"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2011/10/29

Masalah Bukan Untuk Dipecahkan


Saya yakin sebelum Anda semua membaca tulisan ini hingga tuntas, atau hanya membaca judulnya saja, pasti sudah mulai dengan penyangkalan. Kemudian Anda akan mengajukan pertanyaan berikut: Lalu, diapain dong masalahnya? Mau dibiarin aja. Bukan, bukan itu maksud saya membuat tulisan singkat ini. Saya tidak akan memprovokasi Anda untuk lari dari masalah. 

Membuat tulisan singkat dengan judul seperti di atas, hanya sebagai tinjauan dari makna kata penyusun judul tulisan ini saja. Meski mungkin sedikit berbeda dengan pemahaman para penyusun KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Setidaknya perlu saya sampaikan, it’s only my opinion. Bebas saja, kalau Anda pun tidak sependapatJ

Berikut ini uraian saya. Kita sudah sekian lama menggunakan kata yang menurut saya sangat tidak tepat terhadap masalah. Betapa sering kita temukan, baik dalam tulisan maupun ujaran, para pemimpin, guru, atasan, teman, bahkan mungkin kita sendiri menggunakan ungkapan berikut: ‘Ayo kita pikirkan pemecahan masalahnya.’ Atau ‘Mari kita segera pecahkan masalahnya’, atau ‘Masalah ini harus segera dipecahkan’, dan atau ungkapan-ungkapan lain yang hampir sama. Sekilas, ungkapan ini tidak terlihat bermasalah sama sekali bukan? Ya, kalau tidak teliti.

Lalu, dimana problem-nya? Problemnya terletak di kata ‘pemecahan’. Lho, ko bisa? Sederhana saja penjelasannya. ‘Pemecahan’ berasal dari kata pecah. Pecah menurut KBBI Edisi Ketiga terbitan Balai pustaka adalah: (1). Terbelah menjadi beberapa bagian. (2). Retak atau rekah. (3) rusak atau belah kulitnya. (4) menjadi cair atau bergumpal-gumpal (santan ,susu atau air). (5). Bercerai berai. Dst yang semakna dengan 5 hal tersebut. Dan ‘pemecahan’ atau ‘memecahkan’ adalah kata kerja bentukan dari kata ‘pecah’ tersebut  (morfologi).

Dengan makna kata ‘pecah’ seperti di atas, apakah masih tepat jika kita gunakan bentuk-bentuk pengungkapan berikut ini:  ‘Ayo kita pikirkan pemecahan masalahnya.’ Atau ‘Mari kita segera pecahkan masalahnya’, atau ‘Masalah ini harus segera dipecahkan’.

Jika demikian menurut penulis, maka seperti apa dong pengungkapan yang lebih tepat? Saya propose ungkapan berikut ini: ‘Masalah ini harus diselesaikan’, atau ‘Masalah ini perlu segera dicarikan jalan keluarnya, atau ‘Masalah ini segera perlu diatasi.

Ya, karena masalah memang untuk diatasi, diselesaikan, dan dicarikan jalan keluarnya, bukan untuk dipecahkan! Kalau dipecahkan hanya akan membuat masalah lebih besar, lebih luas, menjadi rusak, melebar kemana-mana dan akan sulit untuk dikendalikan. 

Boleh sependapat atau tidak. Bebas bebas saja. Kalau sependapat, yuk kita mulai ganti bentuk pengungkapan kalimat tersebut dan mari kita broadcast seluas-luasnya. Terimakasih.

Bandung, 29 Oktober 2011. 16:32

2011/10/26

BTS Telkomsel dan Perubahan Nasib Nelayan


Hari ini saya berekesempatan mengikuti seminar sehari di hotel bersejarah di kota Bandung, Savoy Homann, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Perkembangan Telekomunikasi di Indonesia. Cukup banyak wawasan baru yang saya dapat. Namun di tulisan ini saya tidak bermaksud mengulas tentan hotel yg bersejarah tersebut, tidak juga tentang pengelolaan keuangan daerah-nya. Yang menarik perhatian saya adalah tentang perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Bagian yang terakhir. 
 
Tampil beberapa pembicara, dan terakhir ditutup oleh pemaparan pak Kamilov Sagala, mantan committee BRTI (Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia), yang kini menjadi Komisioner di Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Beliau mulai dengan slide pengantar tentang statistik dari jumlah pengguna alat komunikasi bergerak di Indonesia.  Pengantar yang cukup singkat. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang sangat menarik, dan tidak lagi singkat. Memancing keinginan peserta untuk banyak bertanya dan juga bernyata. Selain karena pengalaman pembicara terhadap apa yang disampaikannya sangat kaya, juga karena antusiasme peserta seminar membahas tentang hal yang lagi ramai dibicarakan oleh masyarakat konsumen seluar Indonesia saat ini, yaitu ‘kisruh pencurian pulsa’ oleh CP (content provider) nakal. 

Sebenarnya sangat menarik jika saya mengulas tentang pencurian pulsa tersebut pada tulisan singkat ini. Namun, bukan itu maksud saya menulis kali ini. 

Saya terkesan pada satu cerita yang disampaikan oleh pak Kamilov Sagala, tentang bagaimana berubahnya taraf hidup nelayan menuju ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik karena pemanfaatan teknologi telekomunikasi. Menjadi lebih menarik perhatian, karena saya juga kebetulan lahir di sebuah desa nelayan. Jadi secara emosi kena.:) 

Alkisah, di sebuah kampung nelayan di Sulawesi Selatan (pak Kamilov tidak menyebutkan lokasi detailnya). Kira-kira lokasinya berjam-jam (bisa sampai satu hari) menggunakan kapal boat ke Makasar. Hasil tangkapan ikan oleh nelayan di kampung tersebut cukup baik. Namun selama puluhan tahun nasib mereka tidak lebih baik dari sebelumnya karena punya kendala dalam pemasaran ikannya.  Walaupun hasil tangkapan bagus, kalau tidak laku terjual ya susah juga. Untuk menjual ikan-ikan tersebut mereka harus membawanya ke tauke-tauke di Makasar.  Menempuh perjalanan yang tidak sebentar.

Karena perjalanan yang cukup jauh, dan calon pembeli juga belum pasti. Maka hasil yang mereka dapatkan sangat tidak maksimal. Karena kondisinya, seperti penjual lebih butuh, maka para juragan ikan di kota itu bisa menekan harga semaunya. Hasilnya ya paling cukup untuk makan dan biaya operasional melaut lagi. Seperti itulah keadaan para nelayan di sana selama bertahun-tahun.

Sampai akhirnya, Telkomsel mendirikan BTS di sana. saya perlu menyebut nama perusahaan ini karena bentuk appresiasi kita juga untuk Telkomsel yang sangat committed untuk terus memperluas network coverage-nya sampai ke pelosok nusantara.  Demikianlah, Telkomsel memperluas jaringannya sampai ke desa tersebut. Seiring dengan waktu, maka mulailah penduduk desa nelayan itu akrab menggunakan ponsel. Benda yang mungkin sebelumnya hanya mereka lihat di layar-layar televise lewat antenna parabola. 

Dengan lancarnya telekomunikasi, maka para nelayan ‘pasang strategi’ dalam pemasaran ikannya. Mereka sengaja tidak mengirim sendiri hasil tangkapannya ke Makasar. Melainkan, mereka menelpon tauke-tauke di Makasar, dan menyebutkan bahwa mereka punya kendala jika harus membawanya sendiri. Jika berminat membeli, mereka mempersilakan para tauke itu menjemput langsung ke desa mereka. Itu mereka lakukan bersama. Mungkin semacam komitmen sesama nelayan disana. Cerdik juga.

Karena supply berkurang di Makasar, tentu saja para tauke tidak bisa melayani demand calon pembeli. Mau tidak mau, para tauke harus menjemput sendiri dengan kapalnya ke kampung nelayan tersebut. Di sana para nelayan bisa lebih leluasa menentukan harga yang lebih pantas. Dari sisi tauke pun sebenarnya tidak masalah juga. Toh mereka juga bisa membuat harga yang pantas juga untuk dijual ke pembeli di kota.

Dengan kondisi demikian, nelayan bisa lebih untung. Tauke juga tetap bisa untung. Telkomsel pun untung. Investasi di awal, selanjutnya bisa profit juga seiring dengan semakin tingginya penggunaan pulsa di sana.

Semoga saja fenomena di kampung nelayan di Sulawesi itu hanyalah salah satu contoh saja dari banyaknya kejadian serupa di tempat lain. Dan kita bisa berharap, kegiatan ekonomi masyarakat di tempat-tempat terpencil bisa bangkit dan semakin dekatnya kita ke kesejahteraan. Amiin. 

*Bandung 26 Oktober 2011. 19:54:00

2011/10/21

Siapa Menabur akan Menuai

Hukum alam itu sederhana,
Siapa menabur akan menuai,
Siapa lebih tekun dan gigih berusaha,
mereka yang akan meraih keberhasilan.
Siapa yang lebih cerdas dan berani bertanding,
mereka yang akan meraih kemenangan.

Sayangnya,
Banyak orang mengingkari hukum ini.
Mereka berharap emas jatuh ke pangkuan begitu saja.
Padahal tiada imbalan yang dapat diraih tanpa usaha.

Tetap lakukan usaha dengan ketekunan,
Perkuat dengan keyakinan keimanan dan doa,
Karena keyakinan memperkaya batin kita (ikhtiar batin)
Sedangkan usaha memperkaya tangan kita (ikhtiar lahiriah).
Selamat berkarya.


*dari catatan mas Eko Jalu Santoso