelola kemarahan itu supaya tidak menjadi liar dan menjurus ke tindak negatif. Pada titik paling ekstrem, kemarahan bisa diikuti tindakan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Lalu, apakah kita tidak boleh marah?

Ada cerita tentang orang yang sangat jarang marah. Namanya Pak Makruf. Para tetangga mengenalnya sebagai orang yang luar biasa penyabar. Belum pernah sekali pun ia marah di depan umum. Keluarganya pun mengaku sangat jarang melihat ia marah, kecuali sesekali melotot kesal. Pernah, suatu hari seorang pengendara motor ngebut melanggar genangan air, sehingga air kotor menciprat ke celananya yang bersih. Ia cuma tertegun sejenak dan berkata,"Mungkin ia buru-buru karena ada urusan gawat."

Pura-pura Penyabar
Ada beberapa orang yang seperti Pak Makruf. Mereka terlihat sangat tenang dan tidak mau mengumbar kemarahannya. Apakah mereka telah berhasil mengelola amarahnya? Jawabnya adalah belum tentu. Pasalnya, ada dua alternatif skenario yang bisa menimpa atau sedang terjadi pada orang-orang seperti itu.

Pertama, meski ia berhasil meredam setiap emosi kemarahannya sehingga tidak meledak ke luar, ternyata ia sekaligus menimbun emosi itu dalam hatinya. Untuk sesaat, penimbunan itu memang tidak berdampak buruk. Bahayanya adalah, orang-orang tipe ini sangat rentan meledakkan amarahnya dengan intensitas dan kesengitan yang luar biasa. Parahnya, banyak orang di sekitarnya justru tidak menduga ia akan berbuat sekeras itu. Akumulasi kepingan-kepingan amarahnya bisa membangkitkan kekuatan kemarahan yang sangat luar biasa.

Skenario kedua adalah, orang tersebut memang benar-benar sukses mengelola kemarahannya. Ia mampu mengendalikan segala emosinya dengan baik. Dengan latihan terus-menerus dan pemahaman yang baik tentang kemarahan, bukan tidak mungkin ia telah berhasil berdamai dengan dirinya. Agama, filsafat, latihan mental, dan pengalaman hidup adalah faktor-faktor yang sangat membantunya. Jika ia 'tidak marah', bukan berarti ia memang benar-benar tidak marah. Ia berhasil mengendalikan amarahnya supaya tidak meledak ke luar. Perbedaannya dengan tipe pertama sangat jelas, orang-orang golongan ini melakukannya dengan tulus dan semangat untuk menjadi lebih sabar.

Tipe lainnya adalah orang yang sangat 'hobi' marah-marah. Masalah kecil saja, telah cukup untuk meledakkan amarahnya. Semprotan kalimat-kalimat 'tak berbudaya' sudah biasa keluar dari mulutnya. Bukan tidak mungkin kemarahannya itu juga diikuti tindakan fisik. Dalam kasus seperti ini, biasanya yang menjadi korban adalah anggota keluarganya. Orang-orang ini tak peduli, bagaimana kemarahannya itu akan berakibat pada orang-orang terdekatnya.

Marah Secara Alami
Idealnya, kalau bisa tidak marah, memang tidak perlu marah. Untuk apa kita marah, karena justru bisa menimbulkan masalah baru. Tapi, memang hanya orang-orang tertentu yang bisa memadamkan api kemarahannya tanpa meninggalkan jejak berbahaya.

Sebagai manusia normal, kita masih perlu marah dan mengekspresikan kemarahan itu. Cuma, yang perlu diingat adalah cara dan bagaimana mengekspresikannya. Untuk kasus tertentu, misalnya kemarahan diperlukan untuk memperingatkan seseorang agar dia tidak mengulangi kesalahan serupa. Marah di sini bukan berarti Anda bebas mengeluarkan kata-kata 'sadis' yang berpotensi melukai hatinya, apalagi sampai menyakiti fisiknya.

Anda bisa mengajaknya bicara. Tidak perlu harus berbaik-baik, sewajarnya saja. Jika Anda kesal, bicaralah dengan kesal. Yang penting Anda ekspresikan kemarahan itu dengan alami. Sebab, sebelum kemarahan meledak ia pasti akan melalui beberapa tahapan. Sangat jarang terjadi kemarahan pada orang-orang terdekat kita tiba-tiba meledak begitu saja. Kesal, dongkol, sedih, biasanya adalah tahap-tahap awalnya. Dan saat-saat itulah waktu untuk sejenak merenung dan memikirkan apa dampak negatifnya jika kemarahan itu dilampiaskan begitu saja. Apa untung dan ruginya? Ingat, kemarahan itu tujuannya untuk mengingatkan bukan memuaskan emosi Anda.

Manajemen Marah
Pada umumnya, kita lebih mudah marah pada orang-orang terdekat, keluarga kita misalnya. Sementara dengan orang-orang yang tidak kita kenal, kita bersikap lebih lunak dan tidak begitu peduli.

Tapi, banyak pula kasus di mana kita marah pada orang yang kita temui di jalan. Jika ada orang yang memicu kemarahan Anda, jangan lupa berpikir, perlu tidak kemarahan itu dituruti. Jangan-jangan hidup kita justru lebih tenteram dengan tidak meledakkan amarah kapan pun kita suka.

Langkah yang musti diambil saat kita benar-benar dikuasai kemarahan adalah, paksa diri kita untuk tetap terkontrol dan berpikir sehat. Banyak kasus penyaniayaan dan pembunuhan terjadi karena kemarahan yang tidak terkontrol. Istilah kalap dan gelap mata mungkin bisa menggambarkan kondisi tersebut. Karena itu, di luar negeri sudah banyak didirikan klinik rehabilitasi kemarahan seperti halnya klinik rehabilitasi kecanduan alkohol dan narkoba. Mereka biasa menyebutnya anger management.

Beberapa waktu lalu, Livia Iskandar Dharmawan, Psi., MSc., melakukan rehabilitasi kemarahan di LP Cipinang, Jakarta. Livia adalah konsultan psikologi yang banyak menangani kasus kekerasan dalam rumahtangga. Di sana, ia membentuk grup-grup diskusi untuk membicarakan faktor-faktor pemicu kemarahan dan bagaimana mengatasinya. Setelah pelatihan tersebut, para peserta mengaku lebih mampu mengontrol diri dan tidak gampang lepas kendali.

Salah satu cara yang dipakai untuk mengelola marah ini adalah metode pengalihan perhatian. Saat hati dikuasai kemarahan, lakukanlah hal-hal yang bisa menyita konsentrasi Anda, misalnya menulis surat atau mengerjakan tugas-tugas yang belum beres. Anda bisa pula mendengarkan musik, mencuci mobil, bersih-bersih rumah, jalan-jalan ke mal hingga belanja. Bagi yang bersifat agresif bisa menyalurkannya lewat olahraga, bahkan memukuli sansak. Menyediakan karung pasir sebagai sasaran tinju adalah salah satu alternatif ampuh. Sementara itu, dengan beres-beres rumah Anda telah membimbing pikiran untuk mengatur sesuatu pada tempatnya dengan rapi.

Mungkin pada awalnya agak sulit dilakukan, sebab hati dan pikiran Anda masih dikuasai kemarahan. Tapi, lakukanlah terus aktivitas itu sepenuh hati. Biarkan konsentrasi Anda terpecah antara mengerjakan sesuatu dan memikirkan kemarahan. Lama-lama Anda akan terbiasa, bahwa kemarahan adalah sesuatu yang wajar, yang tidak harus dilampiaskan dengan berteriak atau meninju sesuatu.

Tapi, jika suatu saat Anda benar-benar marah, langkah pertama yang harus diingat adalah menarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan-lahan. Lakukan itu beberapa kali sambil mengingat pepatah di awal tulisan ini. Kemarahan selalu diawali dengan ketidaksadaran dan diakhiri dengan penyesalan. Jadi, jika Anda masih ingin selalu dikendalikan oleh kesadaran dan tidak ingin mengalami penyesalan, buat apa marah?

2010/02/01

Airnya Yang Keruh, Atau Dispensernya Yang Berdebu?

Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.



Apakah anda pernah berurusan dengan para pemakai ’topi negatif?’ Apapun yang anda katakan, mereka selalu menanggapinya secara negatif. Sekalipun anda membicarakan sesuatu yang positif, dimata mereka tetap saja negatif. Bahkan, sekalipun mengakui bahwa gagasan anda mengandung sisi positif, mereka tetap berdiri disudut pandang negatif. Walhasil, mereka tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang anda sampaikan. Eh, jangan-jangan; yang memakai topi negatif itu kita sendiri, ya?



Teman saya yang bekerja disebuah perusahaan air minum dalam kemasan bercerita tentang seorang pelanggan yang komplain dengan sangat garang. Sungguh seorang pelanggan yang sadar bahwa ’Customer is King’. Didorong oleh dedikasi, teman saya mengunjungi rumah sang pelanggan untuk menindaklanjuti pengaduannya. Tahap pertama yang dilakukan oleh teman saya adalah memastikan bahwa air minum yang dibelinya memang asli keluaran perusahaannya. Ternyata asli. Jadi, seharusnya air itu mencerminkan komitmen perusahaan terhadap kualitas air yang dipasarkannya.



Tahap kedua, teman saya menginspeksi tata cara penanganan air tersebut. Termasuk diantaranya kondisi dispenser yang digunakan tuan rumah. Pemeriksaan tidak hanya dibagian yang mudah terlihat, melainkan juga bagian dalamnya. Dan dengan disaksikan oleh tuan rumah, pemeriksaan itu menghasilkan ’beberapa telur kecoa’ dan biangnya sekalian. Sekali lagi, salah satu sifat ’lemah’ manusia muncul. Jika air yang keluar dari dispenser kita kotor, kita berkesimpulan bahwa air yang kita beli kualitasnya buruk. Dan pihak yang harus bertanggungjawab adalah produser air itu.



Dalam banyak situasi, kisah nyata yang diceritakan oleh teman saya itu sangat mirip dengan keseharian kita. Kita cenderung melihat ’keluar’ daripada ’kedalam’. Makanya tidak heran jika ada saja orang-orang yang selalu memandang negatif terhadap pemikiran, gagasan dan pendapat orang lain. Dari sudut pandang ilmu perilaku, hal semacam itu disebut dengan istilah ’judgemental’. Orang dengan sikap ’judgemental’ selalu terfokus kepada kelemahan pendapat orang lain. Sehingga, terhadap apapun yang dikatakan oleh orang lain; dia selalu berusaha menemukan sisi buruknya. Tidak peduli betapa baik dan mumpuninya gagasan seseorang, pasti ada celah untuk diserang. Lagipula, bukankah kita percaya pada dogma ’tidak ada yang sempurna’?



Lho, bukankah kemampuan seseorang untuk menemukan titik lemah adalah salah satu ciri kecerdasan? Itu betul. Karena kemampuan untuk berpikir kritis adalah tanda dari orang-orang yang IQ-nya tinggi. Namun, kita semua tahu, bahwa IQ bukanlah faktor penentu utama dalam mengukur kualitas diri seseorang. Karena, tanpa standar kecerdasan lain, seseorang dengan IQ tinggi hanya mirip mesin hitung. Sederhananya, ’berpikir kritis’ ada di daerah ’kedigdayaan’ IQ, sedangkan ’menemukan cara terbaik untuk ’mengekspresikan’ beda pendapat ada di wilayah ’kearifan’ EQ. Dan untuk membangun interaksi positif manusia butuh kedua-duanya. Makanya, orang-orang yang hanya cerdas IQ tapi rendah EQ, sering dilanda frustrasi karena kegagalannya untuk meraih penerimaan orang lain atas ’kecanggihan’ dirinya.



Tahap ketiga yang dilakukan oleh teman saya adalah menunjukkan cara membersihkan dispenser, dan tips merawatnya agar tetap bersih. Dan setelah dispenser itu dibersihkan, ternyata air yang keluar dari dalamnya juga bersih. Boleh jadi, bukan gagasan atau sumbernya yang bermasalah, melainkan kepala dan hati kita yang berfungsi seperti dispenser itu yang kurang bersih. Sehingga kalau kita bersedia membersihkannya, akan kita temukan kebenaran, dan kejernihan dari gagasan yang datang dari orang lain. Mengapa kita butuh itu? Karena, orang paling cerdas sekalipun tidak mampu menemukan semua solusi. Sehingga, kesediaan kita untuk menerima gagasan dan masukan dari orang lain dengan hati yang bersih menjadi faktor penting. Apakah itu berarti kita harus selalu setuju dengan gagasan orang lain? Tidak juga. Namun, setidak-tidaknya kita bisa bertukar pikiran dengan itikad yang baik, melalui cara yang baik, untuk menemukan solusi terbaik.



Mengapa begitu? Karena, dari sudut pandang ilmu komunikasi, bukan hanya isi atau konten yang harus baik, melainkan juga bagaimana cara menyampaikannya. Jika menerapkan prinsip ini, mungkin kita bisa menghindari konflik yang terjadi karena salah satu pihak merasa benar sendiri. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersedia membersihkan ’dispenser’ didalam dirinya sendiri. Caranya? Antara lain, (1) Menghargai hak orang lain untuk menyampaikan gagasan, (2) Membuka diri akan kemungkinan kebenaran pihak lain, (3) Menenpuh jalan elegan saat berbeda pendapat, dan (4) Jikapun tidak bisa mencapai kata sepakat, junjung tinggilah norma yang berlaku dimasyarakat.



Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman

“SS-Pro™ Office Communication Strategy” Learning Facilitator

http://www.dadangka darusman. com/



Catatan Kaki:

Kualitas diri seseorang tidaklah semata-mata dinilai dari kecanggihan hasil pemikirannya. Melainkan juga, melalui cara dia menyampaikannya.



Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul ”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan perkenalkan diri disertai dengan alamat email kantor dan email pribadi (yahoo atau gmail) lalu kirim ke bukudadang@yahoo. com

2009/12/29

7 Habits of Highly Effective People

Tanggal 27 Desember 2009, saya dan beberapa rekan dari CC Infomedia Bandung mendapatkan kesempatan besar untuk berpartisipasi dalam sharing session dengan ibu Riri Amalas Yulita -inisial R.A.Y- (Trainer dari ‘G Brain’ yang juga General Manager di PT.Telkomsel). Tema besar yang disampaikan oleh bu Riri adalah to be a quaLity people.



Untuk menjadi seorang pribadi yang berkualitas yang memiliki ‘value’ perlu meniru langkah dan kebiasaan dari orang-orang yang efektif. Dalam konteks inilah bu Riri menjelaskan 7 Habits-nya Stephen R. Covey. Buku motivasi bestseller tersebut berhasil dirangkum secara ringan dan undertandable easily oleh trainer. Sehingga saya yang pernah membaca buku tersebut sekitar 5 tahun yang lalu pun merasa mendapatkan pemahaman yang lebih segar dan sangat aplikatif di lingkungan kerja. Mendapatkan penjelasan dari trainer dengan konteks lingkungan kerja saya (pelayanan pelanggan), saya merasa belum membaca buku tersebut sepenuhnya. Dengan pengalaman belasan tahun jadi manager di dunia customer service, bu Riri sharing kepada kami bagaimana mengelola team dengan konsep win-win yang efektif, disertai habit-habit efektif yang lainnya.



Sesungguhnya ada banyak pengalaman trainer yang kami terima pada kesempatan tersebut. Berhubung apa yang disampaikan oleh bu Riri adalah adaptasi buku "The Seven Habits of Highly Effective People" dicampur dengan pengalaman beliau, maka pada kesempatan ini saya sarikan isi buku tersebut secara singkat:



Dipublikasikan pada tahun 1989. Buku ini termasuk best seller dan telah diterjemahkan ke 38 bahasa.
Buku ini berisi prinsip, yang bila diterapkan sebagai kebiasaan hidup, akan menuntun seseorang mencapai efektivitas sejati. Setiap kebiasaan dibahas dalam bab tersendiri dengan inti-inti sebagai berikut :


1 . Be Proactive (Bersikap Proaktif).
Dalam menghadapi suatu masalah, kita bisa memilih untuk bersikap a) reaktif atau b) proaktif. Bila kita cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan yang sulit, maka kita bersikap reaktif. Sementara proaktif adalah sikap bertanggung jawab atas setiap aspek dalam kehidupan kita, yang selanjutnya membuat kita mengambil inisiatif dan tindakan. Intinya, dengan bersikap proaktif, kita tidak membiarkan diri kita terhanyut oleh keadaan, tetapi justru kita yang berusaha mengendalikan keadaan. Dalam konsep "stimulus dan respons", keadaan adalah stimulus yang tidak dapat dikendalikan, tetapi manusia mempunyai daya untuk memilih respons apa yang akan dia ambil.


2. Begin with the End In Mind (Memulai dengan Tujuan di Pikiran).
Banyak orang memiliki cita-cita, tetapi sedikit yang mampu membayangkan (memvisualisasikan) dan menuangkan visi hidupnya itu dalam suatu pernyataan. Dengan membuat "Pernyataan Misi Pribadi", kita dibantu untuk berkonsentrasi dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan dihadapi sebelum kita bertindak.


3. Put First Things First (Dahulukan Yang Utama).
Kita harus mempunyai skala prioritas untuk tujuan-tujuan jangka pendek, dengan tidak melupakan tugas-tugas yang walaupun terlihat tidak mendesak tetapi ternyata penting. Dengan sempitnya waktu, seorang pemimpin harus mampu mendelegasikan sebagian tugasnya. Pendelegasian tersebut akan efektif bila sejak awal ada kesepakatan hasil yang ingin dituju, jadi bukan semata rincian rencana kerja dari atas.
Kebiasaan 1- 3 merupakan kebiasaan yang berhubungan dengan diri sendiri untuk membangun karakter pribadi.


4. Think Win/Win (Berpikir Menang-Menang)
Bila kita terbiasa memikirkan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi kedua belah pihak, maka kita dapat meningkatkan hubungan kerjasama yang lebih efektif dalam mencapai tujuan.


5. Seek First to Understand, Then to be Understood (Mengerti Dulu, Baru Dimengerti).
Bila kita memberi suatu nasehat tanpa berempati atau tanpa memahami situasi orang tersebut, maka kemungkinan besar nasehat tersebut akan ditolak atau tidak berguna. Maka biasakan untuk "paham dulu baru bicara" agar komunikasi berjalan dengan efektif.


6. Synergize (Sinergi)
Berusahalah untuk mencapai sinergi positif bila bekerja dalam team. Intisarinya adalah perbedaan nilai-nilai yang ada harus a) dihormati, b) dibangun kekuatannya, dan c) dikompensasi kelemahannya. Galilah potensi dan kontribusi setiap anggota team. Jika sinergi dapat dicapai, maka hasil satu team lebih besar daripada hasil anggota bila bekerja sendiri-sendiri. 

Kebiasaan 4,5,6 berhubungan dengan publik, yang diwujudkan dengan menguasai komunikasi dan kerjasama yang efektif dengan orang lain.

7. Sharpen the saw (Pertajam Gergaji)
Kebiasaan ini berfokus pada pembaharuan diri secara mental, fisik, emosional/sosial dan spiritual yang seimbang. Untuk dapat terus produktif, seseorang juga harus menyegarkan dirinya dengan memiliki aktivitas-aktivitas rekreasi.