"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2012/09/26

Telaga Hati vs Garam Kehidupan


Seorang pemuda yang tampak sedang gundah gulana duduk termenung di sudut pasar kampung itu. Seseorang yang memperhatikannya dari tadi mendekati dan bertanya, ‘Ada masalah apa kiranya dek, hingga terlihat sangat muram begitu?’.

Karena tidak merasa akan ada orang yang memperhatikan dan bertanya kepada dirinya, si pemuda tampak sedikit terkejut. Dia melihat sosok yang bertanya tadi,  ternyata seorang pria tua yang tampak dari gayanya adalah seorang musafir yang kebetulan berhenti di pasar tersebut.

‘Ah bapak, kaget saya pak’ kata si pemuda. ‘Iya pak, saya sedang menghadapi masalah yang cukup pelik pak, berat sekali rasanya’ lanjutnya. ‘Emang kenapa?’ Tanya pak tua tersebut. ‘Rumit dan berat pak masalah  saya’.  dan terimakasih banget kalo bapak bersedia mendengar curhat saya pak’, timpal si pemuda.  Belum sempat si pak tua mengiyakan atau menidakkan kesediaannya untuk mendengar cerita si pemuda tersebut, langsung saja si pemuda mengadukan masalahnya.

‘Oops, tunggu dulu dek’, kata si pak tua. ‘Mohon maaf sekali, bukannya bapak tidak mau mendengar, tapi bapak ingin segera melanjutkan perjalanan pulang ke rumah karena sebentar lagi senja menjelang. Sekedar titip pesan saja, jika masalah adek masih belum selesai hingga esok pagi, bapak bisa sarankan adek untuk  menemui seseorang di puncak bukit kedua ke arah Barat kampung ini. Siapa tahu ada seseorang yang bisa membantu adek di sana’, jelas si pak tua.

Keesokannya, ternyata si pemuda  masih risau dan galau juga akan masalah yang dihadapinya. Ingat pesan si pak tua kemarinnya, maka ia putuskan untuk berangkat ke puncak bukit yang diarahkan oleh si pak tua tersebut. Berangkatlah si pemuda naik bukit, dengan harapan masalahnya bisa diselesaikan.

Bayang-bayang pohon berada persis di bawahnya barulah sampai si pemuda tersebut di puncak bukit. Sayup-sayup adzan Dzuhur terdengar dari mushola kampung bawah. Ditemuinya ada sebuah pondok kecil nan asri bertengger tepat membelakangi pinggir telaga tenang di puncak bukit tersebut.

Dihampirinya pondok nan asri itu, tidak terlihat tanda-tanda ada penghuninya. Sempat terpikirkan oleh si pemuda mungkin saja tidak ada penghuninya, tapi pondoknya terlihat sangat bersih dan terawat. Sedang asyik mengamati pondok, si pemuda terkaget bukan kepalang karena ada yang menyentuh pundaknya dari arah belakang. Begitu menoleh ke belakang, ternyata sosok yang mengagetkannya itu tidak lain tidak bukan adalah pak tua yang ditemuinya di pasar kemarinnya. Ya, pak tua tersebut memang pemilik pondok asri di bukit nan hijau itu. Pak tua baru saja mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Dzuhur.  

‘Akhirnya kamu datang juga’, kata si pak tua. ‘Iya pak, saya minta bantuan agar saya tetap tenang menghadapi semua masalah pak’ kata si pemuda setengah merengek cengeng.

Karena pak tua bertindak sebagai tuan rumah, ia mempersilakan si pemuda masuk pondoknya. Mereka sholat berjamaah. Selesai sholat, pak tua menyiapkan 2 buah gelas kosong.

Pas banget, saya memang sangat haus’, si pemuda berbisik sendiri melihat pak tua menyiapkan gelas tersebut. Sesaat kemudian pak tua mengambil teko berisi air dan sebuah guci tanah liat tempat menyimpan semacam butiran putih. ‘Mungkin isinya gula pasir,’ pikir si pemuda. 

Pak tua menuangkan air ke satu gelas hingga penuh, dan langsung meminumnya. Dan mempersilakan si pemuda juga untuk menuangkan air minum untuk dirinya sendiri. Setelah si pemuda mendapatkan gelasnya penuh terisi air, dan segera siap melenyapkan rasa dahaganya di siang  yang cerah itu. Namun, belum juga tangannya setinggi dada dengan mendekatkan gelas ke mulutnya. si pak tua menyuruhnya berhenti. 

Tahan dulu dek, ini ada bubuk bagus untukmu’, lalu si pak tua merogoh isi guci tanah liat yang dibawanya tadi dan mengeluarkan tangannya dengan genggaman penuh bubuk putih.’ Kemudian dimasukkannya ke dalam gelas si pemuda, diaduknya sebentar dengan sendok batang kelapa yang memang dari tadi ada di tatakan dekat mereka duduk lesehan di pondok itu. ‘Silakan diminum dek,’ pintanya ke si pemuda.

Dan, byyuuuurrr, si pemuda refleks menyemburkan minumannya, karena merasakan rasa aneh, asin sangat dan campur pahit di minuman dengan bubuk putih itu. ‘Apa ini pak?’ sergap si pemuda ke pak tua. Dengan tenangnya pak tua menjawab, ‘Segelas air dengan segenggam garam!’.

Ya Tuhan, ini bapak tega sekali kasih saya minum air segelas dengan segenggam garam begitu’, keluh si pemuda’.  Tanya pak tua, ‘Gimana rasanya dek?’. ‘Ya pake tanya-tanya lagi, bukannya minta maaf’, pemuda memberondong pak tua dengan omelannya. ‘Jelas-jelas asin campur pait banget’, omelannya dalam hati’.

Tidak selesai di situ, pak tua tampaknya memberikan suatu pelajaran yang bernilai buat si pemuda. Disuruhnya pemuda ke belakang pondok untuk mengambil beberapa karung garam yang tersusun di kolong pondok, dan memintanya menuangkan garam-garam itu ke dalam telaga yang memang berada di belakang pondok. Setelah itu disuruhnya pemuda mengaduk-aduk telaga yang cukup luas itu dengan pengayuh perahu yang tertancap di pinggir telaga jernih tersebut.

Setelah merasa cukup teraduk, pak tua meminta si pemuda mengambil air telaga itu segelas penuh, dan menyilakan pemuda untuk meminumnya. ‘Wooww segeeer sekali pak, rasanya dingin menenangkan, sangat alami, tidak terasa asin sedikitpun’ kata si pemuda.

‘Nah demikianlah pelajaran kehidupan untuk mu di siang ini dek’, kata pak tua. ‘Garam itu adalah masalah kehidupan, dan wadah itu adalah luasnya hatimu, sementara airnya adalah keadaan keseharianmu. Ketika masalah kehidupanmu hanya segenggam, tapi kau simpan dalam hati yang hanya seluas gelas, maka rasanya sangat asin dan campur pahit. Tapi kalaupun ‘garam’ atau masalah kehidupanmu berkarung-karung, tapi kau bisa menyiapkan hatimu seluas telaga atau lebih untuk menampung masalah itu maka air kehidupanmu tetap saja terasa jernih dan enak.’

‘Kini kembalilah ke kampung mu, ke kehidupan nyata mu, biarlah berkarung-karung garam kehidupan itu datang, kau akan tetap bisa menikmati air kehidupanmu dengan enak karena keluasan wadah hatimu. jadi bukan banyak garamnya yang jadi masalah, tapi keluasan hati kitalah yang jauh lebih penting. Sementara itu saja dulu bekal dariku’, tutup pak tua di penjelasannya yang sangat filosofis itu.

Si pemuda pun turun bukit dan kembali ke kampungnya. Sejak itu si pemuda berubah menjadi pemuda yang periang, selalu semangat dan penuh percaya diri dalam mengarungi kehidupannya.
***

Semoga kisah penuh hikmah ini dapat menginspirasi kita untuk bisa memiliki keluasan telaga hati tak berbatas. Semoga Allah menguatkan. Aamiin.
Jakarta, Sept 26, 2012.
Picture is powered by google

2012/09/19

Seindah Sahabat Mencintai Rasulullah: Detik Terakhir

Genderang perang sebentar lagi ditabuh. Badar tak lama lagi akan berkecamuk. Sang Rasul, bergegas menyiapkan pasukan kaum muslimin. Inspeksi pun dimulai. Sambil memegang sebuah anak panah, panglima kaum muslimin itu pun memeriksa pasukan, satu persatu.

Tibalah beliau di hadapan Sawwad bin Ghazyah. Posisi tubuhnya agak melenceng dari barisan. Dia tidak berbaris rapi. “Luruskan barisanmu, wahai Sawwad!” Hardik Rasul sambil memecutkan anak panah di genggamannya ke perut Sawwad.

“Wahai Rasulullah!” sergah Sawwad, “Engkau telah membuat perutku kesakitan,” akunya “Dan bukankah Allah telah mengutusmu dengan kebenaran dan keadilan. Biarkan aku membalasmu.” pinta Sawwad kepada Rasul. Sontak, semua sahabat yang mendengar ucapan Sawwad ini terkaget. Selancang inikah Sawwad kepada Rasul yang mereka cintai?

Tapi Rasul tak berpikir panjang. Beliau singkapkan bagian pakaiannya. Tampak putih kulit perutnya.     “Silakan, balaslah!” tegas sang Rasul mempersilakan Sawwad membalas pukulan ke perutnya.

Hati para sahabat berdebar-debar. Pikiran mereka disesaki seribu tanya. Sedemikian nekadnya kah Sawwad? Apa yang ia pikirkan hingga ingin melakukan perbuatan terkutuk itu? Bukankah Rasul adalah komandannya dan pemimpin mereka di medan tempur? Dan bukankah pukulan ke perutnya itu adalah ganjaran atas ulah kecerobohannya? Ah, mana mungkin kekasih pilihan mereka ini akan disakiti. Hati mereka seakan berontak. Tapi apa daya, Sang Rasul telah mengambil putusan. Dan Sawwad pun sedang mengambil ancang-ancang.

Saat pikiran para sahabat mulia itu masih berkecamuk dengan sejuta tanya. Secepat kilat Sawwad menyergap perut Sang Rasul. Dipeluknya tubuh manusia termulia itu. Diciumnya halus kulit Hamba dan utusan Allah yang dia cintai. Beraur haru, para sahabat semakin terheran.

“Apa yang mendorongmu melakukan hal seperti ini, hai Sawwad!” tanya Rasul setelah beliau menyaksikan apa yang dilakukan Sawwad.
“Wahai Rasulullah!” Jawab Sawwad, “Engkau telah menyaksikan apa yang kau lihat. Aku ingin di detik terakhirku membersamaimu, kulitku bisa menyentuh kulit (tubuhmu).” aku Sawwad blakblakan namun penuh ketulusan.

Para sahabat terharu. Mereka baru mengerti apa yang diinginkan Sawwad. Maka mengalirlah do’a-do’a Rasulullah untuk keberkahan sahabatnya yang unik ini. Tanpa terasa, apa yang dilakukan Sawwad telah menyirami komitmen mereka untuk mencintai rasul-Nya. Seperti inilah para sahabat mencintai Rasulullah. Adakah kita mencintainya setulus sahabat mencintainya?

Kisah ini bersumber dari atsar yang diriwayatkan Ishak dari Ibnu Hibban dari Was’i dari para syekh kaumnya. Dan dinukil Syekh Walid al ‘Adzami dalam bukunya Ar Rasuul Fii Quluubi ash haabihii yang diterjemahkan (dengan sedikit tambahan redaksional) oleh Ufuk Islam. Beberapa referensi yang bisa dijadikan rujukan tentang kisah ini: Sirah Ibnu Hisyam (jilid 2 halaman 279-280), Tarikh At Thabari (3/1319), Al Isti’ab (2/673) dan beberapa referensi lainnya.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/18334/seindah-sahabat-mencintai-rasulullah-detik-terakhir/#ixzz26u6Hz0Ip
 dari milist PKPU

Mari Bercerita untuk Anak Kita

Saya punya seorang paman, kami menyebutnya Oom. Adik dari ibu. Semasa kecil saya pernah punya kenangan indah dengan beliau. Waktu itu saya masih TK, bayangan samar-samar kejadian itu masih membekas hingga sekarang.
Oom kami adalah seorang lelaki yang rajin bercerita. Berbeda dengan bapak dan ibu. Saya ingat, hampir setiap hari selalu saja ada deretan cerita yang mengalir dari bibirnya. Entah cerita dongeng, cerita rakyat atau cerita sahabat nabi. Caranya bercerita sederhana, tidak seperti pendongeng yang terkenal. Tapi bagi saya yang masih kanak-kanak, itu adalah sebuah kenangan yang membekas hingga kini.
Jaman kemudian berubah, terpaan teknologi bagai badai padang pasir. Begitu deras dan masuk ke rumah-rumah kita. Anak-anak tak lagi nyaman duduk di pangkuan orang tuanya karena toh ada banyak hal yang bisa membuat mereka duduk tenang di depan kotak bernama televisi. Film kartun, film dari DVD, games dari playstation atau bahkan sinetron yang belum tepat untuk mereka. Semua jadi pengganti untuk sesuatu yang dulu bernama “keintiman”
Orang tuapun sama. Waktu menjadi sesuatu yang sangat berharga, berharga dalam artian yang berbeda. Berharga karena dinilai dengan uang. Setiap detik adalah uang. Setiap menit adalah rupiah. Orang tua kemudian lebih memilih meluangkan banyak waktu mereka untuk bekerja menggenapkan pundi-pundi rupiah, ketika ada waktu yang tersisa mereka tak akan melewatkannya begitu saja. Istirahat adalah pilihan. ?Toh, anak-anak juga sudah asyik dengan dunia mereka.
Sekitar seminggu yang lalu saya mendapat email dengan judul Surat Dari Takita. Surat ini mugkin hanya surat rekaan, tapi makna yang ada dalam surat ini sungguh dalam. Surat yang menyiratkan keinginan seorang bocah untuk mendengar cerita dari orang tuanya. Tak perlu cerita dongeng, karena intinya memang bukan itu. Cerita apa saja yang dilontarkan orang tuanya adalah sebuah hal yang sangat bermakna untuk sang anak.
Berikut saya salinkan surat dari Takita.
Selamat pagi bunda! Selamat pagi ayah! Selamat pagi kakak semua!
Takita ingin cerita ke ayah, bunda dan kakak semuanya. Ehm sebenarnya sih surat dari Takita sudah diperbaiki oleh kakak-kakak dari Indonesia Bercerita. Jadi bagus hihi. Tapi sama saja kok maksudnya
Takita punya mimpi, kita bisa mendengar ayah bunda bercerita setiap masuk rumah dimana pun di Indonesia. Ada teriakan dan tawa anak-anak. Kita bisa mendengar suara keras ayah yang pura-pura jadi jagoan. Kita bisa mendengar suara lembut bunda yang pura-pura jadi ibu suri
Takita percaya, keluarga yang penuh kasih sayang itu membuat kami bisa belajar dengan senang. Takita percaya kasih sayang itu ada ketika ayah bunda bercerita. Itu tandanya ayah bunda perhatian pada kami. Takita juga suka bercerita. Takita senang kalau ayah bunda mendengarkan.
Mengapa suka bercerita? Takita suka sekali mendengar cerita dari ayah bunda. Takita jadi tahu banyak cerita. Ada yang menakutkan. Ada yang menyenangkan. Ada petualangan seru.
Dari cerita ayah bunda, Takita belajar kata-kata baru. Ketika ayah bunda bercerita, Takita sering bingung maksudnya. Takita tahu sih kadang mereka gemes. Ayah bunda menjelaskan dengan sabar ke Takita.
Dari cerita ayah bunda, Takita jadi tahu banyak kesulitan. Ketika ayah bercerita Kambing Hitam Putih, Takita jadi tahu sedihnya Hita. Iya Hita sedih karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Takita tahu bagaimana caranya Hita akhirnya bisa bersahabat baik dengan Pito. Mungkin Takita hanya paham sedikit, tapi Takita belajar dari cerita ayah bunda.
Ayah bunda pernah cerita ke Takita, banyak anak yang tidak pernah mendengar ayah bundanya bercerita. Mungkin mereka sibuk bekerja. Tapi Takita jadi sedih. Takita sedih, bagaimana kalau teman-teman Takita juga seperti itu. Takita tidak mau itu terjadi. Takita ingin teman Takita bisa mendengar ayah bundanya bercerita.?
Ayah bunda, kakak semua, itulah mimpi Takita. Kita semua senang bercerita. Takita ingin sekali mimpi ini jadi kenyataan. Takita percaya ayah bunda menyayangi kami. Takita percaya banyak kakak yang peduli pada kami, anak Indonesia.
Takita mengajak ayah, bunda dan kakak semua. Kita ajak semua orang. Iya semuanya. Kita ajak agar mereka juga senang bercerita, seperti kita. Takita tidak bisa sendiri. Takita takut kalau sendiri. Ayah bunda dan kakak semua mau kan menemani Takita?! Terima kasih ayah. Terima kasih bunda. Terima kasih kakak semua
Ayah bunda dan kakak semua, begitu dulu ya cerita Takita. Takita sudah cerewet banget. Takita tahu harus cerewet. Biar mimpi Takita bisa jadi kenyataan. Maafkan kecerewetan Takita
Salam Ceria
Takita
Surat yang menyentuh bukan? Bayangkan bila seorang anak kecil dengan mata yang jernih tanpa dosa membaca surat seperti itu di depan anda. Saya yakin manusia manapun akan tersentuh. Dan saya yakin mimpi Takita adalah mimpi yang bisa jadi kenyataan.
Mari mendukung Takita untuk mewujudkan mimpinya. Mari mengajak para orang tua untuk semangat bercerita kepada anak-anak mereka, membangun keakraban yang selama ini mungkin tergantikan oleh televisi dan kesibukan.
Kita sama-sama punya mimpi untuk Indonesia yang lebih baik bukan? Mari mulai dari yang paling mudah. Bercerita untuk anak kita.
Keterangan:

Ingin berjumpa Takita? Like di http://Facebook.com/BonekaTakita

Ingin mendengar suara Takita? Klik di http://IndonesiaBercerita.org