Udara pagi masih terasa segar ketika aku menaiki bus menuju kantor, meski mataku sedikit berat karena kurang tidur. Angin lembut meniup wajahku, menyingkap sedikit masker yang kugunakan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang kutempuh belakangan ini. Aku duduk di dekat jendela, menatap langit yang perlahan berubah warna, bersiap menyambut bos besar dari Singapura yang akan datang siang ini. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, tapi pikiranku sesekali melayang pada undangan Freeman untuk barbeque akhir pekan nanti.
Seiring bus melaju, pikiranku semakin
dipenuhi rencana-rencana kantor. Pesawat yang ditumpangi bos dijadwalkan
mendarat menjelang sore, dan tim sudah mengatur semuanya—dari jemputan bandara
ke hotel, hingga memastikan bos bisa istirahat malam ini, menghilangkan jejak
lelah akibat penerbangan panjang. Aku sedikit lega, malam ini tak ada agenda
yang perlu disiapkan, hanya waktu untuk bersiap menghadapi pertemuan esok hari.
Tengah hari nanti, seperti biasa, aku
berencana makan di stand makanan halal. Stand yang selalu menjadi tempat
peristirahatan singkat di tengah hari-hariku yang sibuk. Aku teringat wajah
ramah Halime, penjaga stand yang kukenal baik. Setiap kali, percakapan ringan
kami selalu menyenangkan, terutama saat kami berbicara tentang Turki dan serial
Dirilis Ertugrul. “Apa kabar bang Ertugrul?” gurauku, mengingat karakter
legendaris itu. Halime tertawa dan menggelengkan kepala, “Pak Feri ternyata
juga nonton ya?”
Aku tersenyum, mengangguk. Serial Turki yang
penuh kisah heroik dan sejarah itu telah mengikat banyak hati, termasuk hatiku.
Entah mengapa, selalu ada kesan mendalam ketika berbicara tentang para pahlawan
masa lalu, yang seolah membawa kita menyusuri lorong waktu menuju kejayaan
Islam di masa lampau. Halime tampak terkejut mengetahui aku mengikuti serial
itu, mungkin karena kami jarang berbicara tentang hal-hal pribadi.
Di stand makanan halal, tak hanya muslim yang
menjadi pelanggan. Yahudi yang menghindari babi dan alkohol, serta teman-teman
vegetarian dari India, semuanya berkumpul di sini. Makanan halal menjadi
jembatan yang menghubungkan berbagai keyakinan, di tengah hiruk-pikuk kota ini.
Harmoni yang terjalin begitu indah dalam sebuah tempat kecil, di mana perbedaan
menjadi kekayaan, bukan batas.
Zuhur selesai, aku menuju stand itu lagi.
Makanan yang kusediakan menjadi lebih dari sekadar pengisi perut; itu adalah
bagian dari rutinitasku, sebuah pengingat akan identitas yang kugenggam erat,
meskipun jauh dari rumah. Sore ini, aku harus pulang lebih cepat. Ada tamu
istimewa yang akan datang ke rumah: keluarga Ustadz Rahman, yang sudah
mengundang keakraban meski baru beberapa pekan kami saling mengenal.
Rasanya luar biasa bisa menemukan seseorang
seperti Ustadz Rahman di tanah yang jauh ini. Bukan hanya sebagai seorang
pembimbing spiritual, tapi juga sebagai sahabat dalam makna yang lebih dalam.
Hubungan yang dibangun atas dasar kalimat tauhid membuat kehadiran mereka
terasa seperti keluarga, meski sebenarnya kami baru saling mengenal. Sore
nanti, rumahku akan disinari oleh obrolan hangat dan cerita penuh hikmah dari
beliau.
Aku bergegas pulang, meninggalkan kesibukan
kantor dengan perasaan ringan. Sore ini, ketika Ustadz Rahman dan keluarganya
datang, aku tahu kami akan berbagi cerita yang tak hanya sekadar obrolan biasa.
Seperti pertemuan sebelumnya, pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik
kata-kata beliau yang penuh makna, yang selalu membawa kedamaian dalam hati.
Hujan mulai turun perlahan saat aku hampir
sampai di rumah. Setiap tetesnya terasa seperti doa yang jatuh dari langit,
menyejukkan hati dan pikiran. Aku menanti pertemuan ini dengan penuh harap,
berharap mendapatkan cahaya baru dari perbincangan kami nanti. Dalam
keheningan, ada ketenangan yang muncul ketika aku membayangkan kehangatan yang akan
dibawa Ustadz Rahman ke dalam rumahku.
Malam mulai turun ketika keluarga Ustadz
Rahman tiba di rumahku. Wajah beliau menyambut dengan senyum penuh kearifan,
mengingatkanku akan perjalanan panjang yang telah ditempuhnya sebagai seorang
pengembara di jalan Allah. Kami duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan
di negeri yang jauh ini, tentang tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai
seorang muslim di tanah yang penuh dengan kebebasan.
Aku merasa bersyukur, bisa dikelilingi oleh
orang-orang yang tidak hanya memahami agamaku, tapi juga menguatkan imanku.
Kehadiran mereka memberiku rasa tenang, seolah dunia ini tidak terlalu asing,
meskipun kami berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Dalam
kebersamaan ini, aku merasa tidak sendirian, seolah Allah selalu mengirimkan
orang-orang baik untuk menemani perjalananku.
Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin
hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun
penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku.
Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang
agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Nanti,
setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan
kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan
dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran
baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam.
Di meja makan, isteriku menyajikan rendang, menu andalannya setiap kali kami
menjamu tamu. Bumbu Minang yang pekat dan kaya rempah itu, setiap suapannya
selalu mengundang rasa syukur, membuat siapa pun yang menikmatinya merasakan
kenikmatan citarasa nusantara yang khas. Ada sejumput kerinduan pada kampung
halaman dalam setiap rasa, seolah setiap gigitan mengajak kami pulang ke akar
budaya, ke tanah kelahiran yang selalu dirindukan.