"Mulai dengan Bismillah, Luruskan Niat. Allah Maha Melihat!"


2024/09/30

Cerbung bagian VIII: Rahasia Freeman dan Keluarga Stark

Indahnya sore itu mulai terasa sejak kami tiba di rumah Freeman. Undangan yang sempat membuatku ragu, kini menjelma menjadi pertemuan yang tak terduga. Rumah besar bergaya kolonial di pinggir kota tampak hidup, seakan menyimpan cerita-cerita lama di balik setiap sudutnya. Aku dan keluargaku disambut hangat oleh Freeman dan isterinya yang tersenyum ramah. Senyuman Freeman seolah mengisyaratkan bahwa hari ini bukan sekadar jamuan makan, tapi juga pertemuan yang akan membawa aku ke masa lalu yang tak pernah aku duga.

Sebelum melangkah masuk lebih dalam, aku menoleh ke arah meja makan di luar. Di sana, seorang chef muslim asal Makassar tengah sibuk mengolah ikan bakar khas bumbu Makassar yang aromanya menggoda. Aku belum pernah menyangka akan merasakan kelezatan nusantara di tanah Amerika, apalagi diundang oleh seorang mantan militer Amerika seperti Freeman untuk menikmatinya. Chef itu sudah 15 tahun di Amerika, membangun reputasi dari dapur-dapur kecil hingga terkenal sebagai penyaji hidangan eksotis dari Timur. Menariknya, istri Freeman adalah orang Vietnam, jadi mereka sudah terbiasa dengan berbagai hidangan Asia Tenggara, termasuk masakan bercita rasa Indonesia.

Langkah kami menuju ruang tamu membawa kehangatan tersendiri. Foto-foto yang terpajang di dinding seakan menjadi penjaga masa lalu Freeman. Salah satu yang menarik perhatianku adalah sebuah foto tua. Freeman, tampak lebih muda dan berpenampilan militer, berdiri di samping seorang pria kulit putih dengan pakaian yang sama. Yang mengejutkan adalah tulisan samar di latar belakang foto itu: RM Rindu Alam. Aku mengenali tempat itu, sebuah restoran legendaris di Puncak, Bogor. Di foto tersebut, Freeman tampak menggendong seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahun, dengan senyuman tipis yang penuh teka-teki.

Aku terdiam sesaat, merenungkan latar belakang foto itu. Freeman, yang dulunya adalah prajurit militer, tampak begitu dekat dengan sosok prajurit Amerika yang berdiri di sampingnya. Seolah foto itu mengandung rahasia yang belum terkuak. Saat aku tengah larut dalam pikiran, tiba-tiba sebuah tepukan di pundakku mengejutkanku. Freeman berdiri di belakangku, tersenyum dengan sorot mata yang tenang. "Tertarik dengan foto itu?" tanyanya, seolah sudah membaca rasa penasaranku.

Malam itu, sambil menikmati hidangan ikan bakar yang kaya bumbu, Freeman mulai bercerita tentang masa lalunya yang tak pernah terbayang dalam benakku. Pria dalam foto itu, katanya, adalah Abraham Stark, seorang Kolonel di Atase Militer Amerika di Jakarta. "Dan anak kecil yang kugendong itu," Freeman melanjutkan, "adalah Jaloe. Kami biasa memanggilnya si Jalu." Aku tertegun. Bagaimana bisa Jaloe yang kutemui dalam peristiwa mencekam beberapa waktu lalu ternyata memiliki keterkaitan yang begitu dekat dengan Freeman? Dan lebih mengejutkan lagi, Jalu lahir di Indonesia.

Inilah sisi lain dari Freeman yang tak pernah aku ketahui. Hubungan antara dia dan keluarga Stark dimulai di Vietnam, saat perang berkecamuk. Abraham Stark adalah komandannya ketika mereka terlibat dalam operasi militer yang keras dan penuh darah. Setelah perang usai, mereka tetap menjalin hubungan dekat, bahkan setelah keluarga Stark pindah ke Indonesia. "Kami sering berlibur ke Puncak," lanjut Freeman, "dan di sanalah Jalu dilahirkan. Anak itu tumbuh di bawah bayang-bayang ayahnya yang keras."

Saat Abraham Stark memutuskan untuk menetap kembali di Amerika setelah 8 tahun di Indonesia, Freeman ikut serta dalam kepindahan itu. Keluarga Stark memulai bisnis kecil-kecilan, dan Freeman dipercaya untuk membantu mereka menjalankan usaha. Namun, hubungan Freeman dengan anak-anak Stark, Joel dan Jaloe, mulai memburuk seiring berjalannya waktu. “Joel selalu merasa bahwa aku terlalu dekat dengan ayahnya,” Freeman menghela napas, “dan itu yang membuatnya penuh kebencian. Jaloe, di sisi lain, lebih lembut, tapi terperangkap dalam bayang-bayang kakaknya.”

Obrolan kami berlanjut hingga malam, menyusuri jejak-jejak masa lalu yang penuh teka-teki. Freeman mengungkapkan bahwa Joel dan Jaloe tak pernah benar-benar memaafkannya atas kedekatannya dengan ayah mereka. "Aku mencoba menjauh, tapi takdir selalu membawaku kembali," katanya dengan nada berat. Aku bisa merasakan ada kepedihan yang tersimpan di balik senyuman tenangnya.

Untuk sesaat, kami terdiam. Isteriku dan anak-anak tengah bercengkerama dengan istri Freeman, sementara aku masih mencoba mencerna semua yang baru saja kudengar. Rasa ingin tahuku tentang hubungan Freeman dan keluarga Stark semakin dalam, tapi aku juga tak ingin terlalu jauh masuk ke dalam konflik batin mereka. Ada batas yang harus aku jaga.

Ruang tamu mulai terasa hangat oleh obrolan ringan dan gelak tawa anak-anak. Freeman menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih, namun ia menahan diri. Mungkin karena hari sudah terlalu malam, atau mungkin ia merasa tak semua cerita harus diungkap sekaligus. Namun, satu hal yang aku tahu, pertemuan ini bukanlah akhir dari cerita panjang yang melibatkan Freeman dan keluarga Stark.

Waktu berjalan begitu cepat. Sebelum aku sadar, malam sudah semakin larut. Kami berpamitan, membawa pulang lebih banyak dari sekadar makanan lezat. Kami membawa cerita-cerita lama yang tak hanya menghiasi pikiran, tapi juga hati. Kisah Freeman dan Stark, serta hubungan yang begitu kompleks, kini menjadi bagian dari pemahamanku tentang hidup dan perjalanan manusia.

Aku merasa perjalanan hidup Freeman, yang penuh liku, memberikan pelajaran tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan cinta yang tak selalu bisa dipahami dengan sederhana. Dan malam itu, di tengah kebersamaan, aku merasa sedikit lebih dekat dengan rahasia-rahasia yang disimpan oleh dunia ini.

Yang mengejutkan adalah, saat kami hendak melangkah keluar, Freeman berbisik padaku, "Mungkin suatu hari nanti kau akan tahu, mengapa semua ini terjadi." Dan dengan itu, kami melangkah pulang, dengan rasa penasaran yang terus tumbuh, menunggu jawaban yang entah kapan akan terungkap. Pertanyaan lain yang masih menggelayut di pikiranku adalah, kenapa tidak ada foto si Joel di dinding rumah mereka.

2024/09/28

Cerbung Bagian VII: Jejak di Dua Dunia- Kembali ke Akar

Siang itu, kantor co-working space terasa lebih semarak dari biasanya. Banner besar dengan tulisan “Welcome Founder” terpampang di ruang depan, seolah menjadi penanda pentingnya hari ini. Semua staf terlihat sibuk memastikan semuanya berjalan lancar. Ini adalah momen yang sudah ditunggu selama berminggu-minggu; kedatangan sang founder untuk townhall meeting dan makan siang bersama tim.

Selama empat bulan terakhir, komunikasi kami hanya dilakukan melalui layar. Tapi kali ini, founder hadir secara fisik, membuat pertemuan ini terasa lebih nyata. Ketika beliau tiba, kami bersalaman. Rasanya seperti reuni kecil di tengah kesibukan proyek besar ini. Kehadirannya mengingatkan kami betapa pentingnya momen kebersamaan untuk membangkitkan semangat tim.

Townhall dimulai tepat waktu. Founder berdiri di depan ruangan, dengan karisma yang tidak berkurang sedikit pun meski waktu dan jarak sempat memisahkan. “Terima kasih atas kerja keras kalian semua,” katanya, memulai pembicaraan dengan nada penuh apresiasi. Namun, seketika wajahnya menjadi lebih serius. “Ada kabar penting—launching kita harus ditunda satu bulan.”

Oh, kabar yang tidak kami harapkan. Meskipun demikian, kami paham bahwa keputusan itu diambil demi kebaikan. Founder menjelaskan bahwa masih ada beberapa kontrak penting dengan partners lokal yang belum rampung, terutama dalam hal warehouse dan delivery. Selain itu, strategi Go To Market harus benar-benar matang agar peluncuran di Amerika ini berdampak signifikan. “Lebih baik terlambat, tapi sukses,” katanya dengan tegas.

Waktu bergulir cepat, dan setelah townhall selesai, aku dipanggil untuk meeting satu lawan satu dengan founder. Kami duduk di ruang kecil di sudut kantor. Dengan suara pelan tapi penuh makna, founder memberitahuku bahwa sudah waktunya aku merekrut seorang Head of Operations lokal. Rekrutmen ini akan melanjutkan apa yang sudah aku bangun di sini. “Kamu masih diperlukan di Singapore,” katanya, “jadi setelah launching, kamu akan kembali ke Asia Tenggara.”

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap detailnya. Pekerjaan ini memang menantang, tapi aku tahu inilah tanggung jawab yang harus kuemban. “Baik, saya akan segera memulai proses rekrutmen,” jawabku. Ada sedikit kelegaan, karena meskipun tugas di sini masih banyak, setidaknya aku tahu perjalanan karirku selanjutnya sudah lebih jelas.

Nasib anak-anakku menjadi bagian penting dari pertimbanganku. Selama ini, kami tidak mendaftarkan mereka ke sekolah formal di Amerika, hanya mengambil kursus. Keputusan itu kini terasa benar, karena dengan rencana kepulanganku ke Asia Tenggara, mereka bisa melanjutkan homeschooling yang sudah kami mulai dari Jakarta. Lebih fleksibel dan bisa diadaptasi sesuai jadwal pergerakan keluarga.

Istri dan anak-anakku tentu harus kuajak bicara tentang kabar ini. Sore harinya, setelah pekerjaan di kantor selesai, aku pulang dengan membawa banyak hal yang perlu dibicarakan. Setiba di rumah, aku menceritakan keputusan penting itu kepada isteri dan anak-anak. Poin-poin utama disampaikan dengan hati-hati, agar mereka mengerti mengapa perubahan ini harus terjadi.

Sebaliknya dari yang kuperkirakan, respons mereka sungguh positif. Isteriku tersenyum, dan anak-anak langsung bersorak kegirangan. "Horeeee! Kita balik ke Asia Tenggara!" seru mereka sambil melompat-lompat. Ternyata, mereka merindukan kehidupan di sana lebih dari yang kuduga.

Momen itu menghangatkan hatiku. Keputusan yang tadinya terasa berat kini menjadi lebih mudah dijalani, karena dukungan keluarga yang tak tergoyahkan. Isteriku, seperti biasa, selalu menjadi sandaran terkuat dalam setiap keputusan besar. Meski perpindahan ini akan membawa tantangan baru, aku tahu kami akan melaluinya bersama.

Aku duduk di ruang tamu, memandangi wajah-wajah ceria anak-anakku yang mulai berfantasi tentang kembalinya mereka ke Jakarta, ke rumah lama, ke taman bermain yang mereka rindukan. Rasa syukur mengalir dalam diriku, bahwa meski hidup ini penuh dengan perubahan, keluarga selalu menjadi jangkar yang membuat setiap keputusan terasa lebih ringan.

Nanti, di hari-hari mendatang, kami akan mempersiapkan kepulangan ini dengan hati yang lapang. Meski perjalanan ini belum selesai, aku tahu kami sedang menapak jalan yang benar. Di balik setiap tantangan, selalu ada kebersamaan yang membuat segalanya terasa lebih indah.

2024/09/27

Cerbung bagian VI: Jejak Keakraban di Tanah Perantauan

Udara pagi masih terasa segar ketika aku menaiki bus menuju kantor, meski mataku sedikit berat karena kurang tidur. Angin lembut meniup wajahku, menyingkap sedikit masker yang kugunakan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang kutempuh belakangan ini. Aku duduk di dekat jendela, menatap langit yang perlahan berubah warna, bersiap menyambut bos besar dari Singapura yang akan datang siang ini. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, tapi pikiranku sesekali melayang pada undangan Freeman untuk barbeque akhir pekan nanti.

Seiring bus melaju, pikiranku semakin dipenuhi rencana-rencana kantor. Pesawat yang ditumpangi bos dijadwalkan mendarat menjelang sore, dan tim sudah mengatur semuanya—dari jemputan bandara ke hotel, hingga memastikan bos bisa istirahat malam ini, menghilangkan jejak lelah akibat penerbangan panjang. Aku sedikit lega, malam ini tak ada agenda yang perlu disiapkan, hanya waktu untuk bersiap menghadapi pertemuan esok hari.

Tengah hari nanti, seperti biasa, aku berencana makan di stand makanan halal. Stand yang selalu menjadi tempat peristirahatan singkat di tengah hari-hariku yang sibuk. Aku teringat wajah ramah Halime, penjaga stand yang kukenal baik. Setiap kali, percakapan ringan kami selalu menyenangkan, terutama saat kami berbicara tentang Turki dan serial Dirilis Ertugrul. “Apa kabar bang Ertugrul?” gurauku, mengingat karakter legendaris itu. Halime tertawa dan menggelengkan kepala, “Pak Feri ternyata juga nonton ya?”

Aku tersenyum, mengangguk. Serial Turki yang penuh kisah heroik dan sejarah itu telah mengikat banyak hati, termasuk hatiku. Entah mengapa, selalu ada kesan mendalam ketika berbicara tentang para pahlawan masa lalu, yang seolah membawa kita menyusuri lorong waktu menuju kejayaan Islam di masa lampau. Halime tampak terkejut mengetahui aku mengikuti serial itu, mungkin karena kami jarang berbicara tentang hal-hal pribadi.

Di stand makanan halal, tak hanya muslim yang menjadi pelanggan. Yahudi yang menghindari babi dan alkohol, serta teman-teman vegetarian dari India, semuanya berkumpul di sini. Makanan halal menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai keyakinan, di tengah hiruk-pikuk kota ini. Harmoni yang terjalin begitu indah dalam sebuah tempat kecil, di mana perbedaan menjadi kekayaan, bukan batas.

Zuhur selesai, aku menuju stand itu lagi. Makanan yang kusediakan menjadi lebih dari sekadar pengisi perut; itu adalah bagian dari rutinitasku, sebuah pengingat akan identitas yang kugenggam erat, meskipun jauh dari rumah. Sore ini, aku harus pulang lebih cepat. Ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah: keluarga Ustadz Rahman, yang sudah mengundang keakraban meski baru beberapa pekan kami saling mengenal.

Rasanya luar biasa bisa menemukan seseorang seperti Ustadz Rahman di tanah yang jauh ini. Bukan hanya sebagai seorang pembimbing spiritual, tapi juga sebagai sahabat dalam makna yang lebih dalam. Hubungan yang dibangun atas dasar kalimat tauhid membuat kehadiran mereka terasa seperti keluarga, meski sebenarnya kami baru saling mengenal. Sore nanti, rumahku akan disinari oleh obrolan hangat dan cerita penuh hikmah dari beliau.

Aku bergegas pulang, meninggalkan kesibukan kantor dengan perasaan ringan. Sore ini, ketika Ustadz Rahman dan keluarganya datang, aku tahu kami akan berbagi cerita yang tak hanya sekadar obrolan biasa. Seperti pertemuan sebelumnya, pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik kata-kata beliau yang penuh makna, yang selalu membawa kedamaian dalam hati.

Hujan mulai turun perlahan saat aku hampir sampai di rumah. Setiap tetesnya terasa seperti doa yang jatuh dari langit, menyejukkan hati dan pikiran. Aku menanti pertemuan ini dengan penuh harap, berharap mendapatkan cahaya baru dari perbincangan kami nanti. Dalam keheningan, ada ketenangan yang muncul ketika aku membayangkan kehangatan yang akan dibawa Ustadz Rahman ke dalam rumahku.

Malam mulai turun ketika keluarga Ustadz Rahman tiba di rumahku. Wajah beliau menyambut dengan senyum penuh kearifan, mengingatkanku akan perjalanan panjang yang telah ditempuhnya sebagai seorang pengembara di jalan Allah. Kami duduk bersama, berbagi cerita tentang kehidupan di negeri yang jauh ini, tentang tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai seorang muslim di tanah yang penuh dengan kebebasan.

Aku merasa bersyukur, bisa dikelilingi oleh orang-orang yang tidak hanya memahami agamaku, tapi juga menguatkan imanku. Kehadiran mereka memberiku rasa tenang, seolah dunia ini tidak terlalu asing, meskipun kami berada di tempat yang jauh dari kampung halaman. Dalam kebersamaan ini, aku merasa tidak sendirian, seolah Allah selalu mengirimkan orang-orang baik untuk menemani perjalananku.

Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Nanti, setelah pertemuan ini, aku yakin hatiku akan lebih kuat. Ustadz Rahman, dengan kata-katanya yang lembut namun penuh makna, selalu mampu menanamkan kepercayaan dan keyakinan dalam hatiku. Setiap pertemuan dengannya seolah menjadi pelajaran baru, bukan hanya tentang agama, tapi tentang makna kehidupan yang lebih dalam. Di meja makan, isteriku menyajikan rendang, menu andalannya setiap kali kami menjamu tamu. Bumbu Minang yang pekat dan kaya rempah itu, setiap suapannya selalu mengundang rasa syukur, membuat siapa pun yang menikmatinya merasakan kenikmatan citarasa nusantara yang khas. Ada sejumput kerinduan pada kampung halaman dalam setiap rasa, seolah setiap gigitan mengajak kami pulang ke akar budaya, ke tanah kelahiran yang selalu dirindukan.